Song: Alice Nine - Namida no aru basho
*..*..*..*
Kau menyayangiku.
Selalu ada di saat aku kesusahan.
Selalu membuatku kembali tersenyum di saat aku sedih.
Jika aku butuh pertolongan kau selalu ada. Bahkan berusaha sebisa mungkin meninggalkan apapun yang sedang kau kerjakan secepat mungkin menemuiku, melihat keadaanku.
Dari lahir kita selalu bersama.
Bermain, bersekolah di sekolah yang sama, bahkan baju dan benda atau mainan apapun yang kau punya aku selalu minta yang sama persis sepertimu. Karena aku, tak ingin jauh darimu. Tapi kau tak pernah keberatan dengan itu.
Kau malah bilang kita jadi seperti anak kembar dan kompak, padahal kita beda umur empat tahun.
Kau tak pernah marah padaku, sekalipun aku melakukan kesalahan.
Selalu tersenyum menghadapi kebandelanku.
Namun tetap membimbingku menjadi lebih baik.
Karena kau kakakku 'kan,
Tapi aku seperti tak bisa menerima status itu.
Perhatian serta kebaikan hatimu membuatku merasakan hal yang ganjal. Muncul persaan cinta yang aneh dari dalam hatiku.
Dari aku tak tahu perasaan apa itu sampai akhirnya aku mengerti dan aku mencoba mengabaikannya.
Karena itu terlarang bukan?
Terus berusaha menghapusnya sampai lelah dan kadang tampak seperti orang frustasi.
Sekarang kita sudah besar, beberapa bulan lagi aku akan menamatkan sekolah menengah atas-ku.
Tapi perasaan yang terlarang ini benar-benar tak pernah hilang bahkan pudar sedikitpun dari dalam diriku.
Namun apa yang bisa kulakukan, aku tak ingin merusak hubungan persaudaraan ini.
Memory indah yang terekam dikepala dari waktu kecil bersamamu, aku tak ingin merusaknya dengan melihat kemarahanmu atau rasa jijikmu mungkin, jika aku mengungkapkan perasaan ini padamu.
Biarkan aku memendam ini selamanya.
Mungkin, jika aku bisa.
Aku mendengar suara mesin motor yang berhenti didepan rumah.
Aku menghentikan gerakan tanganku yang sedang menodai kertas putih dengan tinta pulpenku dan melangkah ke depan jendela.
Aku tahu suara motor siapa itu.
Oleh karena itu aku tak pernah mengabaikan orang yang mengendarai motor tersebut.
Karena saat dia pulang maka aku bisa memperhatikannya lebih detail dari sini; didepan jendela kamarku.
Namun, seringkali aku harus bisa menahan rasa sakit yang menghujam jantungku.
Seperti ada tombak yang menusuk jantung, membuat nafas terhenti dan mata terasa panas.
Karena Shou-nii lagi-lagi bersama wanita yang belakangan ini sering dibawanya ke rumah dengan belanjaan mereka yang banyak.
Tentu saja, itu semua barang-barang persipan pernikahan kalin 'kan, mungkin baju pernikahan kalian dan lain sebagainya.
Beberapa bulan lagi....
Kutempelkan tanganku di kaca jendela, kuingin meraih sosoknya disana.
Namun kenyataannya aku tak bisa meraihnya menjadi milikku sepenuhnya.
Karena sudah ada orang lain yang memilikimu sekarang.
Kau dan dia....
Akan terus bersama selamanya dan meninggalkaku disini.
Owari
voiceless
Kamis, 12 Maret 2015
Sabtu, 15 November 2014
[FF] FUURIN #2
Title : FUURIN
Author: Sachi_ciel, SachiJ6
Chapter : 2/?
Fandom: Alice Nine, OC.
Pairing : ShinjiXTakashi
Genre: AU, drama, angst.
Rating: T
Disclaimer: Tora is my husband.
*Yang percaya saya ucapkan terima kasih banyak*
(Dibakar idup-idup)
Note: ngg.... okeh, judul sama isi nya sebenarnya benar-benar gak nyambung. cuma terinspirasi gegara denger lagu FUURIN. Kebayang banget zaman jepang jadul. Saat ini lagu berdendang di kuping saya, bayangan kayak semacam PV gitu muter-muter di otak saya.
PV dengan cewek yang sedih menunggu sang kekasih di atas jembatan yang tak kunjung datang.
Pengen deh liat member arisu bikin ini pv, mereka pake kimono gitu. #buaghhh
Padahal pas bayangin itu saya sama sekali ga baca lyricnya.
Dan pas saya baca beberapa lama kemudian, ternyata lyricnya emang sedih. :(
Dari musik aja udah terasa gimana kesedihannya.
Dan akhirnya setelah lama scene itu muter-muter di otak saya, baru bisa ditumpahkan ke tulisan sekarang.
#payah
Okelah, kenapa ini jadi curhat.
Jadi yang mau baca silahkan.
Yang engga juga gapapa.
Yang baca maaf semisal ini ff rasa aneh.
Entahlah, saya cuma pengen numpahin apa yang sudah terpendam lama di otak gegara dengar lagu itu.
*..*..*..*
Suara ayam masih berkokok nyaring, mentari sudah bersinar cerah.
Sisa air hujan semalam membentuk bulir-bulir air embun pada daun pohon dan rumput.
Hawa dingin masih sangat terasa.
Masuk lewat sela-sela jerjak jendela.
Kobaran api pada tungku yang digunakan untuk menanak nasi sedikit membantu menghangatkan dapur itu.
Takashi sedang meletakkan beberapa kue beras ke dalam piring kecil saat tiba-tiba saja beberapa orang gadis datang ke dapur.
Mereka adalah para geisha yang tinggal di okiya itu.
Tidak seperti biasanya pagi-pagi mereka ada di dapur.
Mereka belum mengenakan setelan kimono geisha mereka dan riasan wajah karena belum saatnya mereka bertugas.
"Takashi!!"
"Eh!?"
Takashi mengangkat wajahnya lalu menatap pada seorang geisha yang memanggilnya.
Disampingnya ada dua orang temannya yang tersenyum saling melempar pandangan sambil melihat-lihat ke arah pintu dapur yang terbuka. Mereka mencoba mencari sesosok orang yang sangat menyita perhatian dari tadi malam.
Mereka mendekat ketempat Takashi sedangkan salah satunya melempar pertanyaan.
"Dimana dia!?" Bisiknya.
Takashi terdiam sesaat mencerna siapa yang di maksud geisha itu, sampai beberapa detik kemudian ia langsung mengerti siapa yang dimaksud.
"Ah, dia diluar, duduk di teras."
Takashi menunjuk arah luar pintu dapur.
Dibelakang ada teras panggung yang bisa digunakan untuk duduk bersantai.
"Begitu,"
Wanita itu tampak tersenyum.
Takashi kembali melanjutkan kegiatannya,
Ia menuangkan teh ke dalam mug.
"Bagaimana kau bisa bertemu dengannya dan membawanya ke sini?"
"Eh, itu...."
Takashi tampak menatap menerawang, lalu menceritakan bagaimana saat ia bertemu pria itu dan menolongnya sampai ia bawa ke okiya.
Kisahnya begitu dengan seksama di dengar oleh para geisha itu. Tampak wajah kagum dan simpati ditunjukan mereka saat mendengarkan cerita Takashi.
"uuh..kasian sekali pria itu. Beruntung kau mau menolongnya, kau baik sekali siih....."
"Tidak, sudah seharusnya orang saling menolong 'kan... anda juga pasti begitu 'kan?"
"Baiklah, baiklah...tapi ngomong-ngomong dia itu siapa ya, aku takut kalo dia orang jahat. Tapi sepertinya bukan 'kan?"
"Tapi dia tampan sekali..."
Celetuk salah satu geisha lain dengan wajah gemas.
"Saya tidak tahu, mungkin kalau dia orang jahat, dia sudah melakukan hal yang tak menyenangkan disini.."
"Benar juga...aku juga tidak yakin kalau dia orang jahat-" wanita itu tampak setuju dengan ucapan Takashi.
"Sakai, Tomomi, Rino!! Dimana kalian!?"
Tiba-tiba suara okaasan memanggil mereka.
"Wah! okaasan memanggil, ayo kita kembali!"
Cepat-cepat mereka meninggalkan dapur sebelum okaasan mereka datang meyusul.
Bisa dimarahi mereka karena bukannya mengajari para maiko seperti apa yang diperintahkan, malah lalai didapur.
Takashi menghela nafas kecil melihat tingkah mereka.
Ia tak bisa setenang mereka melalaikan tugas, karena sedikit saja lalai, gajinya berkurang.
Takashi meletakkan mug yang sudah berisi teh hijau hangat itu di atas nampan bulat berukuran sedang, ia menambahkan sepiring kecil kue beras lalu membawanya ke luar pintu dapur.
Ia melihat pria itu sedang duduk di pinggir teras, membersihkan pedangnya dengan kain yang sebelumnya sudah ia minta pada Takashi tadi saat pagi-pagi sekali, bahkan sinar mentari pun belum terlihat saat ia duduk disitu.
Bekas darah menempel pada kain itu, membuat Takashi merinding.
Ia segera beralih dari pedang itu, tak mau berlama-lama melihatnya.
Semalam ia memang tak membersihkan pedang itu. Ia takut memegangnya.
Takashi melangkah mendekat pada pria itu lalu berhenti di sampingnya, agak jauh. ia berlutut dan meletakkan nampan berisi makanan kecil itu didekat pria itu.
"Tuan, makanlah sedikit kue ini untuk sedikit mengisi perut anda."
Pria itu menoleh, ia menatap sesaat pada Takashi lalu kembali menatap kedepan.
"Terima kasih."
Ucapnya sambil memasukkan pedangnya kedalam sarung karena sudah selesai dibersihkan sambil menghela nafas kecil dengan mata terpejam lelah dan kening mengerut.
Takashi belum pindah dari tempat itu, karena sebenarnya ia harus menyampaikan sesuatu. Sebuah pesan dari okaasan, namun ia merasa tak enak sekaligus takut.
Pria itu membawa pedang, bagaiman kalau setelah ia mengucapkan maksudnya ia malah marah dan mengayunkan pedangnya.
Karena Takashi tak tahu siapa pria ini, bagaiman sifatnya.
Tapi bagaimanapun ia harus tetap menyampaikanya.
Ia tak mau membuat okaasan marah lagi.
Beruntung tadi malam okaasan mengizinkan orang itu tinggal, dengan catatan esoknya ia harus pergi dari sini.
Okaasan tak mau sesuatu yang buruk menimpanya dan para penghuni okiya dengan menampung orang asing.
Bagaimana kalau dia benar-benar orang jahat?
Tapi Takashi mencoba menyimpulkan sendiri bahwa pria itu bukan seperti orang yang ia takuti dalam pikirannya, karena dilihat dari sikapnya, ia tak melakukan apapun yang mengganggunya dan penghuni lain di okiya ini sampai detik ini.
Ia pun terlihat tak banyak bicara, pria itu sering menatap jauh kedepan seperti memikirkan sesuatu.
Mungkin dengan tetap bersikap baik dan sopan ia tidak akan merasa terganggu.
Bagaimana dengan sedikit berbasa-basi dahulu? Supaya Takashi bisa melihat lebih lagi bagaimana sifat orang itu? Hitung-hitung persiapan sebelum menyampaikan pesan dari okaasan.
Lagipula, entah kenapa ia penasaran dengan identitas pria dihadapannya ini.
Siapa namanya, dia berasal dari mana kenapa bisa sampai terluka parah dan sebagainya.
"M..Maaf tuan, kalau boleh saya tanya anda... kenapa sampai terluka parah seperti itu tadi malam?"
Takashi menunggu jawaban dari pria itu.
Dan ia sudah merasa was-was karena orang yang ditanya tak kunjung menjawab, yang ada hanya terdiam menatap kedepan.
Mungkin memang pertanyaannya itu terlalu pribadi??
"Maaf, jika pertanyaan saya membuat anda tersing-"
"Melawan pencuri."
Akhirnya ia menjawab. Ia memutar kepalanya menghadap Takashi.
Sesuatu yang mengejutkan Takashi.
"Kenapa!?"
"Ah, tidak, hanya bertanya..."
Takashi menunduk buru-buru, ia menghela nafas lega.
Takashi kembali mengangkat kepalanya, ia memainkan kuku jarinya sebagai pengalihan rasa gugupnya.
"Ng..anda tinggal dimana!? Saya tak pernah melihat anda sebelumnya di daerah sini..."
"Tak tinggal dimanapun, aku pergi kemana saja. Dan kebetulan aku sampai disini."
Pengembara!?
Pikir Takashi dalam hati.
Dilihat dari senjata yang ia bawa sepertinya pria itu seorang samurai.
Tapi, bukankah pemerintah sudah melarang warganya membawa katana!? Lalu kenapa pria ini masih membawanya!?
Seketika rasa curiga hinggap dikepalanya.
Apa mungkin dia benar-benar penjahat!?
Tidak,Tidak,Tidak.
Takashi mencoba tak berprasangka buruk.
"Kau tinggal disini!?"
Tiba-tiba pria itu menoleh lagi dan kali ini ia yang bertanya pada Takashi, membuat Takashi tersentak kaget.
Ia menatap Takashi tak berpindah karena menunggu jawabannya.
Takashi malah dibuat terkesima oleh paras tegas pria itu yang menghadapnya langsung padanya.
Mata tajam bak elang, hidung mancung dan bibir tipis tajam.
Jika diperhatikan pria itu mirip gaijin. Apakah dia memang punya ketunan darah asing?
Takashi tak tahu dan mungkin tak mau terlalu memikirkannya untuk saat ini.
"A..ah.. iya. Saya bekerja disini. Sebagai pelayan."
Takashi menunduk begitu menyadari dirinya terlalu memperhatikan wajah pria itu barusan.
Beruntung ia tak sampai melamun panjang.
"Ini okiya!?"
"Iya."
Takashi mengangguk.
"Kupikir kau salah satu geisha yang tinggal disini."
"Eh? B..bukan. Tidak mungkin..."
Takashi menunduk malu.
"Kenapa tidak,"
Takashi mengangkat kembali wajahnya, menatap pada pria itu dengan sebuah pertanyaan.
"Anda menyukai geisha?"
"...Mereka indah dan penuh bakat. Jadi siapa yang tak suka melihat mereka?"
Takashi terdiam mencerna ucapan pria itu.
Walau pria itu tampak tak begitu serius mengatakannya; terkesan santai, tapi begitu menguras kepala Takashi.
Sejenak terdiam, Takashi kembali ke kesadarannya.
Takashi merasa suasana saat ini tenang, ia kembali teringat pada tujuannya dan mencoba mengabaikan sebentar ucapan pria itu tadi. Pria itu sudah sedikit mudah di ajak bicara. Sepertinya sudah pas untuk menyampaikannya, walau dilihat dia terkesan sangat dingin.
Masih sedikit membuat Takashi takut.
"Tuan, maaf, bukan bermaksud mengusir anda tapi, okaasan menyuruh-"
"Ya, aku tahu. Aku mendengar perbincangan kalian tadi malam, aku tak tidur."
Takashi terkejut, namun ia bisa menahan keterkejutannya dengan segera bersikap tenang.
"Nanti malam aku akan pergi dari sini. Aku minta waktu sebentar untuk tetap disini sampai malam. Apakah boleh!? " pria itu menoleh sesaat pada Takashi lalu melanjutkan kalimatnya kembali begitu melihat wajah Takashi yang tampak ragu.
"Tenang, aku tak akan mengganggu kalian."
Takashi bingung, ia tak punya wewenan mengizinkan orang asing ini ingin tetap sampai malam tiba, tapi ia juga tak tega.
"E..e.. saya tak berpikir seperti itu tentang anda, tapi... n..ng.. baiklah."
Takashi tak bisa menolak.
Walaupun ia tidak tahu okaasan akan mengizinkannya lagi atau tidak, namun ia berharap okaasan mengizinkannya dan tak marah padanya.
Sepertinya apa yang ingin disampaikan Takashi sudah selesai, ia harus kembali ke rutinitasnya sebagai tanggung jawabnya.
"Anoou... saya mau permisi dulu. Anda mau masuk kedalam?"
"Tidak, disini saja sudah cukup."
"Begitu..permisi tuan."
Takashi bangun dari duduknya, ia melangkah kembali masuk kedalam.
Meninggalkan pria itu sendirian.
Tanpa sepengetahuan pria itu, disela-sela Takashi melakukan pekerjaannya ia menyempatkan diri melihat keluar ke tempat pria itu duduk termenung.
Ia seperti terpanggil untuk melongokkan sebentar kepalanya keluar pintu.
Memperhatikan tiap gerakan pria itu.
Walau nyatanya pria itu tak banyak melakukan hal apapun selain memeriksa lukanya dan termenung lagi dengan tatapan tajam menerawang kedepan.
Saat malam tiba, lagi-lagi awan mendung datang, membuat langit jadi tampak muram.
Sepertinya akan turun hujan lagi seperti kemarin malam.
Untungnya Takashi tak pergi kemana-mana malam ini.
Ia sedang duduk diteras belakang, wajahnya menghadap kesamping menatap tiang penyangga atap. Tidak, sebenarnya dia bukan menatap tiang penyangga atap itu, tapi tengah membayangkan sosok yang seharian duduk di dekat tiang dan sesekali menyandarkan tubuhnya pada tiang tersebut.
Sudah selang satu jam lebih saat pria itu pergi.
Seperti ucapannya, ia benar-benar pergi saat malam tiba.
Sejujurnya, ia menginginkan okaasan mengizinkan orang itu tetap tinggal, walau tak mungkin terjadi, namun begitulah yang Takashi rasakan.
Seperti menemukan teman baru yang berbeda dari biasanya ia lihat sehari-hari disekitarnya.
Orang asing dengan penuh kemisteriusan oleh sikap maupun apa yang ia kerjakan membuat Takashi penasaran.
Entah apa yang mendorongnya hingga ia se-penasaran itu.
Takashi menatap ke atas langit.
Tak ada sinar bulan, semua bintang tertutup awan mendung.
Hanya terdengar suara jangkrik dan katak yang seperti meminta hujan.
Kira-kira tuan itu sudah sampai dimana ya??
"Ah, apa yang kupikirkan!?"
Tiba-tiba ia bergumam sendiri.
Menghentikan memikirkan orang yang baru dikenalnya dalam sehari.
Bukan siapa-siapanya kenapa ia harus memikirkan orang itu!?
Bukankah jika orang asing pergi dari rumah akan membuat tenang karena tak perlu takut direpotkan?
Namun tak bisa dipungkiri dari dalam hatinya terdalam ia berharap bisa bertemu lagi dengan pria itu.
Ia sama sekali tak merasa direpotkan oleh pria itu.
Wajahnya terus berputar-putar dalam kepala Takashi.
Entah kenapa, ia pun tak mengerti.
Takashi bangun berdiri.
Tubuhnya tak sanggup lagi menahan udara diluar yang makin lama makin dingin.
Ia melangkah masuk kedalam bertepatan dengan Atsuko yang baru datang ke dapur.
"Ah, Takashi, dimana kau menyimpan beras yang sudah direndam!?"
"Ah, iya, di atas itu Atsuko-neechan..."
Jawab Takashi sambil melangkah agak lunglai.
Takashi berjalan ke sebuah meja panjang didekat dinding berjerjak kayu sebagai ventilasi udara di dapur itu. Berhadapan dengan meja yang sering Takashi gunakan untuk mengerjakan pekerjaan sehari-harinya seperti mengolah makanan dan lainnya.
Ia mengambil sebuah wadah yang didalamnya sudah terisi rendaman beras.
Rendaman beras itu digunakan para geisha untuk riasan wajah dan juga perawatan tubuh dan wajah mereka.
"Ah, terima kasih "
Atsuko mengambilnya dan membawanya ke meja tempat Takashi biasa gunakan untuk mengolah bahan makanan.
Meja itu cukup tinggi sebatas pinggang, jadi nyaman digunakan.
"Tolong ambil alat penumbuk, ya!"
Pinta Atsuko sambil ia menyaring beras tersebut dari air rendaman untuk ia pindahkan ke wadah yang kering.
Beberapa saat kemudian Atsuko menyerngitkan keningnya, karena Takashi tak kunjung membawa alat penumbuk ke hadapannya sedangkan ia sudah selesai menyaring semua beras rendamannya.
Ia menolehkan kepalanya kebelakang mencari Takashi.
"Takashi? Kenapa melamun!?"
Takashi tersentak.
"Eh? Ada apa Atsuko-neechan?"
Takashi baru menyadari, sejak kapan ia melamun?
Atsuko tampak bingung.
"Sedang memikirkan apa!?"
Atsuko akhirnya membalik tubuhnya dan melangkah sendiri untuk mengambil alat penumbuk yang ada dihadapan Takashi, sambil ia tiba-tiba tersenyum menatap Takashi karena sebuah pemikiran dalam kepalanya yang muncul begitu saja.
"E..er... tidak Atsuko-nee... "
"Kau memikirkan pria itu!?"
Tebak Atsuko sembari membawa penumbuk ke meja satunya yang sudah ada beras yang di saring tadi, ia memasukkan beberapa sendok beras lalu mulai menumbuknya.
Sontak kalimat itu membuat Takashi melebarkan matanya dan langsung terlihat panik.
"T..tidak Atsuko-nee kenapa anda bisa menyimpulkan seperti itu!?"
"Soalnya, aku tak pernah melihatmu melamun seperti ini sebelumnya, "
"I..itu... y..ya... saya memikirkan pria itu tapi memikiran tentang siapa pria itu. Maksudku, dia siapa? Berasal darimana dan sebagainaya begitu."
Atsuko tampak menahan tawanya.
"Kalau soal begitu aku juga meikirkannya, tentu saja karena dia orang asing, okaasan dan yang lain juga pasti sempat memikirkan pria itu.Tapi cara kau memikirkannya itu tampak berbeda. Kau memilih untuk memikirkannya sendirian, Itu artinya ada pemikiran lain lagi didalam hatimu tentang pria itu yang tak ingin kau bagi. Seperti reaksi lain yang keluar dari dalam hatimu, entah itu apa... soalnya~ aku sempat melihatmu tersenyum saat melamun tadi lhoo~" Atsuko menyengir, ia seperti mengetahui sesuatu tentang Takashi namun ia mencoba membiarkan Takashi menemukan sendiri jawabannya.
Ucapan Atsuko sontak membuat Takashi panik dan salah tingkah.
"M..mau saya bantu Atsuko-neechan?"
Ia tiba-tiba bersikap seperti mengalihkan pembicaraan dengan wajah kebingungan.
Kebingungan kenapa ia harus bereaksi seperti itu?
"Oh, tentu," Jawab Atsuko dengan senyum miring.
Suasanapun tampak sunyi karena Atsuko sedang serius menumbuk berasnya.
Namun tidak dengan Takashi, semua yang ia alami hari ini mengingatkan pada satu hal yang sudah lama Takashi pikirkan sejak ia tinggal di rumah geisha itu. Namun ia belum menanyakannya karena begitu fokus pada pekerjaannya dan memikirkan keluarga.
Padahal, orang yang bisa ia tanyai disini banyak.
Namun ia belum begitu merasa perlu menyakan itu sampai akhirnya pria itu mengucapkan sesuatu yang terus-menerus membuat Takashi memikirkan itu dan akhirnya mendorongnya untuk menayakan hal tersebut sekarang.
"Atsuko-neechan..."
Panggilnya pelan yang langsung di respon jawaban "ya?" oleh sang pemilik nama.
"Menjadi geisha itu menyenagkan, ya?"
Tanya Takashi dengan nada pelan.
"Menurut yang kau lihat, bagaimana?"
Takashi tampak terdiam sejenak.
"Saya melihat para geisha selalu diliputi kesenangan, pakaian bagus, bisa tertawa dengan gembira, bercengkrama dengan teman-teman, seperti tak ada beban. Walau saya tahu terkadang para geisha kadang lelah sehabis berlatih, tapi diwajah kalian tetap tampak gembira."
"Itu yang terlihat bukan? Justru kebalikannya, menjadi geisha harus mengemban beban sangat berat.
Yang kau lihat itu bagian dari pekerjaan kami, harus tetap tampak tersenyum, gembira, walau ada masalah apapun dalam hatimu. Entah saat memikirkan keluarga yang sedang dalam kesulitan, para geisha harus tetap tampak tersenyum.
Yang paling berat,
Geisha harus membuang perasaan cinta. Seorang geisha tidak diperbolehkan memberi dan menerima cinta.
Kecuali, ada seseorang yang mau menjadi Danna dari seorang geisha. Orang yang akan membiayai dan bertanggung jawab atas seluruh kehidupan geisha tersebut,
yang akan menjadi kekasih akhirnya."
Suasana tampak sunyi kembali, hanya terdengar suara tumbukan beras dari Atsuko dan perbincangan para geisha lain yang sesekali tergelak tawa di ruang depan.
Takashi tercenung oleh penjelasan Atsuko.
Ia terdiam tak berkata apapun lagi.
Ternyata pekerjaan geisha tak semenyenangkan seperti yang ia lihat.
Mereka juga punya beban yang harus di emban.
"Maaf, Atsuko-nee, saya pikir menjadi geisha itu tak punya beban apapun."
"Tidak seperti itu, kami juga dari keluarga miskin yang dikirim orang tua untuk mencari uang. Sama sepertimu, kami juga memikirkan keluaga kami."
Atsuko mengusap kepala Takashi sebagai tanda ia juga mengerti perasaan Takashi dan membuatnya tabah.
"Ah, ini sudah tak apa, aku bisa melakukannya sendiri, kau bantu saja yang lain di ruang depan, mereka sedang belajar Ikebana. Mungkin mereka membutuhkanmu untuk memotong duri mawar."
"un, Baik."
Takashi pun pergi ke ruang depan.
Untuk membantu para geisha yang lain.
Jauh di pusat kota, entah apa yang sedang terjadi. Suara para warga begitu berisik karena ada polisi beberapa kali melewati jalanan kota. Membuat para warga bertanya-tanya, apa yang sedang terjadi?
