Sabtu, 20 September 2014

[FF] Relic 1

Title : Relic
Author: Sachi_ciel
Chapter : 1/?
Fandom: Alice Nine, OC.
Pairing : Devil king bersama tupai tercintanya.
Genre: AU, drama.
Rating: T
Disclaimer: Tora is mine.
*Yang percaya saya ucapkan terima kasih banyak*
(Dibakar idup-idup)




✩✩✩✩✩


Pukul empat sore.
Suasana rumah luas dengan pilar menjulang tinggi disetiap lorongnya dan lantai marmer yang mengkilap itu kini tampak sepi.

Hanya ada beberapa pekerja rumah tangga yang berlalu-lalang dilorong dan melewati sebuah ruangan yang kini sedang intai oleh seorang pemuda pirang.

Ia berdiri di dinding dekat pintu masuk, sambil memainkan sebuah game portable.

Pemuda itu balas menyapa seorang pekerja rumah yang sedang melintas itu agar tak dicurigai.

Begitu sang pekerja dirumah menghilang dibalik tikungan lorong, pemuda itu kembali bergerak.

Hiroto namanya. Ia sudah lama mengawasi ruangan itu.
Ruangan yang digunakan untuk beristirahat.
Ruang tidur dengan pintu besar berhiasan ukiran cantik dan megah.

Sekali lagi Hiroto mengedarkan pandangannya kesekitarnya, memastikan jika tidak ada orang yang melihat.

Ia memasukkan game portable-nya kedalam saku celana lalu menggenggam gagang pintu berbentuk silinder itu dan mendorongnya hingga daun pintu itu terbuka sampai batas ukuran tubuhnya bisa lewat.

Saat menutup pintu itu dengan pelan, Hiroto tanpa sadar berdiam diri didepan pintu, ia menelusuri tiap sudut ruangan itu. Ruangan yang baru pertama kali ia masuki.

kamar tidur yang luas, lebih luas dari kamar tidurnya.
banyak lukisan kuda menggantung ditiap dinnding. lukisan lapangan tempat pacuan kuda, kandang kuda, semua tentang kuda.

Ya, dia tahu ibunya -ibu tirinya lebih tepatnya- suka berkuda, tapi dia tak tahu bahwa ibu tirinya secinta ini pada kuda sampai memasang banyak lukisan tentang hewan itu.
Tapi bukankah ibu tirinya hanya suka berkuda saat ia muda dulu? karena setahu Hiroto saat ini ia tak pernah sekalipun melihat ibunya menunggang kuda. Bahkan ibu tirinya pun tak memelihara kuda padahal dirumah itu punya halaman cukup luas.

Cukup lama Hiroto memperhatikan tiap sudut kamar itu. Karena memang baru pertama kali ia masuk ke kamar itu.
Ibu tirinya selalu melarangnya masuk.
Jika Hiroto ada keperluan dengan ibunya ia hanya hanya bisa mengetuk pintu dan memanggil dari luar.

Dengan begitu ibu tirinya segera membuka pintu. Tersenyum melihat anaknya dan segera keluar dari kamarnya lalu langsung menutup pintunya rapat-rapat.
Setelah itu mengajak Hiroto pergi ke ruangan santai atau dimanapun ruangan di rumah itu asal bukan kamarnya untuk membicarakan apa keperluan Hiroto. Selalu seperti itu sampai akhirnya sekarang Hiroto masuk tanpa izin ke kamar ini. Karena ia memang harus melakukannya.

Ia harus mengambil buku yang diperintahkan mendiang ayahnya.
Buku yang diwariskan ayahnya sebelum meninggal beberapa bulan yang lalu.

Buku itu sebenarnya milik mendiang ibu kandung Hiroto yang meninggal lebih dulu dua tahun yang lalu.
Buku itu disimpan oleh ibu tiri Hiroto yang tak mengizinkan sama sekali Hiroto untuk melihatnya padahal Ayah Hiroto memberikan untuknya namun dengan cepat ibu tirinya mengambilnya, beralasan agar buku itu aman maka ia saja yang menyimpannya.

