Title: Brother relationship
By: Sachi, Sachi_ciel
Chapter : 9/?
Fandom: Alice Nine, OC.
Pairing(s): Tora x Saga, Shou x Saga, ShouxHiroto.
Genre: AU, Drama gaje, ancur-ancuran, crack gagal.
Rating: T
Disclaimer: Tora is mine.
*Yang percaya saya ucapkan terima kasih banyak*
(Dibakar idup-idup)
Note : ga yakin beneran sama chap ini. Asal ketik ga ada isinya. Entahlah, otak lagi buntu.
*..*..*..*
"Apa-apa'an penampilan kalian itu!?"
Ketiga mahkluk yang baru turun dari kamar tadi saling menatap satu sama lain, mereka hanya terdiam.
"Shou, kau mau menjadi badut!?"
"Tidak!! Itu ulah Tora!"
"Apa!? Awalnya 'kan gara-gara kau!"
"Ulah kalian berdua!!"
Bentak Saga terakhir membuat Tora dan Shou terdiam.
"Haah... baiklah, anak-anak, makan nasinya, nanti akan mama belikan buku mewarnai untuk kalian."
"Memangnya kami anak TK!?"
"Lho, bukannya iya!? Lihat saja Hiroto-kun yang jauh lebih muda dari kalian, tetapi dia bisa tenang tidak seperti kalian."
Ketiganya menoleh pada sosok yang sedang dibicarakan, sedang makan dengan santai menikmati tiap suapan nasi yang masuk kemulutnya sendiri.
Tora mendengus, Shou dan Saga menunduk malu.
Merekapun mengambil piring dan meletakkan makanan didalam piring mereka masing-masing.
Suasana di meja makan pun berjalan normal, tak ada yang berani lagi membahas keributan tadi.
*.*.*.*.*.*
"Kita harus bicara!"
Shou menarik sebelah alisnya ke atas, mendapati Tora berdiri didepan kelasnya; menunggunya.
"Bicara apa!?"
"Sudahlah, kau ikut aku! Kita cari tempat yang nyaman untuk berbicara."
Shou mengikuti saja walau tampak bingung, dan karena kebingungan itulah ia mau ikut Tora untuk menemukan jawabannya.
Jika tidak bingung-bingung amat mungkin dia enggak ikut.
Mereka menuju ke sebuah cafe yang sudah disepakati beberapa saat lalu melalui rapat pleno. Mereka memutuskan pergi dengan kendaraan masing-masing, karena tak mungkin salah satu dari mereka meninggalkan kendaraan di kampus, akan jadi sangat merepotkan bagi mereka waktu pulang nanti harus kembali lagi ke kampus menggambil salah satu kendaraan yang ditinggal.
Mereka memesan makanan, semua Tora yang bayar karena ia yang mengajak dan itu tak masalah baginya.
Karena orang didepannya lebih punya masalah besar untuknya.
"Kau menyayangi Saga lebih dari sebatas saudara 'kan?"
"Uhuk!!"
Shou sampai terbatuk karena ucapan Tora yang tiba-tiba itu.
Ia buru-buru mengambil gelas minumannya dan menenggak isinya untuk meredakan batuknya.
"Apa maksudmu!!?"
"Jangan pura-pura. Kasih sayangmu terhadap Saga itu berbeda, perlindunganmu terhadapnya berbeda, kau memandangnya berbeda juga."
Shou tampak terpojok.
Namun sebenarnya ia tidak se-terpojok itu, ia hanya memasang wajah seolah sangat terpojok. Karena ia juga tahu sesuatu tentang Tora.
"Kau juga begitu 'kan? Kau menyukai Saga!"
Shou langsung mengatakan dengan to the point.
Karena penjelasannya juga sama seperti apa yang dijelaskan Tora barusan.
Shou tersenyum miring, ia merasa tak kalah karena bukan hanya ia yang salah disini.
Tetapi lawannya juga.
Tora meremat gagang garpunya begitu erat. Ia menatap tajam pada Shou yang tersenyum penuh rahasia.
"Ternyata, benar kau punya perasaan seperti itu juga. Aku benar-benar terkejut. Sudah lama aku berpikir kasih sayangmu dan sikap melindungimu itu punya tujuannya."
"Jangan berkata seolah-olah kau tidak melakukan hal yang sama, Shou!"
"Ah, ya kau benar!"
Shou tersenyum sambil melipat tangannya didepan dada.
Ia tak punya nafsu makan lagi semenjak perbincangan mereka dirasa sangat serius.
"Tapi sepertinya sebentar lagi aku akan menghentikan semua ini. Semua yang ku lakukan sepertinya akan sia-sia. Karena kau tahu, Saga menganggap kita tak lebih dari seorang kakak sepupu."
"Ah, apa ini strategimu untuk menyingkirkanku? Membuatku sepaham denganmu lalu aku juga ikut menyerah sama sepertimu.
Kau tahu Saga bukan sepupu asli kita bukan?"
Tora membelalakkan matanya sangat terkejut.
Panggilan mata elang buatnya kini berubah jadi mata sapi.
Namun mata sapi nya tak berlangsung lama.
Seketika matanya berubah tajam kembali dengan tangan menggenggam erat gagang garpunya.
Ia menggenggam sangat erat kali ini hingga rasanya garpu itu akan patah.
"Kau tahu tentang itu!?"