Karena jarang sekali mereka kedatangan polisi dalam skala lumayan banyak seperti ini. Biasa hanya beberapa orang untuk mengejar pencuri. Ada warga yang langsung masuk kedalam toko bahkan ada yang langsung menutup sedikit toko mereka. Takut kalau-kalau terjadi gencatan senjata dan terkena peluru nyasar.
Para polisi itu berpencar ke berbagai lorong dan jalan.
Mereka sepertinya sedang mengejar orang yang cukup berbahaya!?
Mungkin saja.
Hingga akhirnya hujan turun membasahi bumi.
Namun itu tak membuat para polisi mundur.
Pencarian masih tetap berlanjut sampai tak terasa sudah larut malam.
Semua pertokoan dan kedai sudah benar-benar tutup.
Para warga tak banyak lagi yang berlalu-lalang. Jalanan sepi.
Di saat seperti ini mungkin akan sedikit mudah merasakan pergerakan ganjil.
Sampai tiba-tiba sebuah suara tembakan terdengar begitu memekakkan telinga.
Semua polisi secepatnya berlari ke arah asal suara tembakan sambil menarik kokang senjata laras panjang mereka sebagai persiapan.
Bagi warga yang mendengar mungkin akan membuat mereka terbangun.
Sama hal nya seperti Takashi.
Ia terbangun karena mendengar suara tembakan itu.
Walau agak samar karena letaknya jauh namun ia bisa mengenali itu suara tembakan karena hujan tak sederas malam kemarin, lagipula sudah sepi karena semua orang sudah tertidur.
Jadi suara itu begitu mencolok.
Takashi termenung dalam pembaringannya.
Matanya terpaku pada langit-langit atap yang gelap.
Ia seperti merasakan firasat tidak enak.
Namun ia mencoba mengabaikannya.
Mungkin itu tembakan oleh polisi yang mengejar maling seperti yang sering ia dengar dari pusat kota.
Ia kembali memejamkan mata untuk mencoba tidur kembali.
Walau awalnya susah karena otaknya tetap saja berputar mempertanyakan apa yang terjadi di pusat kota, bahkan ia sempat memikirkan pria itu tapi akhirnya ia pun tertidur tanpa sadar.
Beberapa jam setelah Takashi berhasil tidur kembali.
Tiba-tiba ia membuka matanya lagi karena tersentak mendengar suara seperti sesuatu terjatuh di lantai kayu diluar sana.
Suara kali ini begitu dekat. Ia tak boleh mengabaikannya kali ini.
Ia harus memastikan bukan pencuri yang sedang menjalankan aksinya.
Takashi menyingkap selimutnya lalu bangun dari pembaringannya.
Ia pergi kedapur dan mengambil sebuah lampu minyak tanah yang tergantung di dinding.
Ia menyalakannya lalu membawanya di tangan.
Sambil melangkah pelan menyusuri dapur Takashi juga mengedarkan matanya keseluruh dapur sampai ke langit-langit dapur, barangkali menyusup dari atas.
Sampai suara sesuatu yang jatuh menghantam lantai kayu kembali terdengar.
Kali ini terdengar suara batuk seseorang dengan nafas berat dan sesak.
Takashi berjalan tergesa-gesa menuju pintu dapur dan membukanya, sontak ia melihat seseorang tergeletak di lantai kayu teras belakang.
Angin dan hujan langsung menerpa tubuhnya.
Takashi hampir berteriak kalau saja orang itu tak segera memutar kepalanya menghadap Takashi sehingga sinar dari lampu minyak tanah meyorot wajahnya yang penuh memar namun langsung bisa dikenali Takashi sesaat sebelum api kecil itu padam oleh angin dan hujan.
Takashi segera mendekatinya, Pria itu lagi!
Kali ini kondisinya lebih parah lagi.
Kakinya berlumuran darah.
Pakaiannya kembali basah oleh darah, mungkin luka diperutnya kembali terbuka atau malah tambah luka baru?
"Tuan!! Anda kenapa!?"
Merasa tak ada gunananya Takashi bertanya, ia segera saja memikirkan harus membawa kemana pria ini.
Karena jika ia membawanya kedalam, sudah pasti akan dilarang Okaasan. Sudah tak mungkin lagi membawanya kedalam.
Takashi melihat sekeliling, mencari dimana tempat yang pas untuk mengobati pria ini tanpa diketahui Okaasan dan yang lainnya.
Dan dia melihat gudang penyimpan kayu dan beras didekat sumur.
Otaknya langsung bekerja cepat untuk bangun dan memapah pria itu untuk dibawanya ke gudang.
Dengan kesusahan karena tak bisa mengimbangi berat tubuh pria itu.
Membuat Takashi banyak mengucurkan keringat walau cuaca dingin.
Seperti malam itu, Takashi mengulanginya lagi.
Mengambil selimut, dan kotak obat.
Kali ini harus diam-diam dan sangat berhati-hati agar tak ketahuan.
Pria bermata tajam itu terus-terusan meringis merasakan sakit, tubuhnya bergetar hebat. Keringat dan air hujan membasahi sekujur tubuhnya hingga membuatnya mengigil. Tubuhnya benar-benar sudah hilang pertahanan.
Wajahnya benar-benar pucat.
Luka kali ini lebih parah dari sebelumnya.
Ia menekan kakinya terus-menerus sebisa mungkin menahan sedikit darah yang terus keluar dari lubang yang di buat oleh peluru dikakinya.
"Pisau!!" Pinta pria itu dengan suara tertahan.
Takashi tertegun, apa maksudnya.
"Ambil pisau!!"
Pria itu membentak, ia tak bisa lagi mengontrol nada bicaranya, sebab rasa sakit yang begitu menyiksanya.
Takashi cepat-cepat berlari keluar gudang.
Ia sampai lupa memakai alas kaki dan menginjak tanah becek saat berlari saking ia takut pada bentakan pria itu tadi. Ia tak memikirkan apapun lagi yang penting sekarang ia mengambil pisau. Benda yang sangat dibutuhkan oleh pria itu saat ini. Walau Takashi tak mengerti untuk apa benda itu.
Takashi kembali menuju gudang setelah mengambil pisau. Nafasnya ngos-ngosan dan yukata-nya jadi makin basah dan kotor terkena air hujan dan cipratan lumpur dari kakinya. Ia menyerahkan pisau itu yang tak bisa langsung diterima karena pria itu sudah tergolek lemah.
"Congkel pelurunya!!?"
"Ha!?"
Takashi tercekat.
Ia tiba-tiba jadi merinding.
Menconkel peluru didalam daging? itu menegrikan. Ia belum pernah melakukan hal se-mengerikan ini.
"Tolong cepat lakukan!" Pria itu tak bisa membiarkan peluru itu bersarang lebih lama di kakinya. Keringatnya terus mengucur menahan rasa sakitnya ditambah badan yang mengigil kedinginan. Dan tanpa bisa dihindari, pria itu berguling dengan urat-urat anggota tubuh yang tertarik menengang karena rasa sakit itu.
"Tapi tuan.. s..saya.."
"Lakukan saja!!"
Takashi melihat pria didepannya, terbaring dengan urat menegang dan sekarat seperti hampir mati. Ia menarik kembali pisau yang ia sodorkan pada pria itu dan ia arahkan ke dekat kaki pria itu. Takashi mendekatkan pisau itu ke luka tersebut. luka lubang yang begitu dalam. Jari-jarinya bergetar saat menyentuh kaki pria itu.
Seketika ia pucat pasi sampai seluruh ubuhnya bergetar.
Mencongkel daging!!? Ini sungguh mengerikan.
Takashi mengigit bibirnya mencoba kuat.
Ia menarik nafas dalam-dalam dan mulai menyentuhkan ujung mata pisau ke kulit kaki pria tersebut.
Takashi tersentak kaget saat pria itu mengerang sakit.
Ia sampai reflek menarik pisau itu menjauh.Jantungnya sampai terpacu begitu kencang saking ia takutnya.
Ia mencoba lagi, sialnya tangannya masih bergetar hebat.
Namun ia mencoba kuat.
Jika seperti ini terus maka tidak akan selesai. Peluru yang bersarang dalam tubuh jika tak segera dikeluarkan akan sangat berbahaya.
Bisa membuat kaki membusuk karena infeksinya.
Sekali lagi Takashi menarik nafas panjang dan nekat mengcongkel luka itu.
Kali ini teriakan pria itu coba ia abaikan, walau pria itu sudah mencoba meredam suaranya denga menggigit lengannya sendiri tapi Takashi tahu ia pasti merasa sangat tersiksa oleh rasa sakit saat ia mencongkel peluru dikakinya.
Ia harus bisa tahan.
Kalau tidak, ia akan gagal.
-----
Nafasnya kini mulai teratur, setidaknya setelah peluru itu keluar dari kakinya, rasa sakit banyak berkurang.
Takashi menarik nafas dalam-dalam.
Ia terduduk lemas sambil mendongak ke atas dengan kedua tangan ia tumpu pada lantai untuk menopang badannya dan mengatur nafas dengan benar.
Ia merasa lega akhirnya berhasil menegeluarkan benda kecil namun sangat berbahaya yang masuk ke kaki pria itu.
Hampir dua jam ia merawat luka pria itu. Benar-benar menguras nyali dan tenaga.
Kerigatnya mengucur tak kalah seperti pria itu.
Pria itu menggerakkan kepalanya ke samping melihat pada Takashi. Walau pandangannya masih melemah, namun ia masih sanggup menggerakkan kepala dan tangannya.
Pria itu menatap Takashi yang sedang membereskan bekas-bekas kapas dan semua sisa pengobatannya.
"Terima kasih.."
Takashi tersentak. Ia mengangkat kepalanya.
Ini kali pertama pria itu mau bicara duluan, dengan tatapan matanya yang melembut lagi.
"E..eh.. ya.. tak masalah tuan,"
Tanpa bisa dihindari, Takashi seperti lagi-lagi menatap terkesima pada pria itu.
Kali ini ia dapat memperhatikan bola mata abu-abu itu dengan jelas, memantulkan kobaran api dari lampu minyak. Terbingkai dengan indahnya oleh bentuk matanya yang tajam seperti mata elang.
Takashi tanpa sadar melamun sampai pria itu bicara dan membuatnya terbangun dari lamunan.
"Kau sudah sangat banyak membantuku..."
Takashi menggaruk tengkuknya,
"Tidak, saya hanya membantu sebisa saya tuan, berapa kalipun kalau bisa membantu pasti akan saya lakukan, semua orang pasti juga begitu."
"Panggil aku Shinji, aku bukan tuanmu.."
"E..er.. .b..baik... maaf."
"Dan, tidak semua orang begitu..."
Takashi mengerjapkan matanya, ia sedikit tak mengerti apa maksud kalimat terakhir itu, tapi ia tak berani bertanya lagi.
Shinji memang sudah tampak mulai banyak bicara, tapi tetap saja dia dingin, mungkin karena pengaruh tipe wajahnya? Karena setelah dilihat spertinya Shinji benar-benar orang baik.
Takashi meyakini itu.
Tsuzuku.
Author: Sachi_ciel, SachiJ6
Chapter : 2/?
Fandom: Alice Nine, OC.
Pairing : ShinjiXTakashi
Genre: AU, drama, angst.
Rating: T
Disclaimer: Tora is my husband.
*Yang percaya saya ucapkan terima kasih banyak*
(Dibakar idup-idup)
Note: ngg.... okeh, judul sama isi nya sebenarnya benar-benar gak nyambung. cuma terinspirasi gegara denger lagu FUURIN. Kebayang banget zaman jepang jadul. Saat ini lagu berdendang di kuping saya, bayangan kayak semacam PV gitu muter-muter di otak saya.
PV dengan cewek yang sedih menunggu sang kekasih di atas jembatan yang tak kunjung datang.
Pengen deh liat member arisu bikin ini pv, mereka pake kimono gitu. #buaghhh
Padahal pas bayangin itu saya sama sekali ga baca lyricnya.
Dan pas saya baca beberapa lama kemudian, ternyata lyricnya emang sedih. :(
Dari musik aja udah terasa gimana kesedihannya.
Dan akhirnya setelah lama scene itu muter-muter di otak saya, baru bisa ditumpahkan ke tulisan sekarang.
#payah
Okelah, kenapa ini jadi curhat.
Jadi yang mau baca silahkan.
Yang engga juga gapapa.
Yang baca maaf semisal ini ff rasa aneh.
Entahlah, saya cuma pengen numpahin apa yang sudah terpendam lama di otak gegara dengar lagu itu.
*..*..*..*
Suara ayam masih berkokok nyaring, mentari sudah bersinar cerah.
Sisa air hujan semalam membentuk bulir-bulir air embun pada daun pohon dan rumput.
Hawa dingin masih sangat terasa.
Masuk lewat sela-sela jerjak jendela.
Kobaran api pada tungku yang digunakan untuk menanak nasi sedikit membantu menghangatkan dapur itu.
Takashi sedang meletakkan beberapa kue beras ke dalam piring kecil saat tiba-tiba saja beberapa orang gadis datang ke dapur.
Mereka adalah para geisha yang tinggal di okiya itu.
Tidak seperti biasanya pagi-pagi mereka ada di dapur.
Mereka belum mengenakan setelan kimono geisha mereka dan riasan wajah karena belum saatnya mereka bertugas.
"Takashi!!"
"Eh!?"
Takashi mengangkat wajahnya lalu menatap pada seorang geisha yang memanggilnya.
Disampingnya ada dua orang temannya yang tersenyum saling melempar pandangan sambil melihat-lihat ke arah pintu dapur yang terbuka. Mereka mencoba mencari sesosok orang yang sangat menyita perhatian dari tadi malam.
Mereka mendekat ketempat Takashi sedangkan salah satunya melempar pertanyaan.
"Dimana dia!?" Bisiknya.
Takashi terdiam sesaat mencerna siapa yang di maksud geisha itu, sampai beberapa detik kemudian ia langsung mengerti siapa yang dimaksud.
"Ah, dia diluar, duduk di teras."
Takashi menunjuk arah luar pintu dapur.
Dibelakang ada teras panggung yang bisa digunakan untuk duduk bersantai.
"Begitu,"
Wanita itu tampak tersenyum.
Takashi kembali melanjutkan kegiatannya,
Ia menuangkan teh ke dalam mug.
"Bagaimana kau bisa bertemu dengannya dan membawanya ke sini?"
"Eh, itu...."
Takashi tampak menatap menerawang, lalu menceritakan bagaimana saat ia bertemu pria itu dan menolongnya sampai ia bawa ke okiya.
Kisahnya begitu dengan seksama di dengar oleh para geisha itu. Tampak wajah kagum dan simpati ditunjukan mereka saat mendengarkan cerita Takashi.
"uuh..kasian sekali pria itu. Beruntung kau mau menolongnya, kau baik sekali siih....."
"Tidak, sudah seharusnya orang saling menolong 'kan... anda juga pasti begitu 'kan?"
"Baiklah, baiklah...tapi ngomong-ngomong dia itu siapa ya, aku takut kalo dia orang jahat. Tapi sepertinya bukan 'kan?"
"Tapi dia tampan sekali..."
Celetuk salah satu geisha lain dengan wajah gemas.
"Saya tidak tahu, mungkin kalau dia orang jahat, dia sudah melakukan hal yang tak menyenangkan disini.."
"Benar juga...aku juga tidak yakin kalau dia orang jahat-" wanita itu tampak setuju dengan ucapan Takashi.
"Sakai, Tomomi, Rino!! Dimana kalian!?"
Tiba-tiba suara okaasan memanggil mereka.
"Wah! okaasan memanggil, ayo kita kembali!"
Cepat-cepat mereka meninggalkan dapur sebelum okaasan mereka datang meyusul.
Bisa dimarahi mereka karena bukannya mengajari para maiko seperti apa yang diperintahkan, malah lalai didapur.
Takashi menghela nafas kecil melihat tingkah mereka.
Ia tak bisa setenang mereka melalaikan tugas, karena sedikit saja lalai, gajinya berkurang.
Takashi meletakkan mug yang sudah berisi teh hijau hangat itu di atas nampan bulat berukuran sedang, ia menambahkan sepiring kecil kue beras lalu membawanya ke luar pintu dapur.
Ia melihat pria itu sedang duduk di pinggir teras, membersihkan pedangnya dengan kain yang sebelumnya sudah ia minta pada Takashi tadi saat pagi-pagi sekali, bahkan sinar mentari pun belum terlihat saat ia duduk disitu.
Bekas darah menempel pada kain itu, membuat Takashi merinding.
Ia segera beralih dari pedang itu, tak mau berlama-lama melihatnya.
Semalam ia memang tak membersihkan pedang itu. Ia takut memegangnya.
Takashi melangkah mendekat pada pria itu lalu berhenti di sampingnya, agak jauh. ia berlutut dan meletakkan nampan berisi makanan kecil itu didekat pria itu.
"Tuan, makanlah sedikit kue ini untuk sedikit mengisi perut anda."
Pria itu menoleh, ia menatap sesaat pada Takashi lalu kembali menatap kedepan.
"Terima kasih."
Ucapnya sambil memasukkan pedangnya kedalam sarung karena sudah selesai dibersihkan sambil menghela nafas kecil dengan mata terpejam lelah dan kening mengerut.
Takashi belum pindah dari tempat itu, karena sebenarnya ia harus menyampaikan sesuatu. Sebuah pesan dari okaasan, namun ia merasa tak enak sekaligus takut.
Pria itu membawa pedang, bagaiman kalau setelah ia mengucapkan maksudnya ia malah marah dan mengayunkan pedangnya.
Karena Takashi tak tahu siapa pria ini, bagaiman sifatnya.
Tapi bagaimanapun ia harus tetap menyampaikanya.
Ia tak mau membuat okaasan marah lagi.
Beruntung tadi malam okaasan mengizinkan orang itu tinggal, dengan catatan esoknya ia harus pergi dari sini.
Okaasan tak mau sesuatu yang buruk menimpanya dan para penghuni okiya dengan menampung orang asing.
Bagaimana kalau dia benar-benar orang jahat?
Tapi Takashi mencoba menyimpulkan sendiri bahwa pria itu bukan seperti orang yang ia takuti dalam pikirannya, karena dilihat dari sikapnya, ia tak melakukan apapun yang mengganggunya dan penghuni lain di okiya ini sampai detik ini.
Ia pun terlihat tak banyak bicara, pria itu sering menatap jauh kedepan seperti memikirkan sesuatu.
Mungkin dengan tetap bersikap baik dan sopan ia tidak akan merasa terganggu.
Bagaimana dengan sedikit berbasa-basi dahulu? Supaya Takashi bisa melihat lebih lagi bagaimana sifat orang itu? Hitung-hitung persiapan sebelum menyampaikan pesan dari okaasan.
Lagipula, entah kenapa ia penasaran dengan identitas pria dihadapannya ini.
Siapa namanya, dia berasal dari mana kenapa bisa sampai terluka parah dan sebagainya.
"M..Maaf tuan, kalau boleh saya tanya anda... kenapa sampai terluka parah seperti itu tadi malam?"
Takashi menunggu jawaban dari pria itu.
Dan ia sudah merasa was-was karena orang yang ditanya tak kunjung menjawab, yang ada hanya terdiam menatap kedepan.
Mungkin memang pertanyaannya itu terlalu pribadi??
"Maaf, jika pertanyaan saya membuat anda tersing-"
"Melawan pencuri."
Akhirnya ia menjawab. Ia memutar kepalanya menghadap Takashi.
Sesuatu yang mengejutkan Takashi.
"Kenapa!?"
"Ah, tidak, hanya bertanya..."
Takashi menunduk buru-buru, ia menghela nafas lega.
Takashi kembali mengangkat kepalanya, ia memainkan kuku jarinya sebagai pengalihan rasa gugupnya.
"Ng..anda tinggal dimana!? Saya tak pernah melihat anda sebelumnya di daerah sini..."
"Tak tinggal dimanapun, aku pergi kemana saja. Dan kebetulan aku sampai disini."
Pengembara!?
Pikir Takashi dalam hati.
Dilihat dari senjata yang ia bawa sepertinya pria itu seorang samurai.
Tapi, bukankah pemerintah sudah melarang warganya membawa katana!? Lalu kenapa pria ini masih membawanya!?
Seketika rasa curiga hinggap dikepalanya.
Apa mungkin dia benar-benar penjahat!?
Tidak,Tidak,Tidak.
Takashi mencoba tak berprasangka buruk.
"Kau tinggal disini!?"
Tiba-tiba pria itu menoleh lagi dan kali ini ia yang bertanya pada Takashi, membuat Takashi tersentak kaget.
Ia menatap Takashi tak berpindah karena menunggu jawabannya.
Takashi malah dibuat terkesima oleh paras tegas pria itu yang menghadapnya langsung padanya.
Mata tajam bak elang, hidung mancung dan bibir tipis tajam.
Jika diperhatikan pria itu mirip gaijin. Apakah dia memang punya ketunan darah asing?
Takashi tak tahu dan mungkin tak mau terlalu memikirkannya untuk saat ini.
"A..ah.. iya. Saya bekerja disini. Sebagai pelayan."
Takashi menunduk begitu menyadari dirinya terlalu memperhatikan wajah pria itu barusan.
Beruntung ia tak sampai melamun panjang.
"Ini okiya!?"
"Iya."
Takashi mengangguk.
"Kupikir kau salah satu geisha yang tinggal disini."
"Eh? B..bukan. Tidak mungkin..."
Takashi menunduk malu.
"Kenapa tidak,"
Takashi mengangkat kembali wajahnya, menatap pada pria itu dengan sebuah pertanyaan.
"Anda menyukai geisha?"
"...Mereka indah dan penuh bakat. Jadi siapa yang tak suka melihat mereka?"
Takashi terdiam mencerna ucapan pria itu.
Walau pria itu tampak tak begitu serius mengatakannya; terkesan santai, tapi begitu menguras kepala Takashi.
Sejenak terdiam, Takashi kembali ke kesadarannya.
Takashi merasa suasana saat ini tenang, ia kembali teringat pada tujuannya dan mencoba mengabaikan sebentar ucapan pria itu tadi. Pria itu sudah sedikit mudah di ajak bicara. Sepertinya sudah pas untuk menyampaikannya, walau dilihat dia terkesan sangat dingin.
Masih sedikit membuat Takashi takut.
"Tuan, maaf, bukan bermaksud mengusir anda tapi, okaasan menyuruh-"
"Ya, aku tahu. Aku mendengar perbincangan kalian tadi malam, aku tak tidur."
Takashi terkejut, namun ia bisa menahan keterkejutannya dengan segera bersikap tenang.
"Nanti malam aku akan pergi dari sini. Aku minta waktu sebentar untuk tetap disini sampai malam. Apakah boleh!? " pria itu menoleh sesaat pada Takashi lalu melanjutkan kalimatnya kembali begitu melihat wajah Takashi yang tampak ragu.
"Tenang, aku tak akan mengganggu kalian."
Takashi bingung, ia tak punya wewenan mengizinkan orang asing ini ingin tetap sampai malam tiba, tapi ia juga tak tega.
"E..e.. saya tak berpikir seperti itu tentang anda, tapi... n..ng.. baiklah."
Takashi tak bisa menolak.
Walaupun ia tidak tahu okaasan akan mengizinkannya lagi atau tidak, namun ia berharap okaasan mengizinkannya dan tak marah padanya.
Sepertinya apa yang ingin disampaikan Takashi sudah selesai, ia harus kembali ke rutinitasnya sebagai tanggung jawabnya.
"Anoou... saya mau permisi dulu. Anda mau masuk kedalam?"
"Tidak, disini saja sudah cukup."
"Begitu..permisi tuan."
Takashi bangun dari duduknya, ia melangkah kembali masuk kedalam.
Meninggalkan pria itu sendirian.
Tanpa sepengetahuan pria itu, disela-sela Takashi melakukan pekerjaannya ia menyempatkan diri melihat keluar ke tempat pria itu duduk termenung.
Ia seperti terpanggil untuk melongokkan sebentar kepalanya keluar pintu.
Memperhatikan tiap gerakan pria itu.
Walau nyatanya pria itu tak banyak melakukan hal apapun selain memeriksa lukanya dan termenung lagi dengan tatapan tajam menerawang kedepan.
Saat malam tiba, lagi-lagi awan mendung datang, membuat langit jadi tampak muram.
Sepertinya akan turun hujan lagi seperti kemarin malam.
Untungnya Takashi tak pergi kemana-mana malam ini.
Ia sedang duduk diteras belakang, wajahnya menghadap kesamping menatap tiang penyangga atap. Tidak, sebenarnya dia bukan menatap tiang penyangga atap itu, tapi tengah membayangkan sosok yang seharian duduk di dekat tiang dan sesekali menyandarkan tubuhnya pada tiang tersebut.
Sudah selang satu jam lebih saat pria itu pergi.
Seperti ucapannya, ia benar-benar pergi saat malam tiba.
Sejujurnya, ia menginginkan okaasan mengizinkan orang itu tetap tinggal, walau tak mungkin terjadi, namun begitulah yang Takashi rasakan.
Seperti menemukan teman baru yang berbeda dari biasanya ia lihat sehari-hari disekitarnya.
Orang asing dengan penuh kemisteriusan oleh sikap maupun apa yang ia kerjakan membuat Takashi penasaran.
Entah apa yang mendorongnya hingga ia se-penasaran itu.
Takashi menatap ke atas langit.
Tak ada sinar bulan, semua bintang tertutup awan mendung.
Hanya terdengar suara jangkrik dan katak yang seperti meminta hujan.
Kira-kira tuan itu sudah sampai dimana ya??
"Ah, apa yang kupikirkan!?"
Tiba-tiba ia bergumam sendiri.
Menghentikan memikirkan orang yang baru dikenalnya dalam sehari.
Bukan siapa-siapanya kenapa ia harus memikirkan orang itu!?
Bukankah jika orang asing pergi dari rumah akan membuat tenang karena tak perlu takut direpotkan?
Namun tak bisa dipungkiri dari dalam hatinya terdalam ia berharap bisa bertemu lagi dengan pria itu.
Ia sama sekali tak merasa direpotkan oleh pria itu.
Wajahnya terus berputar-putar dalam kepala Takashi.
Entah kenapa, ia pun tak mengerti.
Takashi bangun berdiri.
Tubuhnya tak sanggup lagi menahan udara diluar yang makin lama makin dingin.
Ia melangkah masuk kedalam bertepatan dengan Atsuko yang baru datang ke dapur.