Pesan terakhir Ayah Hiroto adalah untuk mengambil buku itu bagaimanapun caranya.
karena itu sangat penting, untuk kehidupan masa depan Hiroto.


Satu lagi kalimat yang ayah Hiroto ucapkan ditengah-tengah ia hampir kehilangan suara dan tenaganya bahwa, "Jangan percayai ibu tirimu. Ambil buku itu dan kau akan tahu semuanya"


Tangisan Hiroto langsung pecah melihat ayahnya memejamkan mata untuk selamanya setelah mengucapkan kalimat itu.

Ia tak mengerti apa maksud ucapan ayahnya, yang ia rasakan saat itu hanya kesedihan kehilangan orang tercinta.

Sampai baru sekarang ia mempunyai kesempatan untuk meyelinap masuk ke kamar itu, karrna ibu tirinya sedang pergi jauh.

Suara orang berbicara yang lewat didepan pintu kamar itu membuat Hiroto terbangun dari sedikit ingatan masa lalunya.

Ia segera menggerakkan tubuhnya untuk mencari buku itu.
Sebisa mungkin tak membuat benda-benda lain bergeser dari tempatnya yang nantinya bisa membuat ibu tirinya curiga.

Hiroto membuka lemari yang sekiranya tak terkunci.
Seperti lemari tempat ibu tirinya menyimpan tas koleksinya.
Walau aneh menyimpan buku ditempat itu, tapi bisa saja dilakukan mengingat buku itu sepertinya sangat penting.
Bisa saja apapun yang tak mungkin dilakukan demi tak ditemukan sesuatu yang disembunyikan.

Tak menemukan benda yang dicari, Hiroto beralih ke buffet yang terletak didekat jendela.
Buffet tempat memajang beberapa hiasan cristal.
Hiroto membuka laci-laci yang ada pada buffet itu.
Ia juga belum menemukannya.
Hiroto tak boleh membuang-buang waktu.
Ia tak tahu kapan ibu tirinya pulang, bisa saja sekarang sedang diperjalanan pulang.
Dengan segera Hiroto pergi ketempat lain.
lemari pakaian.
Ia berdecak kesal menemukan pintu lemari pakaian itu terkunci.

Untuk sementara ia mencari pada meja kecil dekat tempat tidur.
Ia membuka sebuah laci pada meja kecil itu.
Beberapa kertas yang Hiroto tak mengerti kertas apa itu tersimpan dilaci tersebut.
Ia menyingkirkan tiap kertas yang sepertinya surat penting bagi ibu tirinya.
Sampai ia menemukan sebuah buku berkulit warna coklat dibawah kertas-kertas itu.
Hiroto mengambil buku itu dan langsung membukanya.
Nama ibunya langsung terpampang disana.
Hiroto terpaku tak percaya.
Inikah buku yang dimaksud ayah?
Ucapnya dalam hati.
Ia lupa bagaiman bentuk dan warna bukunya karena pada saat itu ibu tirinya langsung mengambilnya sesaat setelah Hiroto keluar dari kamar ayahnya dalam keadaan masih terisak tangis.

Keterpakuannya tak bertahan lama karena ia mendengar suara mobil diluar sana.
Hiroto langsung bisa mengetahui siapa yang datang.
Karena ia sudah hafal betul bagaiman suara mobil ibu tirinya itu.

Buru-buru Hiroto menutup buku itu, memasukkan buku itu kedalam bajunya agar orang lain tak meliahat.
Ia melongokkan sedikit kepalanya keluar, memastikan tak ada yang lewat.
Setelah memastikan ia langsung keluar dan cepat-cepat menaiki tangga menuju ke kamarnya.

Ia menutup rapat-rapat pintu kamarnya, menguncinya kali ini, tak seperti biasanya.

Dengan nafas yang terengah-engah ia mengeluarkan buku itu dari dalam bajunya.
Ia sangat takut ketahuan karena pada saat ia berlari tadi ia mendengar suara ibu tirinya yang sudah sangat dekat menuju kamarnya sendiri.

Namun sekarang ia cukup lega buku itu sudah berada ditangannya dan tak ketahuan.