Ucapan Tora terdengar gemertak oleh gigi-giginya yang beradu.
"Memangnya hanya kau yang diberitahu? Kau PD sekali Tora, ibuku dan ibumu itu saudara kandung. Jika kau mendapatkan berita itu dari ibumu, maka aku jug mendapat berita itu dari ibuku yang ibuku mendapat berita tersebut dari ibumu."
"Cih, kita saudara Shou, jadi aku tak mau kita melakukan hal konyol dengan berkelahi. Tapi! Aku tetap akan melakukan apapun untuk mendapatkan Saga. Aku tak akan menyerah."
Tora menatap Shou penuh bara api.
"Begitu juga denganku, Tora~"
"Cih!"
Tora mengeluarkan beberapa lembar uang dan meletakkannya di atas meja.
Setelah itu ia melangkah meninggalakan cafe itu.
"Aku duluan."
"Okee..."
Shou mengangkat satu tangannya sebagai tanda salam perpisahan untuk Tora yang pulang duluan. Ia kembali memegang sendoknya dan kembali memakan makanannya yang sudah agak dingin itu sambil tersenyum sendiri menatap ke atas meja.
***
Saat ini rumah Shou lumayan sepi.
Para penghuninya sedang pergi keluar.
Shou di kampus, ibu Shou sedang pergi bersama temannya ntah ada keperluan apa, ayah Hiroto pergi mengurus kepindahan sekolah Hiroto ke sekolah yang baru; kalau Hiroto tak salah dengar tadi atau ia memang lupa karena tak terlalu mempedulikan ayahnya pergi kemana. Dan tinggallah ia sendiri dirumah itu.
Namun Hiroto tak merasa keberatan, karena ia memang lebih suka ditinggal sendiri.
Karena dengan begitu ia lebih leluasa bermain game tanpa ada yang mengganggu.
Seperti yang ia lakukan sekarang, duduk disofa ruang tamu dan bermain game dengan khidmat tanpa menoleh ke arah lain sedikitpun.
Hanya ada dua pekerja rumah tangga yang mereka juga sibuk dengan pekerjaan mereka sendiri dibagian-bagian lain rumah itu.
"A..aaa!! Sedikit lagi... aduh!!"
Hiroto menghempaskan tangannya yang sedang memnggenggam game portable-nya kesamping sofa.
Sepertinya ia baru saja kalah main game.
Ia menyandarkan punggunggnya ke sandaran sofa sambil matanya menatap benda apapun yang ada dihadapannya.
Rasa bosan sepertinya sedang perlahan mulai mendatanginya.
Tanpa sengaja ia melihat sebuah foto yang besar terpajang di salah satu dinding.
Foto keluarga Shou.
Tiba-tiba Hiroto memperhatikan foto Shou, yang posisinya berdiri disamping ibunya yang duduk di kursi.
Shou tersenyum sangat manis, wajahnya tampan.
Makin lama di pandang entah kenapa membuat pipinya jadi panas.
"Ch! Sok tampan!"
Cepat-cepat Hiroto memalingkan wajahnya.
Tanpa terduga saat Hiroto memalingkan wajah ke arah pintu dan Shou muncul disana;baru pulang kuliah.
"Hei, Hiro-"
Sontak Hiroto kaget dan memalingkan lagi wajahnya ke arah lain, membuat Shou jadi gagal untuk menyapanya.
Namun Shou sepertinya tak marah, ia pikir memang sifat bocah itu seperti itu. Mungkin karena ia masih malu-malu. Shou berjalan ke tempat Hitoto ia berhenti dibelakang sofa tempat Hiroto duduk dan mengajaknya bicara.
Ia mencoba mengakrabkan diri, mungkin lama-lama Hiroto tak malu lagi jika sudah akrab.
"Sepertinya kau bosan ya sendirian dirumah. Ah, pasti bosan. Mau main denganku?"
Hiroto cepat-cepat mengambil game portable yang ia lempar disampingnya tadi dan memainkannya.
"Siapa bilang bosan, aku asik main game kok!"
Ia membuat gestur seolah-olah sedang sibuk dengan game-nya.
"Hoo... kau lebih suka main game portable ya, padahal aku mau mengajakmu main game PS4. Yasudah kalau tidak mau."
Shou pergi dari tempat itu dan menuju ke kamarnya.
Seketika tubuh Hiroto membatu, matanya terbelalak dengan mulut menganga.
PS4!!! Game yang sangat diinginkan namun belum dibelikan ayahnya karena masih sibuk mengurus kepindahannya.
Lagipula ayahnya masih berpikir dua kali untuk membelikan game itu karena harganya masih sangat mahal karena baru rilis.
Ia masih sangat ingat apa kata ayahnya yang membuatnya nyesak di dada.
"Tunggu beberapa tahun lagi saat harganya sudah sedikit menurun baru ayah belikan, "
Kalimat itu sungguh membuat hati Hiroto pecah berkeping-keping.
Dan kini saat ada yang mengajak main malah ia menolak.
"Huaaaah!!!"
Hiroto menjatuhkan diri ke sofa meraung meratapi hatinya yang gregetan ingin main game PS4.
Dia membayangkan saat ini pasti Shou sedang asik main game tersebut.
Sampai tanpa sadar akhirnya ia tertidur karena sebenarnya sedari tadi dia bosan dan suntuk, jadilah