"Ah, Takashi, dimana kau menyimpan beras yang sudah direndam!?"
"Ah, iya, di atas itu Atsuko-neechan..."
Jawab Takashi sambil melangkah agak lunglai.
Takashi berjalan ke sebuah meja panjang didekat dinding berjerjak kayu sebagai ventilasi udara di dapur itu. Berhadapan dengan meja yang sering Takashi gunakan untuk mengerjakan pekerjaan sehari-harinya seperti mengolah makanan dan lainnya.
Ia mengambil sebuah wadah yang didalamnya sudah terisi rendaman beras.
Rendaman beras itu digunakan para geisha untuk riasan wajah dan juga perawatan tubuh dan wajah mereka.
"Ah, terima kasih "
Atsuko mengambilnya dan membawanya ke meja tempat Takashi biasa gunakan untuk mengolah bahan makanan.
Meja itu cukup tinggi sebatas pinggang, jadi nyaman digunakan.
"Tolong ambil alat penumbuk, ya!"
Pinta Atsuko sambil ia menyaring beras tersebut dari air rendaman untuk ia pindahkan ke wadah yang kering.
Beberapa saat kemudian Atsuko menyerngitkan keningnya, karena Takashi tak kunjung membawa alat penumbuk ke hadapannya sedangkan ia sudah selesai menyaring semua beras rendamannya.
Ia menolehkan kepalanya kebelakang mencari Takashi.
"Takashi? Kenapa melamun!?"
Takashi tersentak.
"Eh? Ada apa Atsuko-neechan?"
Takashi baru menyadari, sejak kapan ia melamun?
Atsuko tampak bingung.
"Sedang memikirkan apa!?"
Atsuko akhirnya membalik tubuhnya dan melangkah sendiri untuk mengambil alat penumbuk yang ada dihadapan Takashi, sambil ia tiba-tiba tersenyum menatap Takashi karena sebuah pemikiran dalam kepalanya yang muncul begitu saja.
"E..er... tidak Atsuko-nee... "
"Kau memikirkan pria itu!?"
Tebak Atsuko sembari membawa penumbuk ke meja satunya yang sudah ada beras yang di saring tadi, ia memasukkan beberapa sendok beras lalu mulai menumbuknya.
Sontak kalimat itu membuat Takashi melebarkan matanya dan langsung terlihat panik.
"T..tidak Atsuko-nee kenapa anda bisa menyimpulkan seperti itu!?"
"Soalnya, aku tak pernah melihatmu melamun seperti ini sebelumnya, "
"I..itu... y..ya... saya memikirkan pria itu tapi memikiran tentang siapa pria itu. Maksudku, dia siapa? Berasal darimana dan sebagainaya begitu."
Atsuko tampak menahan tawanya.
"Kalau soal begitu aku juga meikirkannya, tentu saja karena dia orang asing, okaasan dan yang lain juga pasti sempat memikirkan pria itu.Tapi cara kau memikirkannya itu tampak berbeda. Kau memilih untuk memikirkannya sendirian, Itu artinya ada pemikiran lain lagi didalam hatimu tentang pria itu yang tak ingin kau bagi. Seperti reaksi lain yang keluar dari dalam hatimu, entah itu apa... soalnya~ aku sempat melihatmu tersenyum saat melamun tadi lhoo~" Atsuko menyengir, ia seperti mengetahui sesuatu tentang Takashi namun ia mencoba membiarkan Takashi menemukan sendiri jawabannya.
Ucapan Atsuko sontak membuat Takashi panik dan salah tingkah.
"M..mau saya bantu Atsuko-neechan?"
Ia tiba-tiba bersikap seperti mengalihkan pembicaraan dengan wajah kebingungan.
Kebingungan kenapa ia harus bereaksi seperti itu?
"Oh, tentu," Jawab Atsuko dengan senyum miring.
Suasanapun tampak sunyi karena Atsuko sedang serius menumbuk berasnya.
Namun tidak dengan Takashi, semua yang ia alami hari ini mengingatkan pada satu hal yang sudah lama Takashi pikirkan sejak ia tinggal di rumah geisha itu. Namun ia belum menanyakannya karena begitu fokus pada pekerjaannya dan memikirkan keluarga.
Padahal, orang yang bisa ia tanyai disini banyak.
Namun ia belum begitu merasa perlu menyakan itu sampai akhirnya pria itu mengucapkan sesuatu yang terus-menerus membuat Takashi memikirkan itu dan akhirnya mendorongnya untuk menayakan hal tersebut sekarang.
"Atsuko-neechan..."
Panggilnya pelan yang langsung di respon jawaban "ya?" oleh sang pemilik nama.
"Menjadi geisha itu menyenagkan, ya?"
Tanya Takashi dengan nada pelan.
"Menurut yang kau lihat, bagaimana?"
Takashi tampak terdiam sejenak.
"Saya melihat para geisha selalu diliputi kesenangan, pakaian bagus, bisa tertawa dengan gembira, bercengkrama dengan teman-teman, seperti tak ada beban. Walau saya tahu terkadang para geisha kadang lelah sehabis berlatih, tapi diwajah kalian tetap tampak gembira."
"Itu yang terlihat bukan? Justru kebalikannya, menjadi geisha harus mengemban beban sangat berat.
Yang kau lihat itu bagian dari pekerjaan kami, harus tetap tampak tersenyum, gembira, walau ada masalah apapun dalam hatimu. Entah saat memikirkan keluarga yang sedang dalam kesulitan, para geisha harus tetap tampak tersenyum.
Yang paling berat,
Geisha harus membuang perasaan cinta. Seorang geisha tidak diperbolehkan memberi dan menerima cinta.
Kecuali, ada seseorang yang mau menjadi Danna dari seorang geisha. Orang yang akan membiayai dan bertanggung jawab atas seluruh kehidupan geisha tersebut,
yang akan menjadi kekasih akhirnya."
Suasana tampak sunyi kembali, hanya terdengar suara tumbukan beras dari Atsuko dan perbincangan para geisha lain yang sesekali tergelak tawa di ruang depan.
Takashi tercenung oleh penjelasan Atsuko.
Ia terdiam tak berkata apapun lagi.
Ternyata pekerjaan geisha tak semenyenangkan seperti yang ia lihat.
Mereka juga punya beban yang harus di emban.
"Maaf, Atsuko-nee, saya pikir menjadi geisha itu tak punya beban apapun."
"Tidak seperti itu, kami juga dari keluarga miskin yang dikirim orang tua untuk mencari uang. Sama sepertimu, kami juga memikirkan keluaga kami."
Atsuko mengusap kepala Takashi sebagai tanda ia juga mengerti perasaan Takashi dan membuatnya tabah.
"Ah, ini sudah tak apa, aku bisa melakukannya sendiri, kau bantu saja yang lain di ruang depan, mereka sedang belajar Ikebana. Mungkin mereka membutuhkanmu untuk memotong duri mawar."
"un, Baik."
Takashi pun pergi ke ruang depan.
Untuk membantu para geisha yang lain.
Jauh di pusat kota, entah apa yang sedang terjadi. Suara para warga begitu berisik karena ada polisi beberapa kali melewati jalanan kota. Membuat para warga bertanya-tanya, apa yang sedang terjadi?
Karena jarang sekali mereka kedatangan polisi dalam skala lumayan banyak seperti ini. Biasa hanya beberapa orang untuk mengejar pencuri. Ada warga yang langsung masuk kedalam toko bahkan ada yang langsung menutup sedikit toko mereka. Takut kalau-kalau terjadi gencatan senjata dan terkena peluru nyasar.
Para polisi itu berpencar ke berbagai lorong dan jalan.
Mereka sepertinya sedang mengejar orang yang cukup berbahaya!?
Mungkin saja.
Hingga akhirnya hujan turun membasahi bumi.
Namun itu tak membuat para polisi mundur.
Pencarian masih tetap berlanjut sampai tak terasa sudah larut malam.
Semua pertokoan dan kedai sudah benar-benar tutup.
Para warga tak banyak lagi yang berlalu-lalang. Jalanan sepi.
Di saat seperti ini mungkin akan sedikit mudah merasakan pergerakan ganjil.
Sampai tiba-tiba sebuah suara tembakan terdengar begitu memekakkan telinga.
Semua polisi secepatnya berlari ke arah asal suara tembakan sambil menarik kokang senjata laras panjang mereka sebagai persiapan.
Bagi warga yang mendengar mungkin akan membuat mereka terbangun.
Sama hal nya seperti Takashi.
Ia terbangun karena mendengar suara tembakan itu.
Walau agak samar karena letaknya jauh namun ia bisa mengenali itu suara tembakan karena hujan tak sederas malam kemarin, lagipula sudah sepi karena semua orang sudah tertidur.
Jadi suara itu begitu mencolok.
Takashi termenung dalam pembaringannya.
Matanya terpaku pada langit-langit atap yang gelap.
Ia seperti merasakan firasat tidak enak.
Namun ia mencoba mengabaikannya.
Mungkin itu tembakan oleh polisi yang mengejar maling seperti yang sering ia dengar dari pusat kota.
Ia kembali memejamkan mata untuk mencoba tidur kembali.
Walau awalnya susah karena otaknya tetap saja berputar mempertanyakan apa yang terjadi di pusat kota, bahkan ia sempat memikirkan pria itu tapi akhirnya ia pun tertidur tanpa sadar.
Beberapa jam setelah Takashi berhasil tidur kembali.
Tiba-tiba ia membuka matanya lagi karena tersentak mendengar suara seperti sesuatu terjatuh di lantai kayu diluar sana.
Suara kali ini begitu dekat. Ia tak boleh mengabaikannya kali ini.
Ia harus memastikan bukan pencuri yang sedang menjalankan aksinya.
Takashi menyingkap selimutnya lalu bangun dari pembaringannya.
Ia pergi kedapur dan mengambil sebuah lampu minyak tanah yang tergantung di dinding.
Ia menyalakannya lalu membawanya di tangan.
Sambil melangkah pelan menyusuri dapur Takashi juga mengedarkan matanya keseluruh dapur sampai ke langit-langit dapur, barangkali menyusup dari atas.
Sampai suara sesuatu yang jatuh menghantam lantai kayu kembali terdengar.
Kali ini terdengar suara batuk seseorang dengan nafas berat dan sesak.
Takashi berjalan tergesa-gesa menuju pintu dapur dan membukanya, sontak ia melihat seseorang tergeletak di lantai kayu teras belakang.
Angin dan hujan langsung menerpa tubuhnya.
Takashi hampir berteriak kalau saja orang itu tak segera memutar kepalanya menghadap Takashi sehingga sinar dari lampu minyak tanah meyorot wajahnya yang penuh memar namun langsung bisa dikenali Takashi sesaat sebelum api kecil itu padam oleh angin dan hujan.
Takashi segera mendekatinya, Pria itu lagi!
Kali ini kondisinya lebih parah lagi.
Kakinya berlumuran darah.
Pakaiannya kembali basah oleh darah, mungkin luka diperutnya kembali terbuka atau malah tambah luka baru?
"Tuan!! Anda kenapa!?"
Merasa tak ada gunananya Takashi bertanya, ia segera saja memikirkan harus membawa kemana pria ini.
Karena jika ia membawanya kedalam, sudah pasti akan dilarang Okaasan. Sudah tak mungkin lagi membawanya kedalam.
Takashi melihat sekeliling, mencari dimana tempat yang pas untuk mengobati pria ini tanpa diketahui Okaasan dan yang lainnya.
Dan dia melihat gudang penyimpan kayu dan beras didekat sumur.
Otaknya langsung bekerja cepat untuk bangun dan memapah pria itu untuk dibawanya ke gudang.
Dengan kesusahan karena tak bisa mengimbangi berat tubuh pria itu.
Membuat Takashi banyak mengucurkan keringat walau cuaca dingin.
Seperti malam itu, Takashi mengulanginya lagi.
Mengambil selimut, dan kotak obat.
Kali ini harus diam-diam dan sangat berhati-hati agar tak ketahuan.
Pria bermata tajam itu terus-terusan meringis merasakan sakit, tubuhnya bergetar hebat. Keringat dan air hujan membasahi sekujur tubuhnya hingga membuatnya mengigil. Tubuhnya benar-benar sudah hilang pertahanan.
Wajahnya benar-benar pucat.
Luka kali ini lebih parah dari sebelumnya.
Ia menekan kakinya terus-menerus sebisa mungkin menahan sedikit darah yang terus keluar dari lubang yang di buat oleh peluru dikakinya.
"Pisau!!" Pinta pria itu dengan suara tertahan.
Takashi tertegun, apa maksudnya.
"Ambil pisau!!"
Pria itu membentak, ia tak bisa lagi mengontrol nada bicaranya, sebab rasa sakit yang begitu menyiksanya.
Takashi cepat-cepat berlari keluar gudang.
Ia sampai lupa memakai alas kaki dan menginjak tanah becek saat berlari saking ia takut pada bentakan pria itu tadi. Ia tak memikirkan apapun lagi yang penting sekarang ia mengambil pisau. Benda yang sangat dibutuhkan oleh pria itu saat ini. Walau Takashi tak mengerti untuk apa benda itu.
Takashi kembali menuju gudang setelah mengambil pisau. Nafasnya ngos-ngosan dan yukata-nya jadi makin basah dan kotor terkena air hujan dan cipratan lumpur dari kakinya. Ia menyerahkan pisau itu yang tak bisa langsung diterima karena pria itu sudah tergolek lemah.
"Congkel pelurunya!!?"
"Ha!?"
Takashi tercekat.
Ia tiba-tiba jadi merinding.
Menconkel peluru didalam daging? itu menegrikan. Ia belum pernah melakukan hal se-mengerikan ini.
"Tolong cepat lakukan!" Pria itu tak bisa membiarkan peluru itu bersarang lebih lama di kakinya. Keringatnya terus mengucur menahan rasa sakitnya ditambah badan yang mengigil kedinginan. Dan tanpa bisa dihindari, pria itu berguling dengan urat-urat anggota tubuh yang tertarik menengang karena rasa sakit itu.
"Tapi tuan.. s..saya.."
"Lakukan saja!!"
Takashi melihat pria didepannya, terbaring dengan urat menegang dan sekarat seperti hampir mati. Ia menarik kembali pisau yang ia sodorkan pada pria itu dan ia arahkan ke dekat kaki pria itu. Takashi mendekatkan pisau itu ke luka tersebut. luka lubang yang begitu dalam. Jari-jarinya bergetar saat menyentuh kaki pria itu.
Seketika ia pucat pasi sampai seluruh ubuhnya bergetar.
Mencongkel daging!!? Ini sungguh mengerikan.
Takashi mengigit bibirnya mencoba kuat.
Ia menarik nafas dalam-dalam dan mulai menyentuhkan ujung mata pisau ke kulit kaki pria tersebut.
Takashi tersentak kaget saat pria itu mengerang sakit.
Ia sampai reflek menarik pisau itu menjauh.Jantungnya sampai terpacu begitu kencang saking ia takutnya.
Ia mencoba lagi, sialnya tangannya masih bergetar hebat.
Namun ia mencoba kuat.
Jika seperti ini terus maka tidak akan selesai. Peluru yang bersarang dalam tubuh jika tak segera dikeluarkan akan sangat berbahaya.
Bisa membuat kaki membusuk karena infeksinya.
Sekali lagi Takashi menarik nafas panjang dan nekat mengcongkel luka itu.
Kali ini teriakan pria itu coba ia abaikan, walau pria itu sudah mencoba meredam suaranya denga menggigit lengannya sendiri tapi Takashi tahu ia pasti merasa sangat tersiksa oleh rasa sakit saat ia mencongkel peluru dikakinya.
Ia harus bisa tahan.
Kalau tidak, ia akan gagal.
-----
Nafasnya kini mulai teratur, setidaknya setelah peluru itu keluar dari kakinya, rasa sakit banyak berkurang.
Takashi menarik nafas dalam-dalam.
Ia terduduk lemas sambil mendongak ke atas dengan kedua tangan ia tumpu pada lantai untuk menopang badannya dan mengatur nafas dengan benar.
Ia merasa lega akhirnya berhasil menegeluarkan benda kecil namun sangat berbahaya yang masuk ke kaki pria itu.
Hampir dua jam ia merawat luka pria itu. Benar-benar menguras nyali dan tenaga.
Kerigatnya mengucur tak kalah seperti pria itu.
Pria itu menggerakkan kepalanya ke samping melihat pada Takashi. Walau pandangannya masih melemah, namun ia masih sanggup menggerakkan kepala dan tangannya.
Pria itu menatap Takashi yang sedang membereskan bekas-bekas kapas dan semua sisa pengobatannya.
"Terima kasih.."
Takashi tersentak. Ia mengangkat kepalanya.
Ini kali pertama pria itu mau bicara duluan, dengan tatapan matanya yang melembut lagi.
"E..eh.. ya.. tak masalah tuan,"
Tanpa bisa dihindari, Takashi seperti lagi-lagi menatap terkesima pada pria itu.
Kali ini ia dapat memperhatikan bola mata abu-abu itu dengan jelas, memantulkan kobaran api dari lampu minyak. Terbingkai dengan indahnya oleh bentuk matanya yang tajam seperti mata elang.
Takashi tanpa sadar melamun sampai pria itu bicara dan membuatnya terbangun dari lamunan.
"Kau sudah sangat banyak membantuku..."
Takashi menggaruk tengkuknya,
"Tidak, saya hanya membantu sebisa saya tuan, berapa kalipun kalau bisa membantu pasti akan saya lakukan, semua orang pasti juga begitu."
"Panggil aku Shinji, aku bukan tuanmu.."
"E..er.. .b..baik... maaf."
"Dan, tidak semua orang begitu..."
Takashi mengerjapkan matanya, ia sedikit tak mengerti apa maksud kalimat terakhir itu, tapi ia tak berani bertanya lagi.
Shinji memang sudah tampak mulai banyak bicara, tapi tetap saja dia dingin, mungkin karena pengaruh tipe wajahnya? Karena setelah dilihat spertinya Shinji benar-benar orang baik.
Takashi meyakini itu.
Tsuzuku.
Rabu, 12 November 2014
[FF] Brother relationship 9
Title: Brother relationship
By: Sachi, Sachi_ciel
Chapter : 9/?
Fandom: Alice Nine, OC.
Pairing(s): Tora x Saga, Shou x Saga, ShouxHiroto.
Genre: AU, Drama gaje, ancur-ancuran, crack gagal.
Rating: T
Disclaimer: Tora is mine.
*Yang percaya saya ucapkan terima kasih banyak*
(Dibakar idup-idup)
Note : ga yakin beneran sama chap ini. Asal ketik ga ada isinya. Entahlah, otak lagi buntu.
*..*..*..*
"Apa-apa'an penampilan kalian itu!?"
Ketiga mahkluk yang baru turun dari kamar tadi saling menatap satu sama lain, mereka hanya terdiam.
"Shou, kau mau menjadi badut!?"
"Tidak!! Itu ulah Tora!"
"Apa!? Awalnya 'kan gara-gara kau!"
"Ulah kalian berdua!!"
Bentak Saga terakhir membuat Tora dan Shou terdiam.
"Haah... baiklah, anak-anak, makan nasinya, nanti akan mama belikan buku mewarnai untuk kalian."
"Memangnya kami anak TK!?"
"Lho, bukannya iya!? Lihat saja Hiroto-kun yang jauh lebih muda dari kalian, tetapi dia bisa tenang tidak seperti kalian."
Ketiganya menoleh pada sosok yang sedang dibicarakan, sedang makan dengan santai menikmati tiap suapan nasi yang masuk kemulutnya sendiri.
Tora mendengus, Shou dan Saga menunduk malu.
Merekapun mengambil piring dan meletakkan makanan didalam piring mereka masing-masing.
Suasana di meja makan pun berjalan normal, tak ada yang berani lagi membahas keributan tadi.
*.*.*.*.*.*
"Kita harus bicara!"
Shou menarik sebelah alisnya ke atas, mendapati Tora berdiri didepan kelasnya; menunggunya.
"Bicara apa!?"
"Sudahlah, kau ikut aku! Kita cari tempat yang nyaman untuk berbicara."
Shou mengikuti saja walau tampak bingung, dan karena kebingungan itulah ia mau ikut Tora untuk menemukan jawabannya.
Jika tidak bingung-bingung amat mungkin dia enggak ikut.
Mereka menuju ke sebuah cafe yang sudah disepakati beberapa saat lalu melalui rapat pleno. Mereka memutuskan pergi dengan kendaraan masing-masing, karena tak mungkin salah satu dari mereka meninggalkan kendaraan di kampus, akan jadi sangat merepotkan bagi mereka waktu pulang nanti harus kembali lagi ke kampus menggambil salah satu kendaraan yang ditinggal.
Mereka memesan makanan, semua Tora yang bayar karena ia yang mengajak dan itu tak masalah baginya.
Karena orang didepannya lebih punya masalah besar untuknya.
"Kau menyayangi Saga lebih dari sebatas saudara 'kan?"
"Uhuk!!"
Shou sampai terbatuk karena ucapan Tora yang tiba-tiba itu.
Ia buru-buru mengambil gelas minumannya dan menenggak isinya untuk meredakan batuknya.
"Apa maksudmu!!?"
"Jangan pura-pura. Kasih sayangmu terhadap Saga itu berbeda, perlindunganmu terhadapnya berbeda, kau memandangnya berbeda juga."
Shou tampak terpojok.
Namun sebenarnya ia tidak se-terpojok itu, ia hanya memasang wajah seolah sangat terpojok. Karena ia juga tahu sesuatu tentang Tora.
"Kau juga begitu 'kan? Kau menyukai Saga!"
Shou langsung mengatakan dengan to the point.
Karena penjelasannya juga sama seperti apa yang dijelaskan Tora barusan.
Shou tersenyum miring, ia merasa tak kalah karena bukan hanya ia yang salah disini.
Tetapi lawannya juga.
Tora meremat gagang garpunya begitu erat. Ia menatap tajam pada Shou yang tersenyum penuh rahasia.
"Ternyata, benar kau punya perasaan seperti itu juga. Aku benar-benar terkejut. Sudah lama aku berpikir kasih sayangmu dan sikap melindungimu itu punya tujuannya."
"Jangan berkata seolah-olah kau tidak melakukan hal yang sama, Shou!"
"Ah, ya kau benar!"
Shou tersenyum sambil melipat tangannya didepan dada.
Ia tak punya nafsu makan lagi semenjak perbincangan mereka dirasa sangat serius.
"Tapi sepertinya sebentar lagi aku akan menghentikan semua ini. Semua yang ku lakukan sepertinya akan sia-sia. Karena kau tahu, Saga menganggap kita tak lebih dari seorang kakak sepupu."
"Ah, apa ini strategimu untuk menyingkirkanku? Membuatku sepaham denganmu lalu aku juga ikut menyerah sama sepertimu.
Kau tahu Saga bukan sepupu asli kita bukan?"
Tora membelalakkan matanya sangat terkejut.
Panggilan mata elang buatnya kini berubah jadi mata sapi.
Namun mata sapi nya tak berlangsung lama.
Seketika matanya berubah tajam kembali dengan tangan menggenggam erat gagang garpunya.
Ia menggenggam sangat erat kali ini hingga rasanya garpu itu akan patah.
"Kau tahu tentang itu!?"
Ucapan Tora terdengar gemertak oleh gigi-giginya yang beradu.
"Memangnya hanya kau yang diberitahu? Kau PD sekali Tora, ibuku dan ibumu itu saudara kandung. Jika kau mendapatkan berita itu dari ibumu, maka aku jug mendapat berita itu dari ibuku yang ibuku mendapat berita tersebut dari ibumu."
"Cih, kita saudara Shou, jadi aku tak mau kita melakukan hal konyol dengan berkelahi. Tapi! Aku tetap akan melakukan apapun untuk mendapatkan Saga. Aku tak akan menyerah."
Tora menatap Shou penuh bara api.
"Begitu juga denganku, Tora~"
"Cih!"
Tora mengeluarkan beberapa lembar uang dan meletakkannya di atas meja.
Setelah itu ia melangkah meninggalakan cafe itu.
"Aku duluan."
"Okee..."
Shou mengangkat satu tangannya sebagai tanda salam perpisahan untuk Tora yang pulang duluan. Ia kembali memegang sendoknya dan kembali memakan makanannya yang sudah agak dingin itu sambil tersenyum sendiri menatap ke atas meja.
***
Saat ini rumah Shou lumayan sepi.
Para penghuninya sedang pergi keluar.
Shou di kampus, ibu Shou sedang pergi bersama temannya ntah ada keperluan apa, ayah Hiroto pergi mengurus kepindahan sekolah Hiroto ke sekolah yang baru; kalau Hiroto tak salah dengar tadi atau ia memang lupa karena tak terlalu mempedulikan ayahnya pergi kemana. Dan tinggallah ia sendiri dirumah itu.
Namun Hiroto tak merasa keberatan, karena ia memang lebih suka ditinggal sendiri.
Karena dengan begitu ia lebih leluasa bermain game tanpa ada yang mengganggu.
Seperti yang ia lakukan sekarang, duduk disofa ruang tamu dan bermain game dengan khidmat tanpa menoleh ke arah lain sedikitpun.
Hanya ada dua pekerja rumah tangga yang mereka juga sibuk dengan pekerjaan mereka sendiri dibagian-bagian lain rumah itu.
"A..aaa!! Sedikit lagi... aduh!!"
Hiroto menghempaskan tangannya yang sedang memnggenggam game portable-nya kesamping sofa.
Sepertinya ia baru saja kalah main game.
Ia menyandarkan punggunggnya ke sandaran sofa sambil matanya menatap benda apapun yang ada dihadapannya.
Rasa bosan sepertinya sedang perlahan mulai mendatanginya.
Tanpa sengaja ia melihat sebuah foto yang besar terpajang di salah satu dinding.
Foto keluarga Shou.
Tiba-tiba Hiroto memperhatikan foto Shou, yang posisinya berdiri disamping ibunya yang duduk di kursi.
Shou tersenyum sangat manis, wajahnya tampan.
Makin lama di pandang entah kenapa membuat pipinya jadi panas.
"Ch! Sok tampan!"
Cepat-cepat Hiroto memalingkan wajahnya.