Hiroto segera menuju meja belajarnya dan memposisikan dirinya dengan nyaman duduk di bangku tempatnya biasa mengerjakan tugas-tugas sekolahnya.

Ia kembali membuka buku itu, halaman pertama tempat nama ibunya tertera langsung ia lewati karena ia sudah melihatnya tadi dan juga tak sabar ingin cepat-cepat membaca isi buku itu.

Perasaan berdebar takut bercampur penasaran.

|| 4 mei
Aku menulis ini dalam keadaan masih terbaring di atas tempat tidur sehabis melahirkan buah cinta kami.

Hari ini momen yang sangat berharga, bagaimana bisa aku tak mencatatnya.
Aku bisa menyesal.
Denga sedikit kepayahan aku mencoba tetap menggenggam pulpenku dan memiringkan sedikit tubuhku walau terasa sedikit sakit untuk bisa menggoreskan tulisanku pada buku yang kuletakkan di atas kasur disamping kepalaku.

Hari ini anak kami lahir.

Aku sangat bahagia... dia bayi yang sehat dan manis.
Semua sudah menunggu kelahirannya.
Ayah, ibu dan pastinya juga suamiku.
___||


Hiroto begitu khitmat membaca tiap lembar dari buku diary milik ibunya.
Bahkan badannya tak bergerak se-senti pun saking ia larut dengan tulisan-tulisan itu.
Begitu beragam ekspresi yang ia timbulkan diwajahnya seiring ia membaca.
Takjub, haru, senang, sampai ia menemukan sebuah halaman yang sedikit ganjil karena ada selembar kertas kosong yang tak ada tulisan sama sekali.
Dibalik lembar kosong itu barulah ia menemukan kembali tulisan lain.
Tulisan tangannya agak berbeda, lebih kasar dan tak se-rapi tadi.
Mungkin lembar kosong tadi digunakan untuk pemisah karena ada orang lain selain ibu Hiroto yang menggunakan buku itu?
Benar saja Hiroto langsung melebarkan matanya begitu membaca barisan pertama dari halaman itu.
Tangal yang tertera adalah dua hari setelah kepergian ibu Hiroto untuk selamanya.

[Hiroto, Ayah menulis ini untukmu. Sudah tak ada waktu karena sepertinya ayah akan segera dijemput dewa kematian, tubuh ini sudah terlalu rapuh. Jadi Ayah berusaha menggerakkan pulpen sekuat tenaga ayah. Ayah harus menulisnya disini karena Ayah tak bisa mengatakannya langsung padamu. Kau tahu ibu tirimu sering melarangmu datang kekamar ayah dengan alasan agar ayah cukup istirahat dengan baik. Lagipula, penting untuk dicatat diatas kertas karena ayah takut kau akan lupa jika hanya diberitahu lewat lisan. Karena ini sangat penting.
Jadi,
kau harus membacanya ini sampai selesai.
___]


Namun sepertinya rasa penasarannya cukup sampai disitu dulu karena ia harus cepat menutup bukunya karena mendengar suara ibu tirinya yang ribut diluar sana.

Suara ibu tirinya yang lantang memarahi para pelayan.

"Bagaimana mungkin satupun diantara kalian tak ada yang melihat!?"

Astaga, apa aku ketahuan!? Seru Hiroto dalam hati.
Ia bangkit berdiri dengan panik begitu merasakan ibu tirinya berjalan mendekat kekamarnya.
Ia mencari tempat dimana bisa ia sembunyikan buku itu tanpa ketahuan.
Ia menoleh kesana-kemari dengan bingung sampai tak sempat lagi ia menyembunyikan buku itu dan akhirnya melemparnya dibawah kolong tempat tidur didekat kakinya saat ibu tirinya mengetuk pintu kamarnya.

"Hiroto!?"

"Y...ya!?"

Sialnya ia gemetaran.
Hiroto menarik nafas lalu menghembuskan nafasnya mencoba untuk menenangkan diri.

"Kau sedang apa, bisa buka pintunya sebentar?"