Tanpa terduga saat Hiroto memalingkan wajah ke arah pintu dan Shou muncul disana;baru pulang kuliah.
"Hei, Hiro-"
Sontak Hiroto kaget dan memalingkan lagi wajahnya ke arah lain, membuat Shou jadi gagal untuk menyapanya.
Namun Shou sepertinya tak marah, ia pikir memang sifat bocah itu seperti itu. Mungkin karena ia masih malu-malu. Shou berjalan ke tempat Hitoto ia berhenti dibelakang sofa tempat Hiroto duduk dan mengajaknya bicara.
Ia mencoba mengakrabkan diri, mungkin lama-lama Hiroto tak malu lagi jika sudah akrab.
"Sepertinya kau bosan ya sendirian dirumah. Ah, pasti bosan. Mau main denganku?"
Hiroto cepat-cepat mengambil game portable yang ia lempar disampingnya tadi dan memainkannya.
"Siapa bilang bosan, aku asik main game kok!"
Ia membuat gestur seolah-olah sedang sibuk dengan game-nya.
"Hoo... kau lebih suka main game portable ya, padahal aku mau mengajakmu main game PS4. Yasudah kalau tidak mau."
Shou pergi dari tempat itu dan menuju ke kamarnya.
Seketika tubuh Hiroto membatu, matanya terbelalak dengan mulut menganga.
PS4!!! Game yang sangat diinginkan namun belum dibelikan ayahnya karena masih sibuk mengurus kepindahannya.
Lagipula ayahnya masih berpikir dua kali untuk membelikan game itu karena harganya masih sangat mahal karena baru rilis.
Ia masih sangat ingat apa kata ayahnya yang membuatnya nyesak di dada.
"Tunggu beberapa tahun lagi saat harganya sudah sedikit menurun baru ayah belikan, "
Kalimat itu sungguh membuat hati Hiroto pecah berkeping-keping.
Dan kini saat ada yang mengajak main malah ia menolak.
"Huaaaah!!!"
Hiroto menjatuhkan diri ke sofa meraung meratapi hatinya yang gregetan ingin main game PS4.
Dia membayangkan saat ini pasti Shou sedang asik main game tersebut.
Sampai tanpa sadar akhirnya ia tertidur karena sebenarnya sedari tadi dia bosan dan suntuk, jadilah saat terbaring sebentar ia langsung rertidur.
Kenyataannya Shou sedang tak main game itu, seperangkat benda itu masih terpajang rapi di dalam kamarnya.
Shou sedang mandi saat ini, kebiasaan umum orang lakukan saat lelah baru pulang dari suatu tempat.
Ia tak mendengar saat ponsel yang ia letakkan di atas meja belajarnya berdering.
Beruntung saat ia keluar kamar mandi ponsel itu masih bebunyi.
Shou butu-buru berjalan ke meja nya lalu mengangkat panggilan itu yang ternyata saat dilihat nama yang tertera adalah nama Saga.
"Halo, Saga ada apa!?"
"Shou-nii bisa temani aku ke toko buku sebentar!?"
Tanpa berpikir panjang Shou langsung menerimanya, kesempatan emas, mana mungkin ia menolak.
"Oh, tentu. Kapan!?"
"Sekarang bisa!? Aku tunggu didepan kampus."
"Baiklah, tunggu disana aku akan datang menjemputmu."
"Baiklah, terima kasih Shou-nii"
Sambungan telepon pun terputus.
Shou dengan wajah sumringahnya buru-buru menyiapkan diri.
Ia merasa sepertinya lebih unggul dari Tora dalam hal mendapatkan Saga.
Karena Saga pun sepertinya lebih nyaman dekat dengan Shou.
Karena tahu sendiri, Tora itu sering membuat Saga sebal walau tujuannya baik namun caranya sering membuat terganggu karena suka menggodanya ditambah sikap berandalnya.
Tak berapa lama kemudian Shou selesai bersiap-siap.
Ia tinggal mengambil dompet dan ponselnya lalu keluar dari kamar.
Saat turun dari kamar ia melihat Hiroto terbaring terlungkup di atas sofa.
Ia keherananan.
Shou mendekat untuk memastikan apakah bocah itu tidur atau tidak.
Yang ternyata Hiroto sudah jauh pergi ke alam mimpinya.
"Kenapa tidur disini!?"
Gumam Shou sambil melihat kesekeliling.
-
Setelah memastikan Hiroto terbaring nyaman ditempat tidur, Shou menutup pintu kamar itu; kamar tamu yang digunakan Hiroto dan ayahnya saat menginap dirumah Shou.
Shou lalu kembali ke tujuan awalnya untuk pergi menemani Saga ke toko buku.
*..*..*..*
Shou tiba di depan kampus Saga, ia langsung menemukan Saga yang sudah berdiri didepan pintu gerbang.
Ia membuka kaca pintu mobil dan memanggil Saga yang tak menyadari kehadiran Shou karena ia sedang berpaling ke arah lain.
"Saga!!"
Saga menoleh dan ia langsung melihat Shou, ia menuju mobil Shou.
Merekapun berangkat ke toko buku.
Kira-kira tiga puluh menit kemudian mereka tiba di daerah shinjuku.
Memarkirkan mobil dan berjalan kaki menuju toko buku.
"Mau mencari buku apa!?"
Shou membuka pembicaraan sambil mereka berjalan santai.
"Etoo... Buku.... aku lupa, ada beberapa buku yang harus dibeli, ada daftarnya dikertas."
"Hmm... setelah dari toko buku ada pergi ketempat lain?"
"Ng, tidak."
"Sou, nanti mau makan? Niichan yang traktir.."
"Makan!? Tentu saja mau. Kenapa pakai bertanya segala..."
"Ahahah... sesaat niichan seperti lupa kalau kau itu suka makan."
Hiroto mengerutkan keningnya, ia mengangkat satu tangannya untuk mengucek matanya.
Perlahan matanya terbuka sempurna. Membiasakan matanya sebentar untuk menerima sinar lampu dan tiba-tiba ia pun terlonjak kaget sampai terbangun duduk.
"Hah? Kenapa disini!? Bukannya tadi di sofa!?"
Hiroto terdiam mengingat-ngingat kalau ia benar-benar di sofa tadi, ia tidak berjalan ke kamar dan melentangkan diri di kasur ini.
Lalu siapa yang mengangkatnya ke kamar?
"Shou!?"
Tiba-tiba saja nama itu keluar dari mulutnya.
"Ah, kenapa dia? Tidak, tidak, tidak mungkin dia. Ada orang lain dirumah ini selain orang sok ganteng itu. Yah, walapun tadi hanya terlihat ia yang mondar-mandir dirumah. Tapi pasti ada orang lain, Mungkin saja paman tukang kebun atau bibi didapur, atau mungkin tadi ayah pulang dan mengangkatku ke kamar lalu ia pergi lagi. Ya, pasti begitu."
Hiroto jadi sibuk sendiri memikirkan siapa yang memindahkannya ke kamar.
Entah kenapa ia pun heran.
Sampai akhirnya ia menyerah.
Karena tetap ia tidak akan tahu jika tidak diberi tahu atau ia yang bertanya.
"Argh! Terserah siapapun. Yang pasti bukan dia!"
Ia melihat jam sudah sore.
Ia memutuskan untuk mandi saja.
Otaknya bisa pecah jika memikirkan hal yang tak penting begitu berpputar-putar dalam otaknya.
Tinggal ia tanya saja maka akan terjawab siapa yang mengangkatnya, mudah saja bukan.
Tapi kira-kira ia harus tanya sama siapa?
"Oh, baiklah, akan kutanyakan pada orang didapur saja."
Dengan begitu Hiroto mandi dengan sedikit tenang.
Selang beberapa saat ia pun selesai berbenah diri.
Ia keluar kamar dan kembali ke ruang tamu.
Game portable-nya tertinggal disana.
Kebetulan yang pas, ada seorang wanita paruh baya pengurus rumah yang lewat, ia mau langsung bertanya.
Namun agak ragu karena merasa pertanyaannya sedikit tak penting.
"Anouu.... bibi tadi lihat siapa yang memindahkanku ke kamar!?"
Kening wanita itu tampak berkerut.
"Ng.. Memindahkanmu? Memindahkan bagaimana!?"
Oke, dari pertanyaannya balik sudah jelas kalau wanita itu tak melihat.
"Ah, tidak, tidak jadi bi, terima kasih."
Hiroto pergi ke luar di taman samping rumah tersebut.
Ia duduk di kursi saat pertama kali ia tiba di rumah ini.
Lagi-lagi ia hanya bisa memainkan game portable-nya.
Tiba-tiba ia teringat saat Shou mengajaknya bermain game PS4 yang langsung ia tolak.
Ia begitu menyesal kenapa ia menolak, salahkan mulutnya yang mengeluarkan ucapan itu tanpa kontrol, tapi memang sudah seperti itu sifatnya.
Jadi ia mencoba untuk sebisa mungkin tak menyesal, ia akan mencoba memintanya sekali lagi pada ayahnya nanti.
Tapi ngomong-ngomong kemana Shou?
Hiroto melongokkan kepalanya kedalam, kebetulan kursi yang ia duduki dekat pintu.
Ia tak melihat Shou berkeliaran dirumah dari ia keluar kamar tadi.
Apakah didalam kamar?
Jiwa remaja labilnya tak bisa dihindari, bagaimanapun ia tetap penasaran dan sangat ingin melihat benda yang sudah sangat di inginkannya.
Walau tak bisa memegang paling tidak ia ingin melihatnya dulu.
Maka di otak remaja labilnya muncul sebuah rencana untuk ke kamar Shou melihat game tersebut. Melihat secara nyata bukan hanya di TV atau majalah game.
Hiroto kembali masuk ke dalam rumah, ia menuju tangga ke lantai dua dan menaikinya.
Ia langsung tahu yang mana kamar Shou karena waktu itu pernah datang ke depan kamar itu.
Hiroto menempelkan telinganya ke pintu kamar Shou memastikan terlebih dahulu apakah Shou ada didalam atau tidak.
Hiroto merasa tak ada suara apapun didalam.
Ia memutar gagang pintu itu lalu membuka pelan pintu kamar Shou dan mengintipnya sedikit.
Saat tampak seperangkat game PS4 yang terpajang rapi Hiroto seperti tak terkontrol membuka lebar pintu itu dan memandang takjub pada benda itu.
"PS empaat~"
Wajahnya tampak seperti ingin merengek.
Mungkin jika ayahnya ada disitu ia sudah merengek-rengek pada ayahnya.
"Keren sekali...."
Gumamnya dengan nada memelas.
Ia menutup pintu itu.
Melihatnya terlalu lama membuat Hiroto makin ingin menyentuhnya, menyalakan lalu mainkannya.
Ia memutar badan dengan lesu lalu perlahan berjalan menuruni tangga.
Ternyata ada seseorang yang baru menaiki tangga.
Saat Hiroto mengangkat wajahnya ia melihat Ibu Shou didepannya.
"Hitoto!? Shou ada dikamar!?"
"Eh? Bibi Mai? S..spertinya tidak."
"Oh... belum pulang ya,"
"Anou.. Ayah sudah pulang?"
"Ah, sudah, ada dibawah diteras samping."
"Oh, Aku ke sana dulu bibi Mai..."
"Ya, Bibi juga mau turun lagi, kupikir Shou ada dikamar."
Ibu Shou menuruni tangga pelan karena ia sedang sibuk memegang ponselnya, sepertinya mau menelfon Shou.
Hiroto berlari ke teras samping, tempat ia juga duduk beberapa saat yang lalu sebelum pergi ke kamar Shou.
Ayahnya sedang duduk menikmati secangkir teh hangat untuk melepas lelahnya seharian mengurus surat kepindahan Hiroto di sekolah barunya.
"Ayah!?"
"Oh, Hiroto...sini duduk."
Hiroto menuruti ayahnya, ia melangkah ke kursi satunya di samping ayahnya.
Belum sempat ia mengucapakan keinginannya untuk segera dibelikan game PS4, ayahnya mendahuluinya.
"Surat kepindahan sekolahmu semua sudah beres. Disana ada asramanya juga. Ayah sudah memasukkanmu di asrama karena kau bilang tak mau tinggal di sini."
"Ha? Jadi aku sudah dimasukkan ke dalam asrama!?"
"Iya, karena kau bilang kau mau tinggal di apato saja, itu berarti tak mau tinggal disini. Jadi saat tahu disekolah barumu ada asrama jadi langsung ayah daftarkan. Daripada di apato jauh dari sekolah, mending di asrama yang memang dekat area sekolah."
Hiroto terdiam seribu bahasa.
Bagaimana bisa!!
Ia awalnya memang tak mau tinggal disini, tapi setelah mengetahui bahwa Shou punya game PS4 ada sedikit perubahan pikiran, namun rasanya juga ia mau mencoba pilihan lain dulu. Dengan tetap memaksa ayahnya.
"Ng... A..ayah.."
"Hn??"
Respon ayahnya sambil menyeruput teh nya setelah menjelaskan panjang lebar.
"Aku.... belikan aku game PS4."
"Apa!? 'Kan sudah ayah bilang, untuk sekarang tidak bisa beli barang mahal seperti itu dulu. Game-mu masih banyak sekali dirumah, PS1 PS2 PS3. PS4 mau kau letakkan dimana!? Di asrama mana bisa membawa game yang membutuhkan ruangan besar seperti itu."
"Kalau begitu aku mau tinggal di apato saja."
"Kalau tinggal di apato biayanya lebih mahal, daripada membeli game yang mahal begitu lebih baik uangnya membayar apato."
"Ayah banyak alasan, bilang saja tidak mau membelikannya!"
"Memang tak ayah belikan kok,"
"Jahat sekali."
Wajah Hiroto merengut campur seperti ingin menangis.
"Shou saja punya..."
Ayah Hiroto menoleh cepat ke arahnya.
"Hng? Shou punya PS4? Ah, main saja sama dia."
"Tidak mau!! Aku mau main sendiri."
"Yasudah, pinjam saja punya Shou."
"Tidak mau!"
"Yasudah kalau tidak mau."
Ayah Hiroto kembali meneguk teh yang sudah tinggal sedikit lagi.
Sekali teguk lagi cangkir itu akan kosong.
"Ayah~"
Akhirnya Hiroto merengek.
"Ada apa? Sepertinya ada ribut-ribut?"
Tiba-tiba muncul seorang pria tinggi tegap dari pintu.
"Wah, anda sudah pulang? Kapan?"
Ayah Hiroto bangun dari kursinya lalu menyalami pria yang datang tersebut memberi selamat sudah kembali dari tugas luar kotanya.
"Baru saja."
"Hiroto, ayo salam sama paman."
"Wah, ini Hiroto? Sudah besar ya,"
Ayah Shou menepuk pucuk kepala Hiroto yang tampaknya Hiroto agak tak suka kepalanya ditepuk-tepuk.
Tapi Hiroto memperhatikan pria didedapnnya, bertubuh tinggi dan tampan juga, mirip Shou sekali.
"Ahaha... dia tidak besar kok, tubuhnya kecil begitu."
Hiroto menoleh ke arah ayahnya dengan wajah sebal.
"Lalu, sepertinya dari tadi wajahmu cemberut terus, ada apa?"
"Ah, tidak, biasa, anak kecil yang merengek minta mainan."
"Oh, ya... sampai merengek begitu berarti kau tak membelikannya?"
"Err... bukan tak mau membelikan, tapi... "
"Memang tak mau dibelikan!"
Hiroto memotong ucapan ayahnya.
"Memangnya mainan apa?"
"Haah.. mainan anak jaman sekarang, yang lagi nge-trennya. Yang pakai nomor empat itu..."
Jelas ayah Hiroto dengan malas.
"Empat? PS4?"
"Yah, yang seperti itulah.."
"Oh, kalau itu Shou punya, kenapa tidak main punya Shou saja. Kalau mau main main saja tidak apa-apa, mau main sekarang boleh juga, masuk saja ke kamarnya."
"A... eh.. ti..tidak usah paman..."
Hiroto ingin rasanya menabok mulutnya sendiri. Ucapan dan hatinya selalu berbeda.
Padahal sudah di izinkan main, malah Shou pun mengajaknya kemarin, tapi kenapa ia harus menolak. Bukankah ia sangat ingin memainkannya. Hiroto menangis dalam hati.
*..*..*..*..*
Selesai membeli buku mereka berjalan mencari restoran.
Berhubung kini Shou sedang berdua dengan Saga, maka kesempatan untuknya mengorek informasi pribadi Saga.
"Kau masih sibuk dengan kuliahmu!?"
"Hng!?"
Saga mengerutkan kening, makanan yang akan ia suap ke mulutnya tak jadi ia masukkan ke mulutnya.
"Tentu saja masih sibuk dengan kuliah selama aku masih kuliah, Shou-nii bicara apa sih!?"
"A..ah.. ya.. kau benar. Tapi maksudku... ngg... apa ada kegiatan lain?"
"Kegiatan lain? Aku hanya ikut kegiatan sosial di kampus. Jadi panitia penggalang dana 'Koin cinta untuk gurame'
"A..ah ya bagus. Tapi maksudku... kegiatan pacaran!?"
"Ha? Mana ada kegiatan seperti itu di kampus!"
"Bukan dikampus! Maksudku apakah kau punya pacar!?"
"Oh, kenapa berbelit-belit sih Shou-nii... aku tak punya pacar. Ada apa!?"
"Tak punya!? Orang yang kau suka!?"
"Orang yang kusuka. Hmm.. Shou-nii-"
Ucapan Saga langsung terpotong oleh keterkagetan Shou.
"Ha?"
"Kenapa Shou-nii kaget? Yang kusuka ya Shou-nii, Tora-nii ya walaupun dia itu kadang bikin sebal tapi dia kan kakak yang baik juga. Ah, Hiroto-kun juga, dia sepertinya bocah yang pemarah, tapi dia lucu, aku suka."
Shou serasa mau terjun dari tebing paling tinggi.
"Bukan suka yang seperti itu, maksudku, ng.... pada orang lain? Seperti jatuh cinta atau semacamnya begitu.."
"Hoo... suka yang seperti itu."
Shou menghela nafas lega.
"Ng.. tidak ada..."
"Oh, tidak ada..."
Kali ini dia benar-benar lega.
Tiba-tiba Shou merasakan ponsel di sakunya bergetar, ia mengambilnya dan ternyata ada sebuah pesan masuk dari ibu nya. Selesai membaca pesan ia melihat ada lima panggilan tak terjawab dari ibunya sejam yang lalu, pasti dia di marahi saat pulang nanti. Tapi sungguh ia tak merasakan getaran ponselnya saat masih di toko buku tadi.
"Sudah selesai!?"
Tanya Shou pada Saga yang duduk dihadapannya yang baru saja selesai menghabiskan minumannya.
"Un!"
"Kita langsung pulang ya, tadi mama mengirim pesan katanya ayah sudah pulang."
"Oh, paman sudah pulang dari okinawa?"
"Ya,"
"Nanti aku mau main ke rumah, tapi sekarang harus pulang dulu. Oh, iya kalau Shou-nii mau pulang sekarang tak apa, aku naik kereta saja. Terima kasih sudah menemani ke toko buku."
"Kenapa naik kereta, aku 'kan ada disini, tinggal mengantarmu saja naik mobil."
"Apa tak apa? Ayahmu kan baru pulang."
"Memangnya kenapa kalau ayah baru pulang, sehabis mengantarmu 'kan aku langsung pulang, memangnya mengantarmu perlu berhari-hari, Kau ini."
Akhirnya Saga meneruti.
Saat berjalan menuju parkiran mobil tiba-tiba ponsel Saga berbunyi, ia mengambilnya dari dalam tas dan mengangkatnya setelah melihat nama pemanggilnya sebentar.
"Ya, Gackt-sensei!?"
Saga sibuk menelpon dengan senseinya. Sedangkan Shou menatap, memperhatikan Saga yang sedang bicara dengan sensei nya dengan wajah sumringah. Ia jadi curiga.
"Baik, akan saya bawakan besok."
Saga menutup teleponnya.
"Sensei mu?"
Saga mengangguk.
"Ada apa!?"
"Sensei menyuruhku membawa tugasku besok untuk di revisi."
"Ho.." Shou memperhatikan lagi wajah Saga yang tampak menahan senyumnya.
"Kenapa senyum-senyum!?"
Saga tersentak kaget.
"Ah, tidak.."
Saga menggaruk pipinya yang tak gatal.
"Pasti ada sesuatu, tentang sensei mu?"
"Ah, aku memang tak bisa menyembunyikan apapun ya dari shou-nii. Ngg... aku kagum pada Gackt-sensei, dia orang jepang asli tapi punya wajah seperti bule, orangnya juga ramah, kalau dia mengajar itu mengasyikkan, singkat dan jelas. Mudah di mengerti."
"Oh, sperti itu..." Ada nada kecemburuan dalam kalimat Shou.
Ia merasa was-was kalau jangan-jangan Saga bukan sekedar mengangumi gurunya itu.
Setelah itu Shou memutuskan untuk tak banyak bicara lagi.
Ia akan memantau sendiri bagaiman kelanjutan Saga nanti terhadap senseinya.
Shou pun langsung tancap gas mengantar Saga pulang.
Hiroto duduk dibawah, di pinggir teras setelah dari kamar Shou. Ayahnya dan ayah Shou masih sibuk berbincang-bincang.
Ia lagi-lagi main game portable-nya karena hanya itu yang ia bawa; tidak mungkin 'kan ia membawa game ps nya yang ukurannya lebih besar dari game portable. ia duduk dengan mulut manyun sudah lelah merengek-rengek.
Wajahnya masih cemberut dengan menekan tombol-tombol game nya dengan tak santai, terbukti ia masih kesal.
"Wah, Hiroto-kun sudah bangun ya?"
Tiba-tiba paman tukang kebun lewat didepan Hiroto sambil membawa cangkul dan gunting rumput.
Hiroto mengerutkan keningnya, ia seperti melupakan suatu hal.
Tapi seketika itu ia langsung ingat.
"Kenapa paman tahu aku tadi tidur, jangan-jangan paman yang..."
"Oh, tentu saja tahu, tadi paman yang mengangkatmu ke kamar, disuruh Shou-kun."
Jadi benar paman tukang kebun yang....
Entah kenapa ia sedikit kecewa.
Eh? Kenapa kecewa!?
Apakah Hiroto mengharapkan Shou yang mengangkatnya.
Aarrhh.. tidak, tidak, tidak.
Itu tidak mungkin. Kenapa pula harus di angkat sama dia.
Hiroto sibuk dengan pikirannya sendiri sampai tanpa sadar ia membiarkan game nya berjalan sendiri dan membuat game over.
Suara game over itu membuatnya tersentak dan akhirnya sadar.
"Cih, apa sih! Kenapa harus muncul wajah orang itu terus-terusan dalam kepala!"
Hiroto meletakkan game nya di lantai teras disampingnya.
Ia menggaruk kepala seperti orang gusar.
Paman tukang kebun jadi bingung dan ia pun pergi setelah menyapa ayah Shou dan Hiroto.
"Kau kenapa ha?"
Rupanya gelagat Hiroto disadari ayahnya.
Ia memutar badan ke belakang melihat pada ayahnya, tentu dengan wajahnya masih cemberut.
"Untuk apa ayah bertanya, nanti juga tidak dibelikan...."
Padahal ia tadi tak memikirkan lagi tentang game PS4 itu, namun karena ia tak bisa bilang kalau ia sedang memikirkan Shou maka ia mengalihkannya ke sana.
"Masih juga soal itu."
"Main saja punya Shou, dia tidak akan marah kok, pasti di izinkan."
Sambung ayah Shou.
"T..tidak usah paman."
"Sudah di suruh main punya Shou kenapa tak main, kau itu malu atau apa? Padahal dalam hati kau sangat ingin mainkannya 'kan!"
Hiroto memanyunkan bibirnya ke arah ayahnya dengan wajah ngambek. Isyaratnya untuk menyuruh ayahnya diam.
"Kau tak berani? Ayo paman antar."
"E..eh, tidak usah."
"Masih saja sok menolak."
Hiroto mendelik ke arah ayahnya.
"Mumpung Shou belum pulang, kau bisa main sepuasnya. Kalau dia sudah pulang, sudah dia yang megang kendali, yah, walaupun kalian bisa bermain bersama tapi sepertinya Hiroto-kun lebih suka main sendiri ya!?"
Tepat sekali perkataan ayah Shou.
"E..er.. begitulah. T..tapi jam berapa Shou pulang?"
"Panggil Shou-niichan, dia lebih tua darimu tahu!"
Tegur ayah Hitoto.
Yang mendapat hentakan kaki sebal oleh Hiroto. Ayah nya sungguh cerewet hari ini.
"Tak apa, panggil sesukamu saja. Hm.. biasa dia pulang hampir-hampir malam, kebiasaannya. Ini masih jam empat sore. Jadi, mau bermain?"
Hiroto terdiam bimbang. Antara sangat ingin memainkan game itu dan takut saat ia lagi asik bermain tiba-tiba Shou pulang dan melihatnya memainkan game mikiknya setelah ia menolaknya.
Tapi....... tapi.... tapi.... kenapa hati nya seperti terus memanggil-manggil untuk mengajaknya main game itu.
Jiwa remaja labilnya......
"Dari wajahmu paman melihat kau sangat ingin memainkannya. Ayo, jangan ragu-ragu lagi. Ikut paman, akan paman antar."
Akhirnya kaki Hiroto pun melangkah mengikuti ayah Shou tanpa bisa dihetikan lagi.
Hiroto melihat lagi benda yang membuatnya sangat terkagum-kagum.
Matanya tampak berbinar-binar melihat ayah Shou mulai menyalakan benda itu.
"Ini stick nya"
Wajahnya tampak sangat bahagia memegang stick game itu, sedikit banyak ia sudah mengerti bagaimana cara memainkannya, karema ia selalu menonton habis tiap iklan PS4 muncul di TV dengan hebohnya.
Akhirnya! Hasratnya mengalahkan dirinya.
Ia memainkannya juga walau mencoba menolak sekuat apapun awalnya.
"Silakan main terus, paman mau kembali ke teras dulu."
Awalnya, Hiroto bermain dengan was-was. Ia berkali-kali melihat ke pintu kamar Shou yang terbuka takut-takut kalau Shou muncul di sana.
Sampai beberapa lama kemudia ia ke asyikan main dan tak merasa was-was lagi bahkan lupa kalau ia sedang memainkan game milik Shou, dikamar Shou juga.
Saat ayah Shou baru turun dari anak tangga terakhir dan menginjak lantai ruang tengah, ia melihat samar-samar dari jendela ruang tamu seperti mobil Shou baru diparkirkan didepan rumah.
Dan benar saja saat pintu depan terbuka, Shou muncul disana, matanya langsung menangkap keberadaan ayahnya yang berdiri lurus menghadap Shou.
"Ayah!?"
Panggilnya, ia melangkah cepat-cepat dan memeluk ayahnya, menepuk sedikit bahunya, tanda memeberi selamat.
''Dari jam berapa tiba dirumah!?"
Tanya Shou setelah melepas pelukannya.
"Dua jam yang lalu."
"Hm...apa proyeknya sukses disana!?"
"Menerutmu!?"
Shou melihat wajah ayahnya tampak sumringah.
"Baikalah, selamat, selamat."
Ucapanya dibarengi sedikit gelak tawa di akhir kalimat.
"Kalau begitu aku ke kamar dulu, mau mandi.."
"Oh, baiklah."
Ayah Shou kembali berjalan, tapi tiba-tiba ia berhenti.
"Oh, iya, di kamar ada Hiroto, ayah menyuruhnya main game, karena sepertinya ia sangat ingin main game baru."
"Oh, begitu? Padahal aku sudah mengajaknya main juga."
Ucap Shou sambil menaiki tangga.
"Mungkin dia masih malu-malu.."
"Aku pikir juga begitu,"
Lanjut Shou dengan suaranya tampak menjauh karena ia sudah di ujung tangga atas.
Shou menuju kamarnya, saat tiba didepan pintu kamar, ia berhenti di pinggir pintu, lalu melongokkan kepalanya sedikit kedalam.
Melihat Hiroto tampak sangat asyik bermain game.
Wajahnya tambah terlihat seperti bocah saat berteriak-berteriak atau mengangkat-ngangkat badannya terikut arah permainan.
Membuat Shou terkekeh.
"Asyik 'kan!?"
Tiba-tiba Hiroto terhenti, ia menoleh ke asal suara dan seketika matanya terbelalak.
Ia tak bisa berkata apa-apa, selain sikapnya yang salah tingkah . Akhirnya ia men-stop game nya dan mematikannya dengan buru-buru.
"Lho, kenapa dimatikan? Lanjut saja,"
Ucap Shou santai sambil masuk ke kamarnya, ia menyimpan tas nya di atas meja belajar.
"N..ng.. sudah cukup, aku sudah lama bermain. Lagipula game yang ino tidak terlalu seru" Bohongnya, padahal sebenarnya ia baru saja main, dan game nya lumayan seru sampai ia keasyikan tadi.
Hiroto cepat-cepat membereskan alakadarnya game itu lalu melangkah keluar dari kamar Shou.
"Kalau besok-besok mau main lagi, main saja."
"Tidak perlu, besok-besok aku sudah mulai sekolah, jadi pasti sudah jarang bermain."
Hiroto sampai di pintu dan hendak menghilangkan diri dibalik pintu.
"hm.. begitu, pulang sekolah 'kan juga bisa."
Ucap Shou yang mulai melepas kaosnya bersamaan dengan pintu kamarnya yang tertutup.
Diluar Hiroto tak menjawab apapun lagi, iasedang bimbang dan ragu dan dilema, benar kata Shou, dia bisa bermain saat pulang sekolah. Tapi keadaannya sekarang ia sudah masuk asrama. Lagipula kepergok bermain game setelah menolaknya itu terasa sangat memalukan, ia jadi tak ingin main lagi.
Maluuuuuu.....
Di minggu pagi yang cerah.
Shou tak keluar rumah, tapi ia juga tak tampak berkeliaran didalam rumah.
Hanya terlihat saat tadi sarapan pagi lalu tak terlihat lagi, membuat Hiroto jadi berpikir kalau Shou sedang main game dikamarnya.
Tentu saja itu pasti 'kan, ini hari minggu lalu Shou cuma mendekam dalam kamar yang ada seperangkat alat keren; selain piano nya juga tentunya.
Tapi Hiroto sangat yakin Shou sedang seru bermain game nya.
Mungkin karena ia terlalu ingin game itu maka ia menebak seperti itu karena dalam kepalanya hanya ada game itu dan game itu untuk saat ini. Atau memang tebakannya muncul dengan sendirinya karena sebuah koneksi yang terhubung.
Ia jadi berpikir untuk tak jadi tinggal di asrama, mengingat kata-kata Shou yang mengatakan dia bisa bermain game ps4-nya pulang sekolah.
Dan itu memang menguntungkan karena Shou pulang lebih lama dari dirinya.
Punya waktu main tiga jam atau lebih jika Shou berkeliaran lagi ketempat lain saat pulang kuliah.
Itu menggiurkan, tapi Hiroto tak mau menarik kata-kata nya kembali setelah ia mengucapakananya. Seperti ucapannya tak sempat main game lagi kalau sudah masuk sekolah. Padahal kenyataannya tidak seperti itu. Pulang sekolah ia selalu punya waktu bermain. Tapi entah kenapa kalau di hadapan orang ia sangat sering membalikkan fakta.
Hiroto pergi ke kamar menemui ayahnya.
Ia ingin membicarakan sesuatu.
Kepalana masih terngiang-ngiang oleh ucapan ibu Shou saat sarapan tadi.
Ibu Shou menyuruh Hiroto untuk tinggal dirumahnya saja, begitu pula dengan ayah Shou.
Dirumah mereka masih banyak kamar kosong, daripada Hiroto harus tinggal di asrama pasti terikat peraturan tak sebebas tinggal dirumah.
lagipula Hiroto kan juga saudara mereka, jadi tak masalah.
Memang benar apa yang dikatakan mereka.
Membuat hati Hiroto makin goyah dan makin runtuh setelah ia berbicara pada ayahnya dan ayahnya berpendapat sama dengan kedua orangtua Shou.
Ayah Hiroto hanya tinggal mengirim uang makan, jajan dan biaya sekolahnya saja tanpa perlu membayar uang tambahan untuk bayar apapto atau asrama.
"Jadi bagaimana?"
Ayah Hiroto melipat kedua tangannya didepan dada menunggu jawaban Hiroto yang berdiri dihadapannya dengan wajah ragu sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal.
"Unng.... bagaimana ya,"
"Apanya bagimana. Sudah ditawarkan tinggal disini oleh paman dan bibi malah ditolak. Kau itu kenapa masih ragu-ragu?"
Ayah Hiroto jadi kesal.
"Bukan begitu!"
Hiroto mau tinggal dirumah ini apalagi mengetahui Shou punya game PS4 yang di idam-idamkannya tapi ia ingat ada Shou; tentu saja karena ini rumahnya.
Entah kenapa ia tak tenang jika ada Shou.
Tapi... kembali lagi pada game-nya.
Ah, tapi Shou juga tak sering dirumah 'kan, jadi... sepertinya bisa.
"Baiklah! Aku mau tinggal disini."
Ayah Hiroto menghela nafas sambil melepas lipatan tangannya.
"Mau tinggal dirumah saudara sendiri aja sampai berpikir panjang begitu, kalau orang lain langsung mau tahu!"
Ayah Hiroto bangkit dan keluar dari kamar.
Hiroto menoleh ke arah ayahnya dengan pipi menggebung sebal.
"Tidak semudah itu tahu..."
Gumamnya.
Tsuzuku
By: Sachi, Sachi_ciel
Chapter : 9/?
Fandom: Alice Nine, OC.
Pairing(s): Tora x Saga, Shou x Saga, ShouxHiroto.
Genre: AU, Drama gaje, ancur-ancuran, crack gagal.
Rating: T
Disclaimer: Tora is mine.
*Yang percaya saya ucapkan terima kasih banyak*
(Dibakar idup-idup)
Note : ga yakin beneran sama chap ini. Asal ketik ga ada isinya. Entahlah, otak lagi buntu.
*..*..*..*
"Apa-apa'an penampilan kalian itu!?"
Ketiga mahkluk yang baru turun dari kamar tadi saling menatap satu sama lain, mereka hanya terdiam.
"Shou, kau mau menjadi badut!?"
"Tidak!! Itu ulah Tora!"
"Apa!? Awalnya 'kan gara-gara kau!"
"Ulah kalian berdua!!"
Bentak Saga terakhir membuat Tora dan Shou terdiam.
"Haah... baiklah, anak-anak, makan nasinya, nanti akan mama belikan buku mewarnai untuk kalian."
"Memangnya kami anak TK!?"
"Lho, bukannya iya!? Lihat saja Hiroto-kun yang jauh lebih muda dari kalian, tetapi dia bisa tenang tidak seperti kalian."
Ketiganya menoleh pada sosok yang sedang dibicarakan, sedang makan dengan santai menikmati tiap suapan nasi yang masuk kemulutnya sendiri.
Tora mendengus, Shou dan Saga menunduk malu.
Merekapun mengambil piring dan meletakkan makanan didalam piring mereka masing-masing.
Suasana di meja makan pun berjalan normal, tak ada yang berani lagi membahas keributan tadi.
*.*.*.*.*.*
"Kita harus bicara!"
Shou menarik sebelah alisnya ke atas, mendapati Tora berdiri didepan kelasnya; menunggunya.
"Bicara apa!?"
"Sudahlah, kau ikut aku! Kita cari tempat yang nyaman untuk berbicara."
Shou mengikuti saja walau tampak bingung, dan karena kebingungan itulah ia mau ikut Tora untuk menemukan jawabannya.
Jika tidak bingung-bingung amat mungkin dia enggak ikut.
Mereka menuju ke sebuah cafe yang sudah disepakati beberapa saat lalu melalui rapat pleno. Mereka memutuskan pergi dengan kendaraan masing-masing, karena tak mungkin salah satu dari mereka meninggalkan kendaraan di kampus, akan jadi sangat merepotkan bagi mereka waktu pulang nanti harus kembali lagi ke kampus menggambil salah satu kendaraan yang ditinggal.
Mereka memesan makanan, semua Tora yang bayar karena ia yang mengajak dan itu tak masalah baginya.
Karena orang didepannya lebih punya masalah besar untuknya.
"Kau menyayangi Saga lebih dari sebatas saudara 'kan?"
"Uhuk!!"
Shou sampai terbatuk karena ucapan Tora yang tiba-tiba itu.
Ia buru-buru mengambil gelas minumannya dan menenggak isinya untuk meredakan batuknya.
"Apa maksudmu!!?"
"Jangan pura-pura. Kasih sayangmu terhadap Saga itu berbeda, perlindunganmu terhadapnya berbeda, kau memandangnya berbeda juga."
Shou tampak terpojok.
Namun sebenarnya ia tidak se-terpojok itu, ia hanya memasang wajah seolah sangat terpojok. Karena ia juga tahu sesuatu tentang Tora.
"Kau juga begitu 'kan? Kau menyukai Saga!"
Shou langsung mengatakan dengan to the point.
Karena penjelasannya juga sama seperti apa yang dijelaskan Tora barusan.
Shou tersenyum miring, ia merasa tak kalah karena bukan hanya ia yang salah disini.
Tetapi lawannya juga.
Tora meremat gagang garpunya begitu erat. Ia menatap tajam pada Shou yang tersenyum penuh rahasia.
"Ternyata, benar kau punya perasaan seperti itu juga. Aku benar-benar terkejut. Sudah lama aku berpikir kasih sayangmu dan sikap melindungimu itu punya tujuannya."
"Jangan berkata seolah-olah kau tidak melakukan hal yang sama, Shou!"
"Ah, ya kau benar!"
Shou tersenyum sambil melipat tangannya didepan dada.
Ia tak punya nafsu makan lagi semenjak perbincangan mereka dirasa sangat serius.
"Tapi sepertinya sebentar lagi aku akan menghentikan semua ini. Semua yang ku lakukan sepertinya akan sia-sia. Karena kau tahu, Saga menganggap kita tak lebih dari seorang kakak sepupu."
"Ah, apa ini strategimu untuk menyingkirkanku? Membuatku sepaham denganmu lalu aku juga ikut menyerah sama sepertimu.
Kau tahu Saga bukan sepupu asli kita bukan?"
Tora membelalakkan matanya sangat terkejut.
Panggilan mata elang buatnya kini berubah jadi mata sapi.
Namun mata sapi nya tak berlangsung lama.
Seketika matanya berubah tajam kembali dengan tangan menggenggam erat gagang garpunya.
Ia menggenggam sangat erat kali ini hingga rasanya garpu itu akan patah.
"Kau tahu tentang itu!?"
Ucapan Tora terdengar gemertak oleh gigi-giginya yang beradu.
"Memangnya hanya kau yang diberitahu? Kau PD sekali Tora, ibuku dan ibumu itu saudara kandung. Jika kau mendapatkan berita itu dari ibumu, maka aku jug mendapat berita itu dari ibuku yang ibuku mendapat berita tersebut dari ibumu."
"Cih, kita saudara Shou, jadi aku tak mau kita melakukan hal konyol dengan berkelahi. Tapi! Aku tetap akan melakukan apapun untuk mendapatkan Saga. Aku tak akan menyerah."
Tora menatap Shou penuh bara api.
"Begitu juga denganku, Tora~"
"Cih!"
Tora mengeluarkan beberapa lembar uang dan meletakkannya di atas meja.
Setelah itu ia melangkah meninggalakan cafe itu.
"Aku duluan."
"Okee..."
Shou mengangkat satu tangannya sebagai tanda salam perpisahan untuk Tora yang pulang duluan. Ia kembali memegang sendoknya dan kembali memakan makanannya yang sudah agak dingin itu sambil tersenyum sendiri menatap ke atas meja.
***
Saat ini rumah Shou lumayan sepi.
Para penghuninya sedang pergi keluar.
Shou di kampus, ibu Shou sedang pergi bersama temannya ntah ada keperluan apa, ayah Hiroto pergi mengurus kepindahan sekolah Hiroto ke sekolah yang baru; kalau Hiroto tak salah dengar tadi atau ia memang lupa karena tak terlalu mempedulikan ayahnya pergi kemana. Dan tinggallah ia sendiri dirumah itu.
Namun Hiroto tak merasa keberatan, karena ia memang lebih suka ditinggal sendiri.
Karena dengan begitu ia lebih leluasa bermain game tanpa ada yang mengganggu.
Seperti yang ia lakukan sekarang, duduk disofa ruang tamu dan bermain game dengan khidmat tanpa menoleh ke arah lain sedikitpun.
Hanya ada dua pekerja rumah tangga yang mereka juga sibuk dengan pekerjaan mereka sendiri dibagian-bagian lain rumah itu.
"A..aaa!! Sedikit lagi... aduh!!"
Hiroto menghempaskan tangannya yang sedang memnggenggam game portable-nya kesamping sofa.
Sepertinya ia baru saja kalah main game.
Ia menyandarkan punggunggnya ke sandaran sofa sambil matanya menatap benda apapun yang ada dihadapannya.
Rasa bosan sepertinya sedang perlahan mulai mendatanginya.
Tanpa sengaja ia melihat sebuah foto yang besar terpajang di salah satu dinding.
Foto keluarga Shou.
Tiba-tiba Hiroto memperhatikan foto Shou, yang posisinya berdiri disamping ibunya yang duduk di kursi.
Shou tersenyum sangat manis, wajahnya tampan.
Makin lama di pandang entah kenapa membuat pipinya jadi panas.
"Ch! Sok tampan!"
Cepat-cepat Hiroto memalingkan wajahnya.
Tanpa terduga saat Hiroto memalingkan wajah ke arah pintu dan Shou muncul disana;baru pulang kuliah.
"Hei, Hiro-"
Sontak Hiroto kaget dan memalingkan lagi wajahnya ke arah lain, membuat Shou jadi gagal untuk menyapanya.
Namun Shou sepertinya tak marah, ia pikir memang sifat bocah itu seperti itu. Mungkin karena ia masih malu-malu. Shou berjalan ke tempat Hitoto ia berhenti dibelakang sofa tempat Hiroto duduk dan mengajaknya bicara.
Ia mencoba mengakrabkan diri, mungkin lama-lama Hiroto tak malu lagi jika sudah akrab.
"Sepertinya kau bosan ya sendirian dirumah. Ah, pasti bosan. Mau main denganku?"
Hiroto cepat-cepat mengambil game portable yang ia lempar disampingnya tadi dan memainkannya.
"Siapa bilang bosan, aku asik main game kok!"
Ia membuat gestur seolah-olah sedang sibuk dengan game-nya.
"Hoo... kau lebih suka main game portable ya, padahal aku mau mengajakmu main game PS4. Yasudah kalau tidak mau."
Shou pergi dari tempat itu dan menuju ke kamarnya.
Seketika tubuh Hiroto membatu, matanya terbelalak dengan mulut menganga.
PS4!!! Game yang sangat diinginkan namun belum dibelikan ayahnya karena masih sibuk mengurus kepindahannya.
Lagipula ayahnya masih berpikir dua kali untuk membelikan game itu karena harganya masih sangat mahal karena baru rilis.
Ia masih sangat ingat apa kata ayahnya yang membuatnya nyesak di dada.
"Tunggu beberapa tahun lagi saat harganya sudah sedikit menurun baru ayah belikan, "
Kalimat itu sungguh membuat hati Hiroto pecah berkeping-keping.
Dan kini saat ada yang mengajak main malah ia menolak.
"Huaaaah!!!"
Hiroto menjatuhkan diri ke sofa meraung meratapi hatinya yang gregetan ingin main game PS4.
Dia membayangkan saat ini pasti Shou sedang asik main game tersebut.
Sampai tanpa sadar akhirnya ia tertidur karena sebenarnya sedari tadi dia bosan dan suntuk, jadilah saat terbaring sebentar ia langsung rertidur.
Kenyataannya Shou sedang tak main game itu, seperangkat benda itu masih terpajang rapi di dalam kamarnya.
Shou sedang mandi saat ini, kebiasaan umum orang lakukan saat lelah baru pulang dari suatu tempat.
Ia tak mendengar saat ponsel yang ia letakkan di atas meja belajarnya berdering.
Beruntung saat ia keluar kamar mandi ponsel itu masih bebunyi.
Shou butu-buru berjalan ke meja nya lalu mengangkat panggilan itu yang ternyata saat dilihat nama yang tertera adalah nama Saga.
"Halo, Saga ada apa!?"
"Shou-nii bisa temani aku ke toko buku sebentar!?"
Tanpa berpikir panjang Shou langsung menerimanya, kesempatan emas, mana mungkin ia menolak.
"Oh, tentu. Kapan!?"
"Sekarang bisa!? Aku tunggu didepan kampus."
"Baiklah, tunggu disana aku akan datang menjemputmu."
"Baiklah, terima kasih Shou-nii"
Sambungan telepon pun terputus.
Shou dengan wajah sumringahnya buru-buru menyiapkan diri.
Ia merasa sepertinya lebih unggul dari Tora dalam hal mendapatkan Saga.
Karena Saga pun sepertinya lebih nyaman dekat dengan Shou.
Karena tahu sendiri, Tora itu sering membuat Saga sebal walau tujuannya baik namun caranya sering membuat terganggu karena suka menggodanya ditambah sikap berandalnya.
Tak berapa lama kemudian Shou selesai bersiap-siap.
Ia tinggal mengambil dompet dan ponselnya lalu keluar dari kamar.
Saat turun dari kamar ia melihat Hiroto terbaring terlungkup di atas sofa.
Ia keherananan.
Shou mendekat untuk memastikan apakah bocah itu tidur atau tidak.
Yang ternyata Hiroto sudah jauh pergi ke alam mimpinya.
"Kenapa tidur disini!?"
Gumam Shou sambil melihat kesekeliling.
-
Setelah memastikan Hiroto terbaring nyaman ditempat tidur, Shou menutup pintu kamar itu; kamar tamu yang digunakan Hiroto dan ayahnya saat menginap dirumah Shou.
Shou lalu kembali ke tujuan awalnya untuk pergi menemani Saga ke toko buku.
*..*..*..*
Shou tiba di depan kampus Saga, ia langsung menemukan Saga yang sudah berdiri didepan pintu gerbang.
Ia membuka kaca pintu mobil dan memanggil Saga yang tak menyadari kehadiran Shou karena ia sedang berpaling ke arah lain.
"Saga!!"
Saga menoleh dan ia langsung melihat Shou, ia menuju mobil Shou.
Merekapun berangkat ke toko buku.
Kira-kira tiga puluh menit kemudian mereka tiba di daerah shinjuku.
Memarkirkan mobil dan berjalan kaki menuju toko buku.
"Mau mencari buku apa!?"
Shou membuka pembicaraan sambil mereka berjalan santai.
"Etoo... Buku.... aku lupa, ada beberapa buku yang harus dibeli, ada daftarnya dikertas."
"Hmm... setelah dari toko buku ada pergi ketempat lain?"
"Ng, tidak."
"Sou, nanti mau makan? Niichan yang traktir.."
"Makan!? Tentu saja mau. Kenapa pakai bertanya segala..."
"Ahahah... sesaat niichan seperti lupa kalau kau itu suka makan."
Hiroto mengerutkan keningnya, ia mengangkat satu tangannya untuk mengucek matanya.
Perlahan matanya terbuka sempurna. Membiasakan matanya sebentar untuk menerima sinar lampu dan tiba-tiba ia pun terlonjak kaget sampai terbangun duduk.
"Hah? Kenapa disini!? Bukannya tadi di sofa!?"
Hiroto terdiam mengingat-ngingat kalau ia benar-benar di sofa tadi, ia tidak berjalan ke kamar dan melentangkan diri di kasur ini.
Lalu siapa yang mengangkatnya ke kamar?
"Shou!?"
Tiba-tiba saja nama itu keluar dari mulutnya.
"Ah, kenapa dia? Tidak, tidak, tidak mungkin dia. Ada orang lain dirumah ini selain orang sok ganteng itu. Yah, walapun tadi hanya terlihat ia yang mondar-mandir dirumah. Tapi pasti ada orang lain, Mungkin saja paman tukang kebun atau bibi didapur, atau mungkin tadi ayah pulang dan mengangkatku ke kamar lalu ia pergi lagi. Ya, pasti begitu."
Hiroto jadi sibuk sendiri memikirkan siapa yang memindahkannya ke kamar.
Entah kenapa ia pun heran.
Sampai akhirnya ia menyerah.
Karena tetap ia tidak akan tahu jika tidak diberi tahu atau ia yang bertanya.
"Argh! Terserah siapapun. Yang pasti bukan dia!"
Ia melihat jam sudah sore.
Ia memutuskan untuk mandi saja.
Otaknya bisa pecah jika memikirkan hal yang tak penting begitu berpputar-putar dalam otaknya.
Tinggal ia tanya saja maka akan terjawab siapa yang mengangkatnya, mudah saja bukan.
Tapi kira-kira ia harus tanya sama siapa?
"Oh, baiklah, akan kutanyakan pada orang didapur saja."
Dengan begitu Hiroto mandi dengan sedikit tenang.
Selang beberapa saat ia pun selesai berbenah diri.
Ia keluar kamar dan kembali ke ruang tamu.
Game portable-nya tertinggal disana.
Kebetulan yang pas, ada seorang wanita paruh baya pengurus rumah yang lewat, ia mau langsung bertanya.
Namun agak ragu karena merasa pertanyaannya sedikit tak penting.
"Anouu.... bibi tadi lihat siapa yang memindahkanku ke kamar!?"
Kening wanita itu tampak berkerut.
"Ng.. Memindahkanmu? Memindahkan bagaimana!?"
Oke, dari pertanyaannya balik sudah jelas kalau wanita itu tak melihat.
"Ah, tidak, tidak jadi bi, terima kasih."
Hiroto pergi ke luar di taman samping rumah tersebut.
Ia duduk di kursi saat pertama kali ia tiba di rumah ini.
Lagi-lagi ia hanya bisa memainkan game portable-nya.
Tiba-tiba ia teringat saat Shou mengajaknya bermain game PS4 yang langsung ia tolak.
Ia begitu menyesal kenapa ia menolak, salahkan mulutnya yang mengeluarkan ucapan itu tanpa kontrol, tapi memang sudah seperti itu sifatnya.
Jadi ia mencoba untuk sebisa mungkin tak menyesal, ia akan mencoba memintanya sekali lagi pada ayahnya nanti.
Tapi ngomong-ngomong kemana Shou?
Hiroto melongokkan kepalanya kedalam, kebetulan kursi yang ia duduki dekat pintu.
Ia tak melihat Shou berkeliaran dirumah dari ia keluar kamar tadi.
Apakah didalam kamar?
Jiwa remaja labilnya tak bisa dihindari, bagaimanapun ia tetap penasaran dan sangat ingin melihat benda yang sudah sangat di inginkannya.
Walau tak bisa memegang paling tidak ia ingin melihatnya dulu.
Maka di otak remaja labilnya muncul sebuah rencana untuk ke kamar Shou melihat game tersebut. Melihat secara nyata bukan hanya di TV atau majalah game.
Hiroto kembali masuk ke dalam rumah, ia menuju tangga ke lantai dua dan menaikinya.
Ia langsung tahu yang mana kamar Shou karena waktu itu pernah datang ke depan kamar itu.
Hiroto menempelkan telinganya ke pintu kamar Shou memastikan terlebih dahulu apakah Shou ada didalam atau tidak.
Hiroto merasa tak ada suara apapun didalam.
Ia memutar gagang pintu itu lalu membuka pelan pintu kamar Shou dan mengintipnya sedikit.
Saat tampak seperangkat game PS4 yang terpajang rapi Hiroto seperti tak terkontrol membuka lebar pintu itu dan memandang takjub pada benda itu.
"PS empaat~"
Wajahnya tampak seperti ingin merengek.
Mungkin jika ayahnya ada disitu ia sudah merengek-rengek pada ayahnya.
"Keren sekali...."
Gumamnya dengan nada memelas.
Ia menutup pintu itu.
Melihatnya terlalu lama membuat Hiroto makin ingin menyentuhnya, menyalakan lalu mainkannya.
Ia memutar badan dengan lesu lalu perlahan berjalan menuruni tangga.