"Ya, tentu..."
Ia berusaha agar suaranya tak gemetar.
Sebelum melangkah menuju pintu ia menyempatkan diri untuk mengambil beberapa buku di rak dengan cepat dan sengaja membukanya diatas meja belajarnya.

Saat pintu dibuka tampak sosok ibu tirinya yang angfun tersenyum padanya, tanpa basa-basi langsung ibu tirinya melangkah masuk.
Membuat debaran jantung Hiroto makin kencang karena saat ini ia sungguh takut aksinya ketahuan.

"Sedang apa kamu!?"
Sambil berbicara, Hiroto tahu mata ibu tirinya itu menelusur keseluruh ruang kamar nya.
Ia tahu ibu tirinya mencari sesuatu.
Sepertinya ia dicurigai, itu sudah pasti 'kan.

Hiroto mengikuti langkah ibu tirinya lalu mendahuluinya, ia berhenti tepat disamping tempat tidur dimana ia melempar buku diary itu tadi. Untuk melindungi buku itu tentunya.

"A..aku sedang membaca buku."
Hiroto menoleh kesamping kirinya melihat meja belajarnya dengan sedikit menunjuk ke arah tempat itu bermaksud membawa pandangan ibu tirinya juga terarah kesana.
Saat mata ibu tirinya mengikuti arah telunjuknya, secepat kilat Hiroto melihat kebawah sebelah kanannya untuk melihat keadaan buku diary itu.
Sialnya sudut buku itu agak keluar dari kolong tempat tidur yang bisa sangat terlihat jika mata ibu tirinya mengarah ke bawah, apalagi saat ini ibu tirinya memang mencari buku itu, pasti pandanganya lebih teliti sekarang.
Belum sempat kaki Hiroto bergerak hendak mendorong buku itu agak kedalam lagi, ibu tirinya sudah kembali menoleh padanya.
Hiroto sampai bergidik ngeri melihat mata ibu tirinya yang tiba-tiba menajam namun masih dalam keadaan ia tersenyum.

"Hiroto, kau tak menganggap ibu sebagai ibu tiri kan?? Kau tahu ibu merawatmu sejak ibumu meninggal dengan penuh kasih sayang layaknya ibu kandung? Ibu sudah menganggapmu sebagai anak ibu sendiri. Pernahkah ibu menyakitimu!?"

Pertanyaan itu sungguh aneh, tidak, atmosfer dikamar itu memang sudah aneh dengan gelagat ibu tirinya juga yang sudah aneh.

"Apa maksud ibu? T..tentu saja ibu tak pernah menyakitiku. Ibu merawatku dengan penuh kasih sayang seperti ibu kandung sendiri."

Memang benar ibu tirinya merawatnya dengan baik dan penuh kasih sayang kepadanya, namun sejak ia mendengar ucapan terakhir dan kenyataan yang baru ia lihat sendiri, ia merasa seperti ada yang menjanggal dihatinya, ia seperti merasa sedikit meragukannya.

"Kalau kau merasa ibu memang baik, kenapa kau mengkhianati kebaikan dan kasih sayang ibu padamu!?"

Hiroto tersentak bingung, arah kemana pembicaraan ini!
Ibu tirinya melangkah mendekat dengan senyum masih mengembang di wajahnya.


"Hiroto, kau masuk ke kamar ibu sayang?"
Hiroto terkesiap, pertanyaan yang to the point. Ia gagap untuk menjawab.

"Buku itu sangat penting untuk ibu ah, untuk kita juga. kau belum menbacanya 'kan sayang? um.. maksud ibu, kau belum perlu membacanya sekarang"

"S..sedikit... aku sudah membacanya sedikit" Enatah kenapa ia tak bisa berbohong. Ia takut.

"Sedikit, maksudmu baru di awal?"

Hiroto mengangguk.
Sekikas ia melihat ibu tirinya seperti menghela nafas lega.
"Sekarang, bisa kenbalikan buku itu pada ibu? Ibu tak akan marah karena Hiroto sudah lancang masuk ke kamar ibu asalkan kembalikan buku itu pada ibu."

Ibu tirinya mengulurkan tangannya dan tersenyum begitu lembut menunggu Hiroto memberikan buku itu.

Hiroto terdiam, membuat ibu tirinya kembali meminta dan wajahnya agak memelas.

Hiroto membungkukkan tubuhnya, tangan kanannya menjulur kebawah tempat tidur dan mengambil buku itu.

Seketika itu wajah sang ibu tiri kembali sumringah.
"Hiroto, ayo berikan pada ibu."

Hiroto menahan bukunya ditangannya, ia memandang buku itu, tak memberikannya.

"Hiroto?" Ibu tirinya masih dengan sabar memintanya.
Ia melangkah maju.

Hiroto yang dalam keadaan was-was melangkah mundur, ada keraguan besar melingkupi hatinya. Ibu tirinya tampak mulai geram.

"Hiroto, berikan pada ibu sayang, kau tak memerlukan buku itu, kau tahu saat membacanya di awal 'kan, itu hanya buku diary ibu kandungmu. Sebagai sahabatnya, ibu hanya ingin menyimpan buku itu dengan baik."

"Tapi ayah bilang buku ini diwariskan untukku, buku ini sangat penting"

"Tentu saja itu sangat penting. Sebagai kenang-kenangan, maka biar ibu yang menyimpan saja, oke?"

"Ayah bilang, aku harus mengambilnya dari ibu."

Seketika urat-urat diwajah sang ibu tiri menegang. Matanya seperti mengobarkan api.

"Kembalikan buku itu cepat!!"
Ia tak lagi tersenyum lembut.
Menbuat Hiroto makin yakin bahwa ia tak boleh memberikan buku itu pada ibu tirinya.
Ia mundur menjauh, namun ibu tirinya melangkah maju dengan menghentak penuh emosi.
Ia paksa mengambil buku itu dari tangan Hiroto.

"Kau sudah berani melawan!!"

"Tidak!! Jangan ambil buku ini!!"

Tanpa mendengarkan permintaan Hiroto, ibu tirinya terus memaksa mengambil buku itu.
Begitu pula Hiroto yang harus tetap melindungi buku itu agar tak jatuh ketangan yang salah.
Dengan kekuatan penuh ia menarik dengan kuat buku itu sampai terlepas dari tangan ibu tirinya lalu mendorong ibu tirinya sampai mundur selangkah. Hiroto berlari keluar kamar.
Ibu Hiroto yang panik langsung mengejarnya, namun ia tak sanggup untuk mengejar, seorang wanita dengan rok supan akan sulit berlari.

"Takano! Ken!"
Ia mamnggil para petugas pria dirumah itu, namun karena para petugas sedang tak ada ditempatnya, ia buru-buru mencari ditempat lain.

"Takano!!!"
Ia mengencangkan suaranya, wajah nya sudah begitu merah saking ia sangat marahnya.
Seorang pelayang datang tergesa-gesa menghampiri sang nyonya yang terlihat sangat panik.

"Ada apa nyonya!!?"

"Suruh Takano dan Ken untuk mengejar Hiroto. cepat! dia melarikan diri!"

"Hiroto-kun, ada apa denganny-"

"Jangan banyak tanya! Cepat temui mereka dan suruh yang lain juga ikut mengejar, cepat!!!"

"B..baik!"

Pelayan itu pun pergi keluar, menemui kedua orang yang diperintahkan majikannya. Ternyata mereka sedang ada didekat pintu pagar, terlihat sedang membantu membetulkan besi pagar yang copot.

Hiroto tiba didepan pintu gerbang besar rumahnya yang langsung disapa oleh mereka yang tak tahu apa-apa.

"Hiroto-san anda mau kemana? Kenapa terburu-buru...."

"Maaf Takano-san, aku terburu-buru...."
Jawab Hiroto keluar dari gerbang dan berlari kencang, sebelum mereka ditugaskan untuk mengejarnya Atau memang sudah diperintahkan, Karena saat keluar pagar ia sempat melihat seorang pelayang berteriak menyuruh Takano-san dan yang lain untuk mengejarnya.