Ternyata ada seseorang yang baru menaiki tangga.
Saat Hiroto mengangkat wajahnya ia melihat Ibu Shou didepannya.
"Hitoto!? Shou ada dikamar!?"
"Eh? Bibi Mai? S..spertinya tidak."
"Oh... belum pulang ya,"
"Anou.. Ayah sudah pulang?"
"Ah, sudah, ada dibawah diteras samping."
"Oh, Aku ke sana dulu bibi Mai..."
"Ya, Bibi juga mau turun lagi, kupikir Shou ada dikamar."
Ibu Shou menuruni tangga pelan karena ia sedang sibuk memegang ponselnya, sepertinya mau menelfon Shou.
Hiroto berlari ke teras samping, tempat ia juga duduk beberapa saat yang lalu sebelum pergi ke kamar Shou.
Ayahnya sedang duduk menikmati secangkir teh hangat untuk melepas lelahnya seharian mengurus surat kepindahan Hiroto di sekolah barunya.
"Ayah!?"
"Oh, Hiroto...sini duduk."
Hiroto menuruti ayahnya, ia melangkah ke kursi satunya di samping ayahnya.
Belum sempat ia mengucapakan keinginannya untuk segera dibelikan game PS4, ayahnya mendahuluinya.
"Surat kepindahan sekolahmu semua sudah beres. Disana ada asramanya juga. Ayah sudah memasukkanmu di asrama karena kau bilang tak mau tinggal di sini."
"Ha? Jadi aku sudah dimasukkan ke dalam asrama!?"
"Iya, karena kau bilang kau mau tinggal di apato saja, itu berarti tak mau tinggal disini. Jadi saat tahu disekolah barumu ada asrama jadi langsung ayah daftarkan. Daripada di apato jauh dari sekolah, mending di asrama yang memang dekat area sekolah."
Hiroto terdiam seribu bahasa.
Bagaimana bisa!!
Ia awalnya memang tak mau tinggal disini, tapi setelah mengetahui bahwa Shou punya game PS4 ada sedikit perubahan pikiran, namun rasanya juga ia mau mencoba pilihan lain dulu. Dengan tetap memaksa ayahnya.
"Ng... A..ayah.."
"Hn??"
Respon ayahnya sambil menyeruput teh nya setelah menjelaskan panjang lebar.
"Aku.... belikan aku game PS4."
"Apa!? 'Kan sudah ayah bilang, untuk sekarang tidak bisa beli barang mahal seperti itu dulu. Game-mu masih banyak sekali dirumah, PS1 PS2 PS3. PS4 mau kau letakkan dimana!? Di asrama mana bisa membawa game yang membutuhkan ruangan besar seperti itu."
"Kalau begitu aku mau tinggal di apato saja."
"Kalau tinggal di apato biayanya lebih mahal, daripada membeli game yang mahal begitu lebih baik uangnya membayar apato."
"Ayah banyak alasan, bilang saja tidak mau membelikannya!"
"Memang tak ayah belikan kok,"
"Jahat sekali."
Wajah Hiroto merengut campur seperti ingin menangis.
"Shou saja punya..."
Ayah Hiroto menoleh cepat ke arahnya.
"Hng? Shou punya PS4? Ah, main saja sama dia."
"Tidak mau!! Aku mau main sendiri."
"Yasudah, pinjam saja punya Shou."
"Tidak mau!"
"Yasudah kalau tidak mau."
Ayah Hiroto kembali meneguk teh yang sudah tinggal sedikit lagi.
Sekali teguk lagi cangkir itu akan kosong.
"Ayah~"
Akhirnya Hiroto merengek.
"Ada apa? Sepertinya ada ribut-ribut?"
Tiba-tiba muncul seorang pria tinggi tegap dari pintu.
"Wah, anda sudah pulang? Kapan?"
Ayah Hiroto bangun dari kursinya lalu menyalami pria yang datang tersebut memberi selamat sudah kembali dari tugas luar kotanya.
"Baru saja."
"Hiroto, ayo salam sama paman."
"Wah, ini Hiroto? Sudah besar ya,"
Ayah Shou menepuk pucuk kepala Hiroto yang tampaknya Hiroto agak tak suka kepalanya ditepuk-tepuk.
Tapi Hiroto memperhatikan pria didedapnnya, bertubuh tinggi dan tampan juga, mirip Shou sekali.
"Ahaha... dia tidak besar kok, tubuhnya kecil begitu."
Hiroto menoleh ke arah ayahnya dengan wajah sebal.
"Lalu, sepertinya dari tadi wajahmu cemberut terus, ada apa?"
"Ah, tidak, biasa, anak kecil yang merengek minta mainan."
"Oh, ya... sampai merengek begitu berarti kau tak membelikannya?"
"Err... bukan tak mau membelikan, tapi... "
"Memang tak mau dibelikan!"
Hiroto memotong ucapan ayahnya.
"Memangnya mainan apa?"
"Haah.. mainan anak jaman sekarang, yang lagi nge-trennya. Yang pakai nomor empat itu..."
Jelas ayah Hiroto dengan malas.
"Empat? PS4?"
"Yah, yang seperti itulah.."
"Oh, kalau itu Shou punya, kenapa tidak main punya Shou saja. Kalau mau main main saja tidak apa-apa, mau main sekarang boleh juga, masuk saja ke kamarnya."
"A... eh.. ti..tidak usah paman..."
Hiroto ingin rasanya menabok mulutnya sendiri. Ucapan dan hatinya selalu berbeda.
Padahal sudah di izinkan main, malah Shou pun mengajaknya kemarin, tapi kenapa ia harus menolak. Bukankah ia sangat ingin memainkannya. Hiroto menangis dalam hati.
*..*..*..*..*
Selesai membeli buku mereka berjalan mencari restoran.
Berhubung kini Shou sedang berdua dengan Saga, maka kesempatan untuknya mengorek informasi pribadi Saga.
"Kau masih sibuk dengan kuliahmu!?"
"Hng!?"
Saga mengerutkan kening, makanan yang akan ia suap ke mulutnya tak jadi ia masukkan ke mulutnya.
"Tentu saja masih sibuk dengan kuliah selama aku masih kuliah, Shou-nii bicara apa sih!?"
"A..ah.. ya.. kau benar. Tapi maksudku... ngg... apa ada kegiatan lain?"
"Kegiatan lain? Aku hanya ikut kegiatan sosial di kampus. Jadi panitia penggalang dana 'Koin cinta untuk gurame'
"A..ah ya bagus. Tapi maksudku... kegiatan pacaran!?"
"Ha? Mana ada kegiatan seperti itu di kampus!"
"Bukan dikampus! Maksudku apakah kau punya pacar!?"
"Oh, kenapa berbelit-belit sih Shou-nii... aku tak punya pacar. Ada apa!?"
"Tak punya!? Orang yang kau suka!?"
"Orang yang kusuka. Hmm.. Shou-nii-"
Ucapan Saga langsung terpotong oleh keterkagetan Shou.
"Ha?"
"Kenapa Shou-nii kaget? Yang kusuka ya Shou-nii, Tora-nii ya walaupun dia itu kadang bikin sebal tapi dia kan kakak yang baik juga. Ah, Hiroto-kun juga, dia sepertinya bocah yang pemarah, tapi dia lucu, aku suka."
Shou serasa mau terjun dari tebing paling tinggi.
"Bukan suka yang seperti itu, maksudku, ng.... pada orang lain? Seperti jatuh cinta atau semacamnya begitu.."
"Hoo... suka yang seperti itu."
Shou menghela nafas lega.
"Ng.. tidak ada..."
"Oh, tidak ada..."
Kali ini dia benar-benar lega.
Tiba-tiba Shou merasakan ponsel di sakunya bergetar, ia mengambilnya dan ternyata ada sebuah pesan masuk dari ibu nya. Selesai membaca pesan ia melihat ada lima panggilan tak terjawab dari ibunya sejam yang lalu, pasti dia di marahi saat pulang nanti. Tapi sungguh ia tak merasakan getaran ponselnya saat masih di toko buku tadi.
"Sudah selesai!?"
Tanya Shou pada Saga yang duduk dihadapannya yang baru saja selesai menghabiskan minumannya.
"Un!"
"Kita langsung pulang ya, tadi mama mengirim pesan katanya ayah sudah pulang."
"Oh, paman sudah pulang dari okinawa?"
"Ya,"
"Nanti aku mau main ke rumah, tapi sekarang harus pulang dulu. Oh, iya kalau Shou-nii mau pulang sekarang tak apa, aku naik kereta saja. Terima kasih sudah menemani ke toko buku."
"Kenapa naik kereta, aku 'kan ada disini, tinggal mengantarmu saja naik mobil."
"Apa tak apa? Ayahmu kan baru pulang."
"Memangnya kenapa kalau ayah baru pulang, sehabis mengantarmu 'kan aku langsung pulang, memangnya mengantarmu perlu berhari-hari, Kau ini."
Akhirnya Saga meneruti.
Saat berjalan menuju parkiran mobil tiba-tiba ponsel Saga berbunyi, ia mengambilnya dari dalam tas dan mengangkatnya setelah melihat nama pemanggilnya sebentar.
"Ya, Gackt-sensei!?"
Saga sibuk menelpon dengan senseinya. Sedangkan Shou menatap, memperhatikan Saga yang sedang bicara dengan sensei nya dengan wajah sumringah. Ia jadi curiga.
"Baik, akan saya bawakan besok."
Saga menutup teleponnya.
"Sensei mu?"
Saga mengangguk.
"Ada apa!?"
"Sensei menyuruhku membawa tugasku besok untuk di revisi."
"Ho.." Shou memperhatikan lagi wajah Saga yang tampak menahan senyumnya.
"Kenapa senyum-senyum!?"
Saga tersentak kaget.
"Ah, tidak.."
Saga menggaruk pipinya yang tak gatal.
"Pasti ada sesuatu, tentang sensei mu?"
"Ah, aku memang tak bisa menyembunyikan apapun ya dari shou-nii. Ngg... aku kagum pada Gackt-sensei, dia orang jepang asli tapi punya wajah seperti bule, orangnya juga ramah, kalau dia mengajar itu mengasyikkan, singkat dan jelas. Mudah di mengerti."
"Oh, sperti itu..." Ada nada kecemburuan dalam kalimat Shou.
Ia merasa was-was kalau jangan-jangan Saga bukan sekedar mengangumi gurunya itu.
Setelah itu Shou memutuskan untuk tak banyak bicara lagi.
Ia akan memantau sendiri bagaiman kelanjutan Saga nanti terhadap senseinya.
Shou pun langsung tancap gas mengantar Saga pulang.
Hiroto duduk dibawah, di pinggir teras setelah dari kamar Shou. Ayahnya dan ayah Shou masih sibuk berbincang-bincang.
Ia lagi-lagi main game portable-nya karena hanya itu yang ia bawa; tidak mungkin 'kan ia membawa game ps nya yang ukurannya lebih besar dari game portable. ia duduk dengan mulut manyun sudah lelah merengek-rengek.
Wajahnya masih cemberut dengan menekan tombol-tombol game nya dengan tak santai, terbukti ia masih kesal.
"Wah, Hiroto-kun sudah bangun ya?"
Tiba-tiba paman tukang kebun lewat didepan Hiroto sambil membawa cangkul dan gunting rumput.
Hiroto mengerutkan keningnya, ia seperti melupakan suatu hal.
Tapi seketika itu ia langsung ingat.
"Kenapa paman tahu aku tadi tidur, jangan-jangan paman yang..."
"Oh, tentu saja tahu, tadi paman yang mengangkatmu ke kamar, disuruh Shou-kun."
Jadi benar paman tukang kebun yang....
Entah kenapa ia sedikit kecewa.
Eh? Kenapa kecewa!?
Apakah Hiroto mengharapkan Shou yang mengangkatnya.
Aarrhh.. tidak, tidak, tidak.
Itu tidak mungkin. Kenapa pula harus di angkat sama dia.
Hiroto sibuk dengan pikirannya sendiri sampai tanpa sadar ia membiarkan game nya berjalan sendiri dan membuat game over.
Suara game over itu membuatnya tersentak dan akhirnya sadar.
"Cih, apa sih! Kenapa harus muncul wajah orang itu terus-terusan dalam kepala!"
Hiroto meletakkan game nya di lantai teras disampingnya.
Ia menggaruk kepala seperti orang gusar.
Paman tukang kebun jadi bingung dan ia pun pergi setelah menyapa ayah Shou dan Hiroto.
"Kau kenapa ha?"
Rupanya gelagat Hiroto disadari ayahnya.
Ia memutar badan ke belakang melihat pada ayahnya, tentu dengan wajahnya masih cemberut.
"Untuk apa ayah bertanya, nanti juga tidak dibelikan...."
Padahal ia tadi tak memikirkan lagi tentang game PS4 itu, namun karena ia tak bisa bilang kalau ia sedang memikirkan Shou maka ia mengalihkannya ke sana.
"Masih juga soal itu."
"Main saja punya Shou, dia tidak akan marah kok, pasti di izinkan."
Sambung ayah Shou.
"T..tidak usah paman."
"Sudah di suruh main punya Shou kenapa tak main, kau itu malu atau apa? Padahal dalam hati kau sangat ingin mainkannya 'kan!"
Hiroto memanyunkan bibirnya ke arah ayahnya dengan wajah ngambek. Isyaratnya untuk menyuruh ayahnya diam.
"Kau tak berani? Ayo paman antar."
"E..eh, tidak usah."
"Masih saja sok menolak."
Hiroto mendelik ke arah ayahnya.
"Mumpung Shou belum pulang, kau bisa main sepuasnya. Kalau dia sudah pulang, sudah dia yang megang kendali, yah, walaupun kalian bisa bermain bersama tapi sepertinya Hiroto-kun lebih suka main sendiri ya!?"
Tepat sekali perkataan ayah Shou.
"E..er.. begitulah. T..tapi jam berapa Shou pulang?"
"Panggil Shou-niichan, dia lebih tua darimu tahu!"
Tegur ayah Hitoto.
Yang mendapat hentakan kaki sebal oleh Hiroto. Ayah nya sungguh cerewet hari ini.
"Tak apa, panggil sesukamu saja. Hm.. biasa dia pulang hampir-hampir malam, kebiasaannya. Ini masih jam empat sore. Jadi, mau bermain?"
Hiroto terdiam bimbang. Antara sangat ingin memainkan game itu dan takut saat ia lagi asik bermain tiba-tiba Shou pulang dan melihatnya memainkan game mikiknya setelah ia menolaknya.
Tapi....... tapi.... tapi.... kenapa hati nya seperti terus memanggil-manggil untuk mengajaknya main game itu.
Jiwa remaja labilnya......
"Dari wajahmu paman melihat kau sangat ingin memainkannya. Ayo, jangan ragu-ragu lagi. Ikut paman, akan paman antar."
Akhirnya kaki Hiroto pun melangkah mengikuti ayah Shou tanpa bisa dihetikan lagi.
Hiroto melihat lagi benda yang membuatnya sangat terkagum-kagum.
Matanya tampak berbinar-binar melihat ayah Shou mulai menyalakan benda itu.
"Ini stick nya"
Wajahnya tampak sangat bahagia memegang stick game itu, sedikit banyak ia sudah mengerti bagaimana cara memainkannya, karema ia selalu menonton habis tiap iklan PS4 muncul di TV dengan hebohnya.
Akhirnya! Hasratnya mengalahkan dirinya.
Ia memainkannya juga walau mencoba menolak sekuat apapun awalnya.
"Silakan main terus, paman mau kembali ke teras dulu."
Awalnya, Hiroto bermain dengan was-was. Ia berkali-kali melihat ke pintu kamar Shou yang terbuka takut-takut kalau Shou muncul di sana.
Sampai beberapa lama kemudia ia ke asyikan main dan tak merasa was-was lagi bahkan lupa kalau ia sedang memainkan game milik Shou, dikamar Shou juga.
Saat ayah Shou baru turun dari anak tangga terakhir dan menginjak lantai ruang tengah, ia melihat samar-samar dari jendela ruang tamu seperti mobil Shou baru diparkirkan didepan rumah.
Dan benar saja saat pintu depan terbuka, Shou muncul disana, matanya langsung menangkap keberadaan ayahnya yang berdiri lurus menghadap Shou.
"Ayah!?"
Panggilnya, ia melangkah cepat-cepat dan memeluk ayahnya, menepuk sedikit bahunya, tanda memeberi selamat.
''Dari jam berapa tiba dirumah!?"
Tanya Shou setelah melepas pelukannya.
"Dua jam yang lalu."
"Hm...apa proyeknya sukses disana!?"
"Menerutmu!?"
Shou melihat wajah ayahnya tampak sumringah.
"Baikalah, selamat, selamat."
Ucapanya dibarengi sedikit gelak tawa di akhir kalimat.
"Kalau begitu aku ke kamar dulu, mau mandi.."
"Oh, baiklah."
Ayah Shou kembali berjalan, tapi tiba-tiba ia berhenti.
"Oh, iya, di kamar ada Hiroto, ayah menyuruhnya main game, karena sepertinya ia sangat ingin main game baru."
"Oh, begitu? Padahal aku sudah mengajaknya main juga."
Ucap Shou sambil menaiki tangga.
"Mungkin dia masih malu-malu.."
"Aku pikir juga begitu,"
Lanjut Shou dengan suaranya tampak menjauh karena ia sudah di ujung tangga atas.
Shou menuju kamarnya, saat tiba didepan pintu kamar, ia berhenti di pinggir pintu, lalu melongokkan kepalanya sedikit kedalam.
Melihat Hiroto tampak sangat asyik bermain game.
Wajahnya tambah terlihat seperti bocah saat berteriak-berteriak atau mengangkat-ngangkat badannya terikut arah permainan.
Membuat Shou terkekeh.
"Asyik 'kan!?"
Tiba-tiba Hiroto terhenti, ia menoleh ke asal suara dan seketika matanya terbelalak.
Ia tak bisa berkata apa-apa, selain sikapnya yang salah tingkah . Akhirnya ia men-stop game nya dan mematikannya dengan buru-buru.
"Lho, kenapa dimatikan? Lanjut saja,"
Ucap Shou santai sambil masuk ke kamarnya, ia menyimpan tas nya di atas meja belajar.
"N..ng.. sudah cukup, aku sudah lama bermain. Lagipula game yang ino tidak terlalu seru" Bohongnya, padahal sebenarnya ia baru saja main, dan game nya lumayan seru sampai ia keasyikan tadi.
Hiroto cepat-cepat membereskan alakadarnya game itu lalu melangkah keluar dari kamar Shou.
"Kalau besok-besok mau main lagi, main saja."
"Tidak perlu, besok-besok aku sudah mulai sekolah, jadi pasti sudah jarang bermain."
Hiroto sampai di pintu dan hendak menghilangkan diri dibalik pintu.
"hm.. begitu, pulang sekolah 'kan juga bisa."
Ucap Shou yang mulai melepas kaosnya bersamaan dengan pintu kamarnya yang tertutup.
Diluar Hiroto tak menjawab apapun lagi, iasedang bimbang dan ragu dan dilema, benar kata Shou, dia bisa bermain saat pulang sekolah. Tapi keadaannya sekarang ia sudah masuk asrama. Lagipula kepergok bermain game setelah menolaknya itu terasa sangat memalukan, ia jadi tak ingin main lagi.
Maluuuuuu.....
Di minggu pagi yang cerah.
Shou tak keluar rumah, tapi ia juga tak tampak berkeliaran didalam rumah.
Hanya terlihat saat tadi sarapan pagi lalu tak terlihat lagi, membuat Hiroto jadi berpikir kalau Shou sedang main game dikamarnya.
Tentu saja itu pasti 'kan, ini hari minggu lalu Shou cuma mendekam dalam kamar yang ada seperangkat alat keren; selain piano nya juga tentunya.
Tapi Hiroto sangat yakin Shou sedang seru bermain game nya.
Mungkin karena ia terlalu ingin game itu maka ia menebak seperti itu karena dalam kepalanya hanya ada game itu dan game itu untuk saat ini. Atau memang tebakannya muncul dengan sendirinya karena sebuah koneksi yang terhubung.
Ia jadi berpikir untuk tak jadi tinggal di asrama, mengingat kata-kata Shou yang mengatakan dia bisa bermain game ps4-nya pulang sekolah.
Dan itu memang menguntungkan karena Shou pulang lebih lama dari dirinya.
Punya waktu main tiga jam atau lebih jika Shou berkeliaran lagi ketempat lain saat pulang kuliah.
Itu menggiurkan, tapi Hiroto tak mau menarik kata-kata nya kembali setelah ia mengucapakananya. Seperti ucapannya tak sempat main game lagi kalau sudah masuk sekolah. Padahal kenyataannya tidak seperti itu. Pulang sekolah ia selalu punya waktu bermain. Tapi entah kenapa kalau di hadapan orang ia sangat sering membalikkan fakta.
Hiroto pergi ke kamar menemui ayahnya.
Ia ingin membicarakan sesuatu.
Kepalana masih terngiang-ngiang oleh ucapan ibu Shou saat sarapan tadi.
Ibu Shou menyuruh Hiroto untuk tinggal dirumahnya saja, begitu pula dengan ayah Shou.
Dirumah mereka masih banyak kamar kosong, daripada Hiroto harus tinggal di asrama pasti terikat peraturan tak sebebas tinggal dirumah.
lagipula Hiroto kan juga saudara mereka, jadi tak masalah.
Memang benar apa yang dikatakan mereka.
Membuat hati Hiroto makin goyah dan makin runtuh setelah ia berbicara pada ayahnya dan ayahnya berpendapat sama dengan kedua orangtua Shou.
Ayah Hiroto hanya tinggal mengirim uang makan, jajan dan biaya sekolahnya saja tanpa perlu membayar uang tambahan untuk bayar apapto atau asrama.
"Jadi bagaimana?"
Ayah Hiroto melipat kedua tangannya didepan dada menunggu jawaban Hiroto yang berdiri dihadapannya dengan wajah ragu sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal.
"Unng.... bagaimana ya,"
"Apanya bagimana. Sudah ditawarkan tinggal disini oleh paman dan bibi malah ditolak. Kau itu kenapa masih ragu-ragu?"
Ayah Hiroto jadi kesal.
"Bukan begitu!"
Hiroto mau tinggal dirumah ini apalagi mengetahui Shou punya game PS4 yang di idam-idamkannya tapi ia ingat ada Shou; tentu saja karena ini rumahnya.
Entah kenapa ia tak tenang jika ada Shou.
Tapi... kembali lagi pada game-nya.
Ah, tapi Shou juga tak sering dirumah 'kan, jadi... sepertinya bisa.
"Baiklah! Aku mau tinggal disini."
Ayah Hiroto menghela nafas sambil melepas lipatan tangannya.
"Mau tinggal dirumah saudara sendiri aja sampai berpikir panjang begitu, kalau orang lain langsung mau tahu!"
Ayah Hiroto bangkit dan keluar dari kamar.
Hiroto menoleh ke arah ayahnya dengan pipi menggebung sebal.
"Tidak semudah itu tahu..."
Gumamnya.
Tsuzuku
Selasa, 23 September 2014
[FF] FUURIN #1
Title : FUURIN
Author: Sachi_ciel, SachiJ6
Chapter : 1/?
Fandom: Alice Nine, OC.
Pairing : Kalian tau kan OTP sayaaa... xDd
Genre: AU, drama, ama satu lagi.... errr.... *takit nulisnya*
Rating: T
Disclaimer: Tora is mine.
*Yang percaya saya ucapkan terima kasih banyak*
(Dibakar idup-idup)
Note: ngg.... okeh, judul sama isi nya sebenarnya benar-benar gak nyambung. cuma terinspirasi gegara denger lagu FUURIN. Kebayang banget zaman jepang jadul. Saat ini lagu berdendang di kuping saya, bayangan kayak semacam PV gitu muter-muter di otak saya.
PV dengan cewek yang sedih menunggu sang kekasih di atas jembatan yang tak kunjung datang.
Pengen deh liat member arisu bikin ini pv, mereka pake kimono gitu. #buaghhh
Padahal pas bayangin itu saya sama sekali ga baca lyricnya.
Dan pas saya baca beberapa lama kemudian, ternyata lyricnya emang sedih. :(
Dari musik aja udah terasa gimana kesedihannya.
Dan akhirnya setelah lama scene itu muter-muter di otak saya, baru bisa ditumpahkan ke tulisan sekarang.
#payah
Okelah, kenapa ini jadi curhat.
Jadi yang mau baca silahkan.
Yang engga juga gapapa.
Yang baca maaf semisal ini ff rasa aneh.
Entahlah, saya cuma pengen numpahin apa yang sudah terpendam lama di otak gegara dengar lagu itu.
Bel sekolah sudah berdentang, tandanya jam belajar sudah berakhir. Para murid bisa kembali ke rumah mereka masing-masing.
Seketika perkarangan sekolah menjadi sepi.
Hanya tinggal beberapa siswa yang masih berlalu-lalang di wilayah sekolah mungkin masih ada keperluan.
Beruntungnya sekolah ini tetap membuka perpustakaannya walau jam sekolah sudah berakhir.
Ia masih dibuka sampai sore nanti.
Sesosok siswa berambut hitam legam baru saja tiba di perpuatakaan, sepertinya dia baru dari kelasnya dan langsung menuju pustaka.
Tas nya terlihat cukup berat dan ia memegang beberapa buku tebal ditangnnya.
Ia masuk kedalam pustaka dan langsung mencari sebuah meja.
Ia melepas tasnya dan meletakkan buku yang ia bawa di atas meja tersebut.
Langsung saja setelah itu ia menuju rak buku.
Ia mencari buku yang ia butuhkan untuk tugas kelompoknya.
Buku sejarah, yang berisi tentang saat konflik di masa restorasi Meiji.
Ia menemukan satu buku tentang sejarah Restorasi Meiji, ia mengmbilnya.
Ia mau mencari mungkin satu buku lagi untuk melengkapi.
Matanya menjajal tiap judul buku yang dijajar rapi dihadapannya.
Sampai ia melihat sebuah buku yang diletakkan di atas buku-buku lain yang berjajar rapi.
Sampulnya menarik mata pemuda itu karena warnanya yang mencolok di antara buku lain, merah marun.
Ia mengambil buku itu dan melihat judul dan keterangannya.
Itu bukan buku sejarah, tetapi novel.
Pasti seseorang meletakkan buku itu asal-asalan di rak buku sejarah setelah ia tak jadi mengambil novel tersebut.
Bukanya meletakkan kembali pada tempatnya.
Tapi buku itu cukup menarik perhatiannya.
Dari warna sampul hingga gambar yang menghiasi sampul depannya.
Seseorang yang berdiri menghadap belakang.
Ia mengenakan kimono putih yang melambai ditiup angin berdiri di atas jembatan di sungai kecil sambil mengenakan payung. Wajahnya tak diperlihatkan karena berdirinya yang membelakangi ditambah ia memakai payung pula.
Suasananya muram dengan langit mendung dan terbangan beberapa daun kering.
Pemuda berambut hitam itu membalik buku itu dan mebaca sinopsis yang ada di sampul belakang.
Dan ia pun sepertinya tertarik akan buku itu.
Terlihat dengan ia yang membawa buku itu beserta dengan buku sejarahnya ke meja yang sudah ia letakkan tasnya tadi.
Bukanya membaca buku sejarah untuk bahan kelompoknya seperti tujuan utamanya tadi, ia malah membuka novel itu ingin membacanya.
Sepertinya ia benar-benar tertarik akan kisahnya.
"Hei, Tora!!"
Saat akan membaca, tiba-tiba saja ia dipanggil oleh temannya yang berdiri dipintu perpustakaan.
"Ha? Ada apa!?"
Responnya yang menunda dulu membaca novelnya.
"Kata Akira, untuk isi bagian bab dua biar dia saja yang mencari, kau bagian bab tiga saja."
"Oh, lalu, kenapa kau masih berdiri disitu? Kau juga harus mencari isi untuk bab bagianmu 'kan?"
"Hehe.. aku kan mencari bahannya besok saja sekarang ada keperluan lain.
jaa... sampai jumpa besok."
Pemuda itu pun beranjak dari depan pintu.
Tora kembali menghadap pada novel dihadapannya sambil sedikit menghela nafas panjang.
Ia pun mulai membaca.
Jepang tahun 1868 .
Zamannya modernisasi bagi jepang.
Di masa itu para Samurai menjadi kehilangan tuannya akibat hak
atas wilayah kekuasaan sang tuan dicabut oleh
pemerintah. Samurai yang tidak lagi memiliki tuan menjadi kehilangan pekerjaan.
Mereka yang kehilangan pekerjaan dan tempat
tinggal menjadi pengembara.
Lalu mereka disebut Ronin.
Ronin sering menjadi sebab timbulnya kerusuhan
skala kecil di berbagai daerah. Walaupun para
daimyo banyak membutuhkan prajurit untuk
berperang, ronin hampir tidak berkesempatan
mendapat majikan yang baru. Situasi keamanan
yang buruk menyebabkan ronin membentuk
komplotan yang saling berebut wilayah dan
pengaruh, beroperasi sebagai gerombolan
pencuri hingga menimbulkan huru-hara.
Semua mereka lakuakan demi menyambung hidup mereka.
Bahkan ada yang nekat menjadi pembunuh bayaran yang bekerja pada para petinggi-petingi yang sedang bersaing ketat dan membutuhkan jasa mereka. Yang penting mereka mendapatkan uang.
Namun tak semuanya seperti itu, ada yang memilih jalan baik dengan menjadi petani atau buruh.
Kehidupan disetiap daerah pun berbeda-beda. Ada yang tingkat kekacauan yang dilakukan ronin dengan skala kecil ada juga dengan tingkat kekacauan skala besar.
Disebuah sudut kota Edo penduduknya tampak damai.
Aktifitas warga berjalan lancar.
Pagi yang cerah para penduduk berlalu-lalang dengan nyaman dijalanan menuju tempat tujuan mereka masing-masing.
Sama halnya dengan aktivitas dirumah.
Mereka melakukan pekerjaan rumah tanpa rasa was-was.
Seperti yang sedang dilakukan oleh seorang pemuda berambut coklat di depan sebuah rumah okiya.
Ia sedang menyiram tanah sehabis ia menyapu tadi.
Tampaknya hari ini matahari akan sangat terik.
Lonceng angin yang terpasang di kayu penyangga atap teras berdenting pelan karena angin pagi belum begitu kencang.
Ia menyiramnya agar debu-debu ditanah didepan rumah tak terangkat oleh angin dan berterbangan masuk kedalam.
Ia menyeka keningnya yang sudah dialiri keringat sambil memperhatikan hasil kerjanya.
Halaman bersih sempurna.
"Ugh... masih pagi seperti ini saja hawa panas sudah terasa.."
Ia melihat arah sinar matahari pagi yang tampak sangat merah.
Tak mau berlama-lama diluar, ia segera masuk kedalam.
Pekeraan didapur menunggunya.
Takashi memutar badan untuk melangkah menuju dapur.
Ia melewati samping rumah untuk menuju belakang dapur karena ia harus menyimpan sapu dan timba kayunya terlebih dahulu.
Setelah itu ia mengambil beberapa kayu bakar ditempat penyimpanan.
lalu membawanya masuk kedapur lewat pintu belakang.
Takashi langsung menyusun kayu nya di bawah tungku.
Ia mengambil korek dan meyalakannya.
Ia tiup-tiup agar api cepat membesar.
Setelah dirasa api menyala dengan baik, ia bangun dan mengambil wadah untuk dimasukkan beras dan mencucinya disumur.
Takashi kembali keluar dari dapur, ia membawa wadah berisi beras menuju sumur.
Ia meletakkan beras itu ditanah dan menimba air.
ia lalu mencucinya.
Setelah selesai ia kembali kedapur dan memasukkan beras kedalam panci penanak nasi lalu diletakkannya di atas tungku yang sudah terpasang api.
Ia meninggalkan tungku dan mengambil sayuran yang ada didalam lemari bahan makanan, membawanya ke atas meja, mengambil beberapa wadah kosong dan mulai memotong-motong sayurannya.
Suara tawa beberapa wanita yang ada diruang depan terdengar sampai ke telinganya.
Seperti perbincangan mereka begitu asyik.
Sudah hal bisa ia mendengar suara tawa mereka.
Yah, beginilah pekerjaan Takashi setiap harinya.
Menjadi pelayan di rumah okiya.
Dan siap melayani pemilik okiya juga para geisha nya.
Ia dikirim ibunya dari daerah perdesaan yang miskin ke kota itu pada waktu umurnya lima belas tahun.
Ia sudah dua tahun bekerja di okiya milik Megumi-san yang ia panggil okaasan dan sekarang usianya sudah menginjak tujuh belas tahun.
Tiap sebulan sekali ia mengirim uang untuk ibu dan adiknya.
Ya, hanya tinggal ibu dan adiknya karena sang ayah sudah lama meninggal karena sakit keras.
Walau tak banyak uang yang ia kirim, tapi paling tidak bisa sedikit meringankan.
"Takashi!?"
Seorang wanita muncul dipintu dapur.
Ia adalah wanita yang benar-benar ramah dan sangat perhatian padanya.
Takashi di anggap seperti adiknya sendiri.
Takashi sering memanggilnya....
"Ya, Atsuko-neechan!?"
"Tolong buatkan teh ya, ada tamu."
"Baik!"
Takashi meninggalkan sejenak sayurannya.
Ia beralih mengambil wadah untuk mengambil air bersih untuk merebusnya.
Tak lupa ia memeriksa nasi yang berada di tungku sebelah sebelum ia memasang api di tungku yang masih kosong itu.
Setelah memasang api, ia meletakkan panci berisi air mentah yang ia ambil barusan.
Sambil menunggu air mendidih ia menyiapkan cankir dan teko teh di atas nampan.
Mengambil daun teh hijau dari dalam lemari penyimpanan dan memasukkannya beberapa sendok teh kedalam teko.
Tak berapa lama Takashi selesai membuat tehnya.
Ia langsung membawanya ke ruang tamu.
Disana berkumpul para geisha. Ada yang ikut dalam perbincangan, ada juga yang sedang sibuk merias. Dan sepertinya yang datang juga geisha teman mereka.
Takashi berjalan menunduk, ia lalu duduk berlutut dan memberikan teh nya pada tamu.
"Silahkan teh nya.."
Saga berdiri hendak kembali ke dapur, tapi ia di tahan oleh Atsuko.
"Takashi, duduklah disini dulu..."
Takashi hendak menolak, tapi ia tak berani.
Siapa yang berani menolak perintah majikan?
Takashi kembali duduk, namun matanya terus menatap lantai.
"Jadi ini Takashi yang sering kau ceritakan Atsuko?"
Tanya tamu itu, membuat Takashi sedikit terkejut.
Apa yang diceritakan oleh Atsuko-neechan memangnya?
Pikir Takashi dalam hati.
"Ya, dia cocok 'kan??"
"Hmm.. "
Tamu yang ternyata teman dekat Atsuko tampak memperhatikan Takashi sangat dalam.
"Ya, dia punya wajah yang indah"
"Tapi sayangnya ia tak mau menerima ajakanku, padahal aku sangat mau mengajarinya kalu okaasan tak sempat mengajari"
Ucap Atsuko dengan wajah kecewa.
"Soukaa?? Kau tidak mau Takashi?? Menjadi geisha, itu pekerjaan yang penuh seni."
"Maaf..."
Jawab Takashi dengan satu kata maaf, cukup menjelaskan bahwa ia menolak. wajah nya masih menunduk.
Sudah sering Atsuko mengajaknya untuk menjadi geisha.
Atauko bilang ia punya potensi.
Tapi Takashi seperti menutup mata.
Ia merasa tak punya kemampuan untuk menjadi geisha.
Geisha harus selalu tampak ramah, lemah-lembut dan selalu tersenyum .
Bisa menyimpan apapun masalah didalam hati mereka dengan wajah tetap tersenyum.
Berbeda dengan Takashi, ia selalu dan setiap hari memikirkan nasib ibu dan adiknya di kampung. Apakah mereka baik-baik saja, apakah mereka cukup makan hari ini?
Memikirkan hal itu setiap hari membuatnya tampak selalu murung dan kurang senyum.
Ia terlalu fokus bekerja pada apa pekerjaannya sekarang, hanya berpikir untuk bekerja keras mengumpulkan uang yang banyak untuk bisa membahagiakan keluarganya.
Ia merasa kemampuannya hanya ada pada apa yang ia kerjakan sekarang.
Walau terkadang ia sangat tertarik saat melihat para geisha itu memainkan alat musik terutama shamisen.
Tapi ia cepat-cepat menghapus keinginannya untuk mempelajari itu.
Ia hanya orang yang terlalu perasa, yang kembali teringat akan kesusahan keluarganya begitu ia mendapat sedikit hal yang menyenangkan.
Maka itu ia berpikir pekerjaan geisha adalah pekerjaan yang terlalu menyenangkan untuknya.
Cukup bekerja sepenuh hati pada pekerjaannya sekarang dan dikelilingi orang yang baik hati saja, sudah cukup merasakan kebahagiaan kecil untuknya agar ia bisa terus mengingat keluarganya disana.
"Ah, anou.. maaf saya harus kembali ke dapur.."
Takashi teringat pada nasi yang ia tinggalkan di atas tungku.
Iapun permisi untuk kembali ke dapur dan melanjutkan lagi pekerjaannya yang tadi sempat terhenti.
Sekarang pukul delapan malam.
okiya sudah tampak sepi karena para geisha sudah keluar untuk melakukan pekerjaan mereka.
Hanya tinggal okaasan.
Dan ia pun sepertinya akan keluar juga entah untuk keperluan apa melihat ia sudah rapi dengan kimono nya yang bagus.
Ia menghampiri Takashi yang melihatnya dari dapur tadi.
"Takashi, setelah mencuci piring tolong kau belikan sake sebentar ya, di toko biasa. Okasan mau buru-buru pergi."
"Baik."
Takashi me-lap tangannya yang basah di lengan yukatanya lalu menerima uang dari okaasan.
Seperti yang diperintahkan okaasan nya, selesai dengan semua pekerjaannya di dapur Takashi bersiap-siap untuk keluar membeli sake.
Ia memeriksa semua pintu apakah sudah benar-benar terkunci atau belum, sampai terakhir ia keluar dari pintu belakang dan menguncinya.
Takashi merasa hawa diluar cukup dingin, ia melihat ke langit, ternyata agak mendung.
Padahal tadi siang begitu panas. Cuaca memang kadang tak bisa ditebak.
Takashi mengambil payung yang tergantung di dinding luar dapur, payung yang memang sering ia gunakan diwaktu hujan.
Ia membawanya untuk berjaga-jaga. Mana tahu saat diperjalanan hujan turun.
Akhirnya setelah mengambil payung ia melangkah menuju toko tempat menjual sake.
Sedikit jauh dan harus menyeberangi satu sungai kecil. Namun tak masalah bagi Takashi karna ia sudah sering ke sana .
Okaasan nya sudah berlangganan di toko itu.
Lagipula, sekalian ia bisa jalan-jalan menghirup udara segar setelah seharian bekerja didalam okiya.
Tak terasa ia tiba di toko penjual sake.
Kedatangannya yang baru selangkah masuk kedalam toko langsung disambut senyum ceria sang pemilik toko.
"Hei, Takashi ! Mau beli sake ya?"
"Ah, iya paman, seperti biasa."
Tingkah sang paman pemilik toko bisa membuatnya sedikit tersenyum .
"Baiklah, kemari..."
Takashi mendekati meja panjang tempat paman itu berada, ia tampak sedang menulis sesuatu di bukunya.
Mungkin sedang mendata beras-berasnya yang baru datang.
Sebenarnya itu adalah toko beras, tapi sang pemilik toko juga membut sake sebagai pekerjaan sampingan.
"Mau beli berapa botol?"
"Lima saja."
"Hanya lima? Sedikit sekali, bilang pada okaasan mu kalau menyuruhmu beli sake yang banyak sedikit, hahaha..."
"Akan coba saya sampaikan..."
"Heeh... kau terlalu serius, paman hanya bercanda."
Paman itu pun pergi kebelakang setelah sedikit bercanda dengan Takashi untuk mengambil sake di penyimpanan belakang.
Tak berapa lama sang paman membawa enam botol sake kehadapannya.
"Ini sake nya, satu kuberikan gratis untukmu."
"Ha?"
Takashi tampak kaget.
Tentu saja, di usianya sekarang ia belum boleh minum sake atau minuman beralkohol lainnya sampai umur dua puluh tahun. Itu sudah peraturan pemerintah.
"Kenapa?? Kau tidak mau mencoba mencicipinya??"
Sang paman sadar akan keterkagetan Takashi.
"Saya belum boleh minum sake 'kan, paman?"
"Tentu saja, bocah masih bau kencur sepertimu mana bisa minum sake, ini memang kuberikan gratis untuk okaasanmu hahaha.. Tapi itu peraturan pemerintah 'kan? Jika memang badanmu yang sekarang sanggup menerimanya, yah, boleh saja kau menyimpannya satu untuk mencicipinya sedikit. Hahahaha..."
Takashi menghela nafas. Terkadang candaan paman itu sering membuatnya tak habis fikir.
"Baikalah paman, ini uangnya. Terima kasih banyak."
Saga sedikit merendahkan kepalanya memberi hormat pada yang lebih tua. Dan siap berbalik sampai sang paman pemilik toko kembali berucap.
"Mau langsung pulang sekarang? Diluar sudah hujan. Duduk saja dulu disini jika kau mau, bibi sedang memasak kare didapur."
Takashi melihat ke arah luar.
"Ng... tak apa paman, saya membawa payung. Lagipula hujannya belum terlalu deras. Jika terus menunggu disini, bisa-bisa sampai tengah malam karena tak tahu hujan kapan akan berhenti."
"Begitu? Yasudah, hati-hati."
"Baik. Permisi paman,"
Takashi keluar dari toko, ia mengambil payung yang ia sandarkan didekat pintu dan membukanya.
Seketika saat ia menjauh dari toko baru beberapa langkah, hujan turun makin deras.
Ia mempercepat langkahnya agar segera tiba di rumah.
Jalanan tampak sudah sepi karena orang-orang sudah pasti berteduh didalam rumah.
Hanya beberapa orang yang tetap berlalu lalang seperti dirinya karena mungkin ada keperluan penting.
Air hujan terbang tak berarah karena dibawa angin yang cukup kencang, seperti angin ribut. Membuat Takashi harus memegang payungnya kuat-kuat.
Bahkan memakai payung pun sepertinya tak ada artinya karena yukatanya tetap basah oleh air hujan yang terbang tak berarah dibawa angin.
Ia berharap payungnya tak rusak diterbangkan angin yang begitu tak terkendali.
Takashi tiba di sungai kecil yang juga ia lewati saat hendak pergi tadi.
Menaiki jembatan melengkung itu.
Tapi tiba-tiba matanya terbelalak.
Ia melihat sesosok orang berdiri di ujung jembatan, sepertinya hendak menaiki jembatan namun ia tak sanggup. Takashi melihat orang itu tak berdiri tegak, tangan kanannya memegang perutnya, sedangkan ia menyandarkan tubuhnya pada pagar jembatan.
Sampai akhirnya orang itu terjatuh terlungkup dan suara dentingan pedang ditangan kirinya yang jatuh menghantam batu terdengar di telinga Takashi.
"Tuan!!?"
Spontan Takashi berlari mendekat.
Ia bisa melihat darah mengalir dari bawah perut orang itu.
Takashi tak bisa menyembunyikan kepanikannya.
Ia meletakkan payungnya di lantai jembatan beserta botol sake nya.
Saat payungnya ditiup angin menjauh darinya pun ia tak perduli lagi, yang harus ia pedulikan sekarang adalah orang ini.
Ia hatus segera menolong pria ini.
Mungkin dia adalah seorang samurai yang baru bertarung atau apapun itu karena ada pedang ditangannya.
Namun ia tak mempedulikan siapapun orang itu, karena ia hanya ingin menolong orang. Apalagi sudah sekarat seperti ini.
Takashi mengambil pedang pria tersebut dan didirikan di pagar jembatan.
Lalu ia mengambil botol-botol sakenya dan memegangnya ditangan kiri.
Dengan mengumpulkan segenap tenaga Takashi mengangkat tubuh orang itu agar berdiri.
"Ugh!"
Sangat berat, melihat tubuh pria itu memang lebih besar dari dirinya, apalagi dalam keadaan lemah seperti itu, semua beban tubuh orang itu harus ia yang menahannya.
Dengan bersusah payah akhirnya Takashi berhasil mendirikan pria itu.
Ia lalu mengambil pedang yang sudah ia dirikan tadi agar mudah mengambilnya dan memasukkan kedalam sarung pedang yang mengantung di pinggang pria tersebut.
Takashi pun melangkah pulang, beruntung sang pria masih sedikit dalam keadaan sadar jadi ia bisa menggerakkan kakinya untuk berjalan walau tertatih-tatih.
Bajunya yang sudah basah kuyup tak ia hiraukan lagi.
Sampai akhirnya ia tiba dirumah.
Takashi membawanya masuk lewat pintu belakang.
Ia meletakkan pria itu di lantai dapur.
Rumah masih sepi, sepertinya mereka pun terjebak hujan.
Ia tak tahu apakah okaasan mengijinkannya membawa orang asing kedalam rumah atau tidak.
Tapi ia akan pikirkan itu nanti, jika memang ia dimarahi dan dihukum, maka ia akan terima.
Daripada ia menelantarkan orang yang sekarat butuh pertolongan.
Takashi menyimpan botol-botol sake di atas meja lalu segera berlari kekamarnya.
Ia mau mengambil kotak obat dan harus mengganti pakaian orang itu yang sudah basah kuyup agar tak bertambah sakit.
Lantai rumah jadi kotor dan basah karena jejak kakinya dan tetesan air dari yukatanya.
Ia akan membersihkan itu nanti.
Takashi buru-buru mengambil kotak obat dilemari, dan membuka pintu lemari satunya mengambil sepotong yukata miliknya yang sekiranya agak besar agar pas untuk orang itu.
Walau akhirnya tak ada ukuran yang lebih besar namun ia tetap mengambilnya, mungkin agak sempit dipakai, namun daripada tetap memakai pakaian basah 'kan?
Terakhir Takashi menyambar satu buah selimut dan berlari kembali ke dapur.
Ia duduk disamping pria tersebut dan meletakkan semua benda yang di ambilnya dari kamar disampingnya.
Pertama ia harus mengganti pakaiannya.
Takashi membuka selimut yang ia bawa lalu membentangnya di atas tubuh pria itu agar tak tambah dingin lagi sampai batas pinggangnya saja karena ia harus melepas baju atasnya terlebih dahulu.
Dengan pelan-pelan Takashi membuka obi yang mengikat hakama pria itu.
Ia bergidik ngeri melihat luka sayatan di perutnya yang cukup dalam, namun ia mencoba kuat.
Cukup lama ia mengganti pakaian pria itu karena ia harus ekstra hati-hati agar tak mengenai lukanya.
Karena luka sayatan tak hanya ada diperutnya, juga ada dilengan dan punggungnya namun tak separah di perutnya.
Setelah memakan waktu cukup lama akhirnya ia selesai mengganti pakaian pria tersebut.
Takashi mulai membuka kotak obatnya.
Ia sengaja tak menutup dulu bagian badannya dengan yukata agar ia bisa mengobati luka yang kebanyakan ada di bagian tubuh atasnya.
Bagian kaki tetap ia tambah dengan selimut walau sudah tertutup yukata .
Takashi mengambil air hangat dan mencelupakannya dengan kapas yang lalu ia gunakan untuk membersihkan darah yang masih mengalir diperutnya.
Lukanya cukup parah.
Takashi sampai terkejut karena pria itu meringis sakit saat ia mencoba membersihkan lukanya lebih dekat ke bekas sayatannya.
"M..maaf.."
Saat pria itu kembali tenang, Takashi memulainya lagi.
Sampai akhirnya ia berhasil mengobatinya sampai selesai.
Sekarang pria itu sudah berselimut seluruh badan, dan ia pun sudah tertidur tenang.
Takashi tanpa sadar menatap wajah pria itu, saat ia membersihkan wajahnya tadi ia belum berpikir apa-apa karena dalam keadaan panik. Namun sekarang ia bisa berfikir bawha wajah pria itu tampan. Sangat tampan dengan hidung mancung dan garis wajahnya yang tegas itu.
"Huatchih!!"
Takashi menggosok hidungnya dengan jari telunjuk.
Ah, dia sampai lupa bahwa ia juga harus segera mengganti pakaiannya .
Takashi membereskan peralatan obatnya lalu berdiri dan menuju ke kamar .
Saat melangkah di koridor ia menemukan lantai koridor basah karena ulahnya tadi.
Selesai berganti pakaian ia harus lanjut membersihkan lantai.
Takashi menyimpan semua ember dan kain untuk mengepel lantai. Ia sudah selesai membersihkan lantainya.
Lalu ia berjalan ke arah tungku dan memasang beberapa kayu bakar.
Ia berniat menyalakan tungku agar udara jadi sedikit hangat, karena hujan masih saja turun.
Saat ia menuip api agar kayu cepat terbakar, sayup-sayup ia seperti mendengar seseorang seperti memanggilnya.
"Takashi!!!"
Sampai suara itu memanggil begitu keras sampai terdengar seperti membentak, barulah ia tersentak kaget dan menyadarinya.
Ia langsung lari ke ruangan depan dan cepat-cepat membuka pintu.
Okaasan nya sudah pulang.
"Kau sudah tidur!?"
"Tidak, belum. Saya sedang didapur, karena suara hujan yang terlaku deras saya jadi tak mendengar okaasan memanggil"
"Haah.... ya, hujannya memang terlalu deras. Aku sampai basah kuyup begini. Yang lainnya belum pulang ya!?"
"Belum..."
Seketika rasa takut menghinggapinya.
Bagaimana cara mengatakannya, tentang orang yang dibawanya.
Takashi jadi bergetar.
Ia tak pindah dari tempatnya berdiri sambil melihat okaasannya yang tampak seperti biasa menyimpan sendalnya di rak lalu berjalan beberapa langkah untuk menginjakkan kakinya di atas keset sebelum naik ke lantai rumah. Takashi mendekat ke okaasannya.
Sampai okaasan menyadarinya.
"Kau kenapa masih disini?? Tolong siapkan pakaian kering untukku."
Okasan jadi sedikit merasa aneh, biasanya Takashi selalu sigap.
Takashi menunduk, ia menggigit bibirnya dan tangannya meremat tangan satunya.
"Okaasan, aku... aku membawa orang asing masuk ke dalam rumah."
Seketika mata okaasan melebar kaget.
Tsuzuku.
Author: Sachi_ciel, SachiJ6
Chapter : 1/?
Fandom: Alice Nine, OC.
Pairing : Kalian tau kan OTP sayaaa... xDd
Genre: AU, drama, ama satu lagi.... errr.... *takit nulisnya*
Rating: T
Disclaimer: Tora is mine.
*Yang percaya saya ucapkan terima kasih banyak*
(Dibakar idup-idup)
Note: ngg.... okeh, judul sama isi nya sebenarnya benar-benar gak nyambung. cuma terinspirasi gegara denger lagu FUURIN. Kebayang banget zaman jepang jadul. Saat ini lagu berdendang di kuping saya, bayangan kayak semacam PV gitu muter-muter di otak saya.
PV dengan cewek yang sedih menunggu sang kekasih di atas jembatan yang tak kunjung datang.
Pengen deh liat member arisu bikin ini pv, mereka pake kimono gitu. #buaghhh
Padahal pas bayangin itu saya sama sekali ga baca lyricnya.
Dan pas saya baca beberapa lama kemudian, ternyata lyricnya emang sedih. :(
Dari musik aja udah terasa gimana kesedihannya.
Dan akhirnya setelah lama scene itu muter-muter di otak saya, baru bisa ditumpahkan ke tulisan sekarang.
#payah
Okelah, kenapa ini jadi curhat.
Jadi yang mau baca silahkan.
Yang engga juga gapapa.
Yang baca maaf semisal ini ff rasa aneh.
Entahlah, saya cuma pengen numpahin apa yang sudah terpendam lama di otak gegara dengar lagu itu.
Bel sekolah sudah berdentang, tandanya jam belajar sudah berakhir. Para murid bisa kembali ke rumah mereka masing-masing.
Seketika perkarangan sekolah menjadi sepi.
Hanya tinggal beberapa siswa yang masih berlalu-lalang di wilayah sekolah mungkin masih ada keperluan.
Beruntungnya sekolah ini tetap membuka perpustakaannya walau jam sekolah sudah berakhir.
Ia masih dibuka sampai sore nanti.
Sesosok siswa berambut hitam legam baru saja tiba di perpuatakaan, sepertinya dia baru dari kelasnya dan langsung menuju pustaka.
Tas nya terlihat cukup berat dan ia memegang beberapa buku tebal ditangnnya.
Ia masuk kedalam pustaka dan langsung mencari sebuah meja.
Ia melepas tasnya dan meletakkan buku yang ia bawa di atas meja tersebut.
Langsung saja setelah itu ia menuju rak buku.
Ia mencari buku yang ia butuhkan untuk tugas kelompoknya.
Buku sejarah, yang berisi tentang saat konflik di masa restorasi Meiji.
Ia menemukan satu buku tentang sejarah Restorasi Meiji, ia mengmbilnya.
Ia mau mencari mungkin satu buku lagi untuk melengkapi.
Matanya menjajal tiap judul buku yang dijajar rapi dihadapannya.
Sampai ia melihat sebuah buku yang diletakkan di atas buku-buku lain yang berjajar rapi.
Sampulnya menarik mata pemuda itu karena warnanya yang mencolok di antara buku lain, merah marun.
Ia mengambil buku itu dan melihat judul dan keterangannya.
Itu bukan buku sejarah, tetapi novel.
Pasti seseorang meletakkan buku itu asal-asalan di rak buku sejarah setelah ia tak jadi mengambil novel tersebut.
Bukanya meletakkan kembali pada tempatnya.
Tapi buku itu cukup menarik perhatiannya.
Dari warna sampul hingga gambar yang menghiasi sampul depannya.
Seseorang yang berdiri menghadap belakang.
Ia mengenakan kimono putih yang melambai ditiup angin berdiri di atas jembatan di sungai kecil sambil mengenakan payung. Wajahnya tak diperlihatkan karena berdirinya yang membelakangi ditambah ia memakai payung pula.
Suasananya muram dengan langit mendung dan terbangan beberapa daun kering.
Pemuda berambut hitam itu membalik buku itu dan mebaca sinopsis yang ada di sampul belakang.
Dan ia pun sepertinya tertarik akan buku itu.
Terlihat dengan ia yang membawa buku itu beserta dengan buku sejarahnya ke meja yang sudah ia letakkan tasnya tadi.
Bukanya membaca buku sejarah untuk bahan kelompoknya seperti tujuan utamanya tadi, ia malah membuka novel itu ingin membacanya.
Sepertinya ia benar-benar tertarik akan kisahnya.
"Hei, Tora!!"
Saat akan membaca, tiba-tiba saja ia dipanggil oleh temannya yang berdiri dipintu perpustakaan.
"Ha? Ada apa!?"
Responnya yang menunda dulu membaca novelnya.
"Kata Akira, untuk isi bagian bab dua biar dia saja yang mencari, kau bagian bab tiga saja."
"Oh, lalu, kenapa kau masih berdiri disitu? Kau juga harus mencari isi untuk bab bagianmu 'kan?"
"Hehe.. aku kan mencari bahannya besok saja sekarang ada keperluan lain.
jaa... sampai jumpa besok."
Pemuda itu pun beranjak dari depan pintu.
Tora kembali menghadap pada novel dihadapannya sambil sedikit menghela nafas panjang.
Ia pun mulai membaca.
Jepang tahun 1868 .
Zamannya modernisasi bagi jepang.
Di masa itu para Samurai menjadi kehilangan tuannya akibat hak
atas wilayah kekuasaan sang tuan dicabut oleh
pemerintah. Samurai yang tidak lagi memiliki tuan menjadi kehilangan pekerjaan.
Mereka yang kehilangan pekerjaan dan tempat
tinggal menjadi pengembara.
Lalu mereka disebut Ronin.
Ronin sering menjadi sebab timbulnya kerusuhan
skala kecil di berbagai daerah. Walaupun para
daimyo banyak membutuhkan prajurit untuk
berperang, ronin hampir tidak berkesempatan
mendapat majikan yang baru. Situasi keamanan
yang buruk menyebabkan ronin membentuk
komplotan yang saling berebut wilayah dan
pengaruh, beroperasi sebagai gerombolan
pencuri hingga menimbulkan huru-hara.
Semua mereka lakuakan demi menyambung hidup mereka.
Bahkan ada yang nekat menjadi pembunuh bayaran yang bekerja pada para petinggi-petingi yang sedang bersaing ketat dan membutuhkan jasa mereka. Yang penting mereka mendapatkan uang.
Namun tak semuanya seperti itu, ada yang memilih jalan baik dengan menjadi petani atau buruh.
Kehidupan disetiap daerah pun berbeda-beda. Ada yang tingkat kekacauan yang dilakukan ronin dengan skala kecil ada juga dengan tingkat kekacauan skala besar.
Disebuah sudut kota Edo penduduknya tampak damai.
Aktifitas warga berjalan lancar.
Pagi yang cerah para penduduk berlalu-lalang dengan nyaman dijalanan menuju tempat tujuan mereka masing-masing.
Sama halnya dengan aktivitas dirumah.
Mereka melakukan pekerjaan rumah tanpa rasa was-was.
Seperti yang sedang dilakukan oleh seorang pemuda berambut coklat di depan sebuah rumah okiya.
Ia sedang menyiram tanah sehabis ia menyapu tadi.
Tampaknya hari ini matahari akan sangat terik.
Lonceng angin yang terpasang di kayu penyangga atap teras berdenting pelan karena angin pagi belum begitu kencang.
Ia menyiramnya agar debu-debu ditanah didepan rumah tak terangkat oleh angin dan berterbangan masuk kedalam.
Ia menyeka keningnya yang sudah dialiri keringat sambil memperhatikan hasil kerjanya.
Halaman bersih sempurna.
"Ugh... masih pagi seperti ini saja hawa panas sudah terasa.."
Ia melihat arah sinar matahari pagi yang tampak sangat merah.
Tak mau berlama-lama diluar, ia segera masuk kedalam.
Pekeraan didapur menunggunya.
Takashi memutar badan untuk melangkah menuju dapur.
Ia melewati samping rumah untuk menuju belakang dapur karena ia harus menyimpan sapu dan timba kayunya terlebih dahulu.
Setelah itu ia mengambil beberapa kayu bakar ditempat penyimpanan.
lalu membawanya masuk kedapur lewat pintu belakang.
Takashi langsung menyusun kayu nya di bawah tungku.
Ia mengambil korek dan meyalakannya.
Ia tiup-tiup agar api cepat membesar.
Setelah dirasa api menyala dengan baik, ia bangun dan mengambil wadah untuk dimasukkan beras dan mencucinya disumur.
Takashi kembali keluar dari dapur, ia membawa wadah berisi beras menuju sumur.
Ia meletakkan beras itu ditanah dan menimba air.
ia lalu mencucinya.
Setelah selesai ia kembali kedapur dan memasukkan beras kedalam panci penanak nasi lalu diletakkannya di atas tungku yang sudah terpasang api.
Ia meninggalkan tungku dan mengambil sayuran yang ada didalam lemari bahan makanan, membawanya ke atas meja, mengambil beberapa wadah kosong dan mulai memotong-motong sayurannya.
Suara tawa beberapa wanita yang ada diruang depan terdengar sampai ke telinganya.
Seperti perbincangan mereka begitu asyik.
Sudah hal bisa ia mendengar suara tawa mereka.
Yah, beginilah pekerjaan Takashi setiap harinya.
Menjadi pelayan di rumah okiya.
Dan siap melayani pemilik okiya juga para geisha nya.
Ia dikirim ibunya dari daerah perdesaan yang miskin ke kota itu pada waktu umurnya lima belas tahun.
Ia sudah dua tahun bekerja di okiya milik Megumi-san yang ia panggil okaasan dan sekarang usianya sudah menginjak tujuh belas tahun.
Tiap sebulan sekali ia mengirim uang untuk ibu dan adiknya.
Ya, hanya tinggal ibu dan adiknya karena sang ayah sudah lama meninggal karena sakit keras.
Walau tak banyak uang yang ia kirim, tapi paling tidak bisa sedikit meringankan.
"Takashi!?"
Seorang wanita muncul dipintu dapur.
Ia adalah wanita yang benar-benar ramah dan sangat perhatian padanya.
Takashi di anggap seperti adiknya sendiri.
Takashi sering memanggilnya....
"Ya, Atsuko-neechan!?"
"Tolong buatkan teh ya, ada tamu."
"Baik!"
Takashi meninggalkan sejenak sayurannya.
Ia beralih mengambil wadah untuk mengambil air bersih untuk merebusnya.
Tak lupa ia memeriksa nasi yang berada di tungku sebelah sebelum ia memasang api di tungku yang masih kosong itu.
Setelah memasang api, ia meletakkan panci berisi air mentah yang ia ambil barusan.
Sambil menunggu air mendidih ia menyiapkan cankir dan teko teh di atas nampan.
Mengambil daun teh hijau dari dalam lemari penyimpanan dan memasukkannya beberapa sendok teh kedalam teko.
Tak berapa lama Takashi selesai membuat tehnya.
Ia langsung membawanya ke ruang tamu.
Disana berkumpul para geisha. Ada yang ikut dalam perbincangan, ada juga yang sedang sibuk merias. Dan sepertinya yang datang juga geisha teman mereka.
Takashi berjalan menunduk, ia lalu duduk berlutut dan memberikan teh nya pada tamu.
"Silahkan teh nya.."
Saga berdiri hendak kembali ke dapur, tapi ia di tahan oleh Atsuko.
"Takashi, duduklah disini dulu..."
Takashi hendak menolak, tapi ia tak berani.
Siapa yang berani menolak perintah majikan?
Takashi kembali duduk, namun matanya terus menatap lantai.
"Jadi ini Takashi yang sering kau ceritakan Atsuko?"
Tanya tamu itu, membuat Takashi sedikit terkejut.
Apa yang diceritakan oleh Atsuko-neechan memangnya?
Pikir Takashi dalam hati.
"Ya, dia cocok 'kan??"
"Hmm.. "
Tamu yang ternyata teman dekat Atsuko tampak memperhatikan Takashi sangat dalam.
"Ya, dia punya wajah yang indah"
"Tapi sayangnya ia tak mau menerima ajakanku, padahal aku sangat mau mengajarinya kalu okaasan tak sempat mengajari"
Ucap Atsuko dengan wajah kecewa.
"Soukaa?? Kau tidak mau Takashi?? Menjadi geisha, itu pekerjaan yang penuh seni."
"Maaf..."
Jawab Takashi dengan satu kata maaf, cukup menjelaskan bahwa ia menolak. wajah nya masih menunduk.
Sudah sering Atsuko mengajaknya untuk menjadi geisha.
Atauko bilang ia punya potensi.
Tapi Takashi seperti menutup mata.
Ia merasa tak punya kemampuan untuk menjadi geisha.
Geisha harus selalu tampak ramah, lemah-lembut dan selalu tersenyum .
Bisa menyimpan apapun masalah didalam hati mereka dengan wajah tetap tersenyum.
Berbeda dengan Takashi, ia selalu dan setiap hari memikirkan nasib ibu dan adiknya di kampung. Apakah mereka baik-baik saja, apakah mereka cukup makan hari ini?
Memikirkan hal itu setiap hari membuatnya tampak selalu murung dan kurang senyum.
Ia terlalu fokus bekerja pada apa pekerjaannya sekarang, hanya berpikir untuk bekerja keras mengumpulkan uang yang banyak untuk bisa membahagiakan keluarganya.
Ia merasa kemampuannya hanya ada pada apa yang ia kerjakan sekarang.
Walau terkadang ia sangat tertarik saat melihat para geisha itu memainkan alat musik terutama shamisen.
Tapi ia cepat-cepat menghapus keinginannya untuk mempelajari itu.
Ia hanya orang yang terlalu perasa, yang kembali teringat akan kesusahan keluarganya begitu ia mendapat sedikit hal yang menyenangkan.
Maka itu ia berpikir pekerjaan geisha adalah pekerjaan yang terlalu menyenangkan untuknya.
Cukup bekerja sepenuh hati pada pekerjaannya sekarang dan dikelilingi orang yang baik hati saja, sudah cukup merasakan kebahagiaan kecil untuknya agar ia bisa terus mengingat keluarganya disana.
"Ah, anou.. maaf saya harus kembali ke dapur.."
Takashi teringat pada nasi yang ia tinggalkan di atas tungku.
Iapun permisi untuk kembali ke dapur dan melanjutkan lagi pekerjaannya yang tadi sempat terhenti.
Sekarang pukul delapan malam.
okiya sudah tampak sepi karena para geisha sudah keluar untuk melakukan pekerjaan mereka.
Hanya tinggal okaasan.
Dan ia pun sepertinya akan keluar juga entah untuk keperluan apa melihat ia sudah rapi dengan kimono nya yang bagus.
Ia menghampiri Takashi yang melihatnya dari dapur tadi.
"Takashi, setelah mencuci piring tolong kau belikan sake sebentar ya, di toko biasa. Okasan mau buru-buru pergi."
"Baik."
Takashi me-lap tangannya yang basah di lengan yukatanya lalu menerima uang dari okaasan.
Seperti yang diperintahkan okaasan nya, selesai dengan semua pekerjaannya di dapur Takashi bersiap-siap untuk keluar membeli sake.
Ia memeriksa semua pintu apakah sudah benar-benar terkunci atau belum, sampai terakhir ia keluar dari pintu belakang dan menguncinya.
Takashi merasa hawa diluar cukup dingin, ia melihat ke langit, ternyata agak mendung.
Padahal tadi siang begitu panas. Cuaca memang kadang tak bisa ditebak.
Takashi mengambil payung yang tergantung di dinding luar dapur, payung yang memang sering ia gunakan diwaktu hujan.
Ia membawanya untuk berjaga-jaga. Mana tahu saat diperjalanan hujan turun.
Akhirnya setelah mengambil payung ia melangkah menuju toko tempat menjual sake.
Sedikit jauh dan harus menyeberangi satu sungai kecil. Namun tak masalah bagi Takashi karna ia sudah sering ke sana .
Okaasan nya sudah berlangganan di toko itu.
Lagipula, sekalian ia bisa jalan-jalan menghirup udara segar setelah seharian bekerja didalam okiya.
Tak terasa ia tiba di toko penjual sake.
Kedatangannya yang baru selangkah masuk kedalam toko langsung disambut senyum ceria sang pemilik toko.
"Hei, Takashi ! Mau beli sake ya?"
"Ah, iya paman, seperti biasa."
Tingkah sang paman pemilik toko bisa membuatnya sedikit tersenyum .
"Baiklah, kemari..."
Takashi mendekati meja panjang tempat paman itu berada, ia tampak sedang menulis sesuatu di bukunya.
Mungkin sedang mendata beras-berasnya yang baru datang.
Sebenarnya itu adalah toko beras, tapi sang pemilik toko juga membut sake sebagai pekerjaan sampingan.
"Mau beli berapa botol?"
"Lima saja."
"Hanya lima? Sedikit sekali, bilang pada okaasan mu kalau menyuruhmu beli sake yang banyak sedikit, hahaha..."
"Akan coba saya sampaikan..."
"Heeh... kau terlalu serius, paman hanya bercanda."
Paman itu pun pergi kebelakang setelah sedikit bercanda dengan Takashi untuk mengambil sake di penyimpanan belakang.
Tak berapa lama sang paman membawa enam botol sake kehadapannya.
"Ini sake nya, satu kuberikan gratis untukmu."
"Ha?"
Takashi tampak kaget.
Tentu saja, di usianya sekarang ia belum boleh minum sake atau minuman beralkohol lainnya sampai umur dua puluh tahun. Itu sudah peraturan pemerintah.
"Kenapa?? Kau tidak mau mencoba mencicipinya??"
Sang paman sadar akan keterkagetan Takashi.
"Saya belum boleh minum sake 'kan, paman?"
"Tentu saja, bocah masih bau kencur sepertimu mana bisa minum sake, ini memang kuberikan gratis untuk okaasanmu hahaha.. Tapi itu peraturan pemerintah 'kan? Jika memang badanmu yang sekarang sanggup menerimanya, yah, boleh saja kau menyimpannya satu untuk mencicipinya sedikit. Hahahaha..."
Takashi menghela nafas. Terkadang candaan paman itu sering membuatnya tak habis fikir.
"Baikalah paman, ini uangnya. Terima kasih banyak."
Saga sedikit merendahkan kepalanya memberi hormat pada yang lebih tua. Dan siap berbalik sampai sang paman pemilik toko kembali berucap.
"Mau langsung pulang sekarang? Diluar sudah hujan. Duduk saja dulu disini jika kau mau, bibi sedang memasak kare didapur."
Takashi melihat ke arah luar.
"Ng... tak apa paman, saya membawa payung. Lagipula hujannya belum terlalu deras. Jika terus menunggu disini, bisa-bisa sampai tengah malam karena tak tahu hujan kapan akan berhenti."
"Begitu? Yasudah, hati-hati."
"Baik. Permisi paman,"
Takashi keluar dari toko, ia mengambil payung yang ia sandarkan didekat pintu dan membukanya.
Seketika saat ia menjauh dari toko baru beberapa langkah, hujan turun makin deras.
Ia mempercepat langkahnya agar segera tiba di rumah.
Jalanan tampak sudah sepi karena orang-orang sudah pasti berteduh didalam rumah.
Hanya beberapa orang yang tetap berlalu lalang seperti dirinya karena mungkin ada keperluan penting.
Air hujan terbang tak berarah karena dibawa angin yang cukup kencang, seperti angin ribut. Membuat Takashi harus memegang payungnya kuat-kuat.
Bahkan memakai payung pun sepertinya tak ada artinya karena yukatanya tetap basah oleh air hujan yang terbang tak berarah dibawa angin.
Ia berharap payungnya tak rusak diterbangkan angin yang begitu tak terkendali.
Takashi tiba di sungai kecil yang juga ia lewati saat hendak pergi tadi.
Menaiki jembatan melengkung itu.
Tapi tiba-tiba matanya terbelalak.
Ia melihat sesosok orang berdiri di ujung jembatan, sepertinya hendak menaiki jembatan namun ia tak sanggup. Takashi melihat orang itu tak berdiri tegak, tangan kanannya memegang perutnya, sedangkan ia menyandarkan tubuhnya pada pagar jembatan.
Sampai akhirnya orang itu terjatuh terlungkup dan suara dentingan pedang ditangan kirinya yang jatuh menghantam batu terdengar di telinga Takashi.
"Tuan!!?"
Spontan Takashi berlari mendekat.
Ia bisa melihat darah mengalir dari bawah perut orang itu.
Takashi tak bisa menyembunyikan kepanikannya.
Ia meletakkan payungnya di lantai jembatan beserta botol sake nya.
Saat payungnya ditiup angin menjauh darinya pun ia tak perduli lagi, yang harus ia pedulikan sekarang adalah orang ini.
Ia hatus segera menolong pria ini.
Mungkin dia adalah seorang samurai yang baru bertarung atau apapun itu karena ada pedang ditangannya.
Namun ia tak mempedulikan siapapun orang itu, karena ia hanya ingin menolong orang. Apalagi sudah sekarat seperti ini.
Takashi mengambil pedang pria tersebut dan didirikan di pagar jembatan.
Lalu ia mengambil botol-botol sakenya dan memegangnya ditangan kiri.
Dengan mengumpulkan segenap tenaga Takashi mengangkat tubuh orang itu agar berdiri.
"Ugh!"
Sangat berat, melihat tubuh pria itu memang lebih besar dari dirinya, apalagi dalam keadaan lemah seperti itu, semua beban tubuh orang itu harus ia yang menahannya.
Dengan bersusah payah akhirnya Takashi berhasil mendirikan pria itu.
Ia lalu mengambil pedang yang sudah ia dirikan tadi agar mudah mengambilnya dan memasukkan kedalam sarung pedang yang mengantung di pinggang pria tersebut.
Takashi pun melangkah pulang, beruntung sang pria masih sedikit dalam keadaan sadar jadi ia bisa menggerakkan kakinya untuk berjalan walau tertatih-tatih.
Bajunya yang sudah basah kuyup tak ia hiraukan lagi.
Sampai akhirnya ia tiba dirumah.
Takashi membawanya masuk lewat pintu belakang.
Ia meletakkan pria itu di lantai dapur.
Rumah masih sepi, sepertinya mereka pun terjebak hujan.
Ia tak tahu apakah okaasan mengijinkannya membawa orang asing kedalam rumah atau tidak.
Tapi ia akan pikirkan itu nanti, jika memang ia dimarahi dan dihukum, maka ia akan terima.
Daripada ia menelantarkan orang yang sekarat butuh pertolongan.
Takashi menyimpan botol-botol sake di atas meja lalu segera berlari kekamarnya.
Ia mau mengambil kotak obat dan harus mengganti pakaian orang itu yang sudah basah kuyup agar tak bertambah sakit.
Lantai rumah jadi kotor dan basah karena jejak kakinya dan tetesan air dari yukatanya.
Ia akan membersihkan itu nanti.
Takashi buru-buru mengambil kotak obat dilemari, dan membuka pintu lemari satunya mengambil sepotong yukata miliknya yang sekiranya agak besar agar pas untuk orang itu.
Walau akhirnya tak ada ukuran yang lebih besar namun ia tetap mengambilnya, mungkin agak sempit dipakai, namun daripada tetap memakai pakaian basah 'kan?
Terakhir Takashi menyambar satu buah selimut dan berlari kembali ke dapur.
Ia duduk disamping pria tersebut dan meletakkan semua benda yang di ambilnya dari kamar disampingnya.
Pertama ia harus mengganti pakaiannya.
Takashi membuka selimut yang ia bawa lalu membentangnya di atas tubuh pria itu agar tak tambah dingin lagi sampai batas pinggangnya saja karena ia harus melepas baju atasnya terlebih dahulu.
Dengan pelan-pelan Takashi membuka obi yang mengikat hakama pria itu.
Ia bergidik ngeri melihat luka sayatan di perutnya yang cukup dalam, namun ia mencoba kuat.
Cukup lama ia mengganti pakaian pria itu karena ia harus ekstra hati-hati agar tak mengenai lukanya.
Karena luka sayatan tak hanya ada diperutnya, juga ada dilengan dan punggungnya namun tak separah di perutnya.
Setelah memakan waktu cukup lama akhirnya ia selesai mengganti pakaian pria tersebut.
Takashi mulai membuka kotak obatnya.
Ia sengaja tak menutup dulu bagian badannya dengan yukata agar ia bisa mengobati luka yang kebanyakan ada di bagian tubuh atasnya.
Bagian kaki tetap ia tambah dengan selimut walau sudah tertutup yukata .
Takashi mengambil air hangat dan mencelupakannya dengan kapas yang lalu ia gunakan untuk membersihkan darah yang masih mengalir diperutnya.
Lukanya cukup parah.
Takashi sampai terkejut karena pria itu meringis sakit saat ia mencoba membersihkan lukanya lebih dekat ke bekas sayatannya.
"M..maaf.."
Saat pria itu kembali tenang, Takashi memulainya lagi.
Sampai akhirnya ia berhasil mengobatinya sampai selesai.
Sekarang pria itu sudah berselimut seluruh badan, dan ia pun sudah tertidur tenang.
Takashi tanpa sadar menatap wajah pria itu, saat ia membersihkan wajahnya tadi ia belum berpikir apa-apa karena dalam keadaan panik. Namun sekarang ia bisa berfikir bawha wajah pria itu tampan. Sangat tampan dengan hidung mancung dan garis wajahnya yang tegas itu.
"Huatchih!!"
Takashi menggosok hidungnya dengan jari telunjuk.
Ah, dia sampai lupa bahwa ia juga harus segera mengganti pakaiannya .
Takashi membereskan peralatan obatnya lalu berdiri dan menuju ke kamar .
Saat melangkah di koridor ia menemukan lantai koridor basah karena ulahnya tadi.
Selesai berganti pakaian ia harus lanjut membersihkan lantai.
Takashi menyimpan semua ember dan kain untuk mengepel lantai. Ia sudah selesai membersihkan lantainya.
Lalu ia berjalan ke arah tungku dan memasang beberapa kayu bakar.
Ia berniat menyalakan tungku agar udara jadi sedikit hangat, karena hujan masih saja turun.
Saat ia menuip api agar kayu cepat terbakar, sayup-sayup ia seperti mendengar seseorang seperti memanggilnya.
"Takashi!!!"
Sampai suara itu memanggil begitu keras sampai terdengar seperti membentak, barulah ia tersentak kaget dan menyadarinya.
Ia langsung lari ke ruangan depan dan cepat-cepat membuka pintu.
Okaasan nya sudah pulang.
"Kau sudah tidur!?"
"Tidak, belum. Saya sedang didapur, karena suara hujan yang terlaku deras saya jadi tak mendengar okaasan memanggil"
"Haah.... ya, hujannya memang terlalu deras. Aku sampai basah kuyup begini. Yang lainnya belum pulang ya!?"
"Belum..."
Seketika rasa takut menghinggapinya.
Bagaimana cara mengatakannya, tentang orang yang dibawanya.
Takashi jadi bergetar.
Ia tak pindah dari tempatnya berdiri sambil melihat okaasannya yang tampak seperti biasa menyimpan sendalnya di rak lalu berjalan beberapa langkah untuk menginjakkan kakinya di atas keset sebelum naik ke lantai rumah. Takashi mendekat ke okaasannya.
Sampai okaasan menyadarinya.
"Kau kenapa masih disini?? Tolong siapkan pakaian kering untukku."
Okasan jadi sedikit merasa aneh, biasanya Takashi selalu sigap.
Takashi menunduk, ia menggigit bibirnya dan tangannya meremat tangan satunya.
"Okaasan, aku... aku membawa orang asing masuk ke dalam rumah."
Seketika mata okaasan melebar kaget.
Tsuzuku.
Langganan:
Postingan (Atom)