Beberapa saat kemudia segerombolan pekerja laki-laki yang bertugas didalam rumah menyusul ke gerbang.

"Memangnya kenapa dengan Hiroto-san?"
Tanya Takano bingung, karena baru kali ini terjadi hal seperti itu. cukup membuat mereka merasa aneh.

"Dia mau kabur dari rumah! Cepat kita kejar!"

Hanya itu yang bisa mereka pikirkan.
Karena mereka sama sekali tak tahu apa yang terjadi, maka menerka sendiri apa yang sekiranya sering terjadi dan mereka lihat dikehidupan rumah tangga dengan seorang ibu tiri, walau mereka ragu ibu tiri Hiroto punya sifat kejam seperti ibu-ibu tiri yang sering diceritakan.

Hiroto jarang lari pagi, dia hanya bermain sepeda mengintari lorong-lorong dekat rumah jika sedang ingin saja.
lari pagi untuk berolah raga sangat jarang ia lakukan.
oleh sebab itu kini ia sudah merasa lelah dan hampir tersandung batu karena kaki tak sanggup lagi berlari. Ia berhenti, menyandarkan tubuhnya pada tembok pagar rumah orang untuk menghirup udara sebanyak-banyaknya.

Namun karena ini dalam keadaan bahaya, maka ia tak boleh berlama-lama untuk istirahat. Ia harus memaksakan diri menjauh sejauh mungkin dari kejaran para petugas dirumahnya.

Ia tak boleh menyerahkan buku itu pada ibu tirinya sebelum ia membaca sampai halaman terakhir buku itu.

Nafasnya mulai tersenggal-senggal.
Bagaimanapun ia tak mungkin sanggup terus berlari sampai pagi bukan?
Namun disisi kenyataannya ia harus tetap berlari.
Ia tak sadar sudah berlari jauh sampai ke daerah pertokoan.

Hiroto menjatuhkan tempat sampah yang ada dideretan belakang toko ke tengah jalan, Ia pernah melihat aksi seperti ini di film dan ia menirunya. Bertujuan agar sedikit menghalangi para petugas rumah yang mengejarnya kini semakin dekat seiring langkahnya yang melambat karena tenaganya yang hampir habis.
Terbukti itu berhasil.

Hiroto kembali menjatuhkan tempat sampah yang ia temukan sambil dalam hati meminta maaf pada semua pemilik toko yang tong sampahnya ia buat acak-acakan.
Karena ia tak bermaksud seperti itu sebenarnya.
Ia menjatuhkan satu lagi tong sampah hingga membuat kucing yang sedang menungging kedalam tempat sampah untuk mencari makanan melompat kaget.

Jika ia tak dikejar oleh mereka, Hiroto tak mungkin melakukan itu.

Ia menoleh kebelakang untuk sebentar melihat keadaan kucing itu yang ternyata baik-baik saja.
Saat ia kembali menoleh kedepan ia kaget karena jalan didepannya tertahan oleh pembatas buatan dengan papan peringatan 'jalan berlubang'. Jika ia tak melihat tadi mungkin ia sudah jatuh terperosok kedalam lubang itu.
Jalan lain satu-satunya hanyalah melewati tikungan itu.


Terlihat didepan sana ada jalan bercabang. Hiroto melihat salah satunya agak sempit karena masih memasuki deretan belakang pertokoan. Dan satunya sepertinya jalan yang tembus ke taman kota.
Ia memilih harus sampai pada lorong yang sempit itu.
Mungkin lorong yang sempit akan sedikit kesulitan dikejar oleh orang dengan jumlah banyak.
Dan ia harus segera sampai di lorong itu sebelum para pelayannya melewati tikungan dan melihatnya berlari ke salah satu lorong.

Karena jika ia berhasil masuk ke salah satu lorong tanpa dilihat oleh mereka, maka itu akan sedikit membuat mereka bingung lorong mana yang Hiroto lewati bukan?

Hiroto menghentikan langkahnya sesaat. Ia membungkuk menarik nafas dalam-dalam.
la benar-benar kehabisan tenaga.
Rasanya menarik nafaspun ia tak sanggup lagi.
Tapi ia tak boleh berlama-lama berdiri, karena suara derap langkah kaki mereka kembali terdengar. Sepertinya mereka menemukan lorong yang Hiroto gunakan atau mereka membagi dua tim mereka? Hiroto tak tahu. Yang terpenting sekarang hanya lari.
Ia sedikit kesal kenapa tak ada tempat bersembunyi yang pas ditempat ini.
Kakinya perlu segera beristirahat.

"Awas!!!"

"Auuw... sakit..."

Buku diary ibu Hiroto terjatuh ke tanah, Hiroto memegang pantatnya yang sakit karena membentur tanah, ia jatuh terduduk.

Tiba-tiba saja tadi saat ia sedang berlari sebuah pintu belakang toko terbuka dan ia tak bisa menghindari orang yang membuka pintu untuk tak ia tabrak karena ia dalam keadaan berlari dengan tenaga penuh.

"Maaf, aku tak sengaja, aku buru-buru-"
Tiba-tiba saja Hiroto menghentikan ucapannya, matanya melebar. Seperti sebuah ide muncul dibenaknya.

Hiroto mengedar matanya ke tanah mencari buku diary ibu nya, beruntunh tak jauh terjatuh.
Ia memberikan buku itu pada orang yang ditabraknya.

"Tolong sembunyikan buku ini dari orang yg mengejarku dibelakang, jangan beritahu mereka, kumohon!"

"Hei, orang yang dibelakang apa maks-"

Seketika pertanyaan orang itu terjawab begitu melihat beberapa orang berlari mengarah ketempatnya, ia langsung mengambil kotak kardus yang berisi sampah plastik bekas pembukus buku yang hendak ia buang tadi namun terjatuh ke tanah karena insiden kecil barusan. Ia memasukkan buku titipan Hiroto kedalamnya dan melangkah mendekati bak penampungan sampah berpura-pura ingin membuang sampah.

"Hiroto-san berhenti!! Kami mohon berhentilah!"

Laki-laki yang sedang berpura-pura membuang sampah itu memperhatikan tiap orang yang sedang berlari melewatinya untuk mengejar Hiroto.

Ia berpikir siapa anak tadi, dan ada masalah apa?? Kenapa dia dikejar-kejar.

Laki-laki dengan apron khusus penjaga toko buku dan nametag Shou Ohara yang menempel di sebelah dada kirinya melihat ke arah buku itu.

"Diary?"
Gumamnya.
Shou kebingungan. Namun sepertinya ia tak akan mendapat jawaban apapun atas kebingungannya jika sang pemilik buku tak ada didepannya.

Maka ia hanya perlu menyimpan buku itu baik-baik sampai sang pemilik buku kembali datang untuk mengambilnya, jika ia tak lupa, mungkin.

Shou tak perlu sembunyi-sembunyi membawa buku itu masuk kedalam, karena orang-orang didalampun berkutat dengan buku.
bahkan lebih banyak buku lagi.
Karena tempatnya bekerja memang Toko buku.
Orang-orang sedang sibuk dengan tugas masing-masing.

Hiroto menoleh kebelakang lalu memperlambat langkah kakinya sampai perlahan ia berhenti sama sekali.
Jaraknya dari tempat ia menitipkan bukunya sudah cukup jauh, dan ia merasa sudah aman untuk itu.
Ia membungkuk dengan tangan yang menopang pada dinding tembok pagar.
Suara tarikan nafasnya begitu kencang terdengar, nafasnya benar-benar habis. Dadanya sampai terasa sakit.

"Hiroto-san!!"

Para pekerja dirumahnya mendekat. Mereka langsung memegang tangan Hiroto agar tak kabur, padahal Hiroto memang tak mau kabur lagi. Ia merasa bukunya sudah aman untuk saat ini.

"Kenapa anda kabur? Anda harus kembali ke rumah..hh..hh. "
Merekapun sama lelahnya. Mereka juga bernafas tersenggal-senggal.

Hiroto tak memberontak dan hanya mengikuti para pekerja dirumahnya untuk membawanya pulang.



Tsuzuku...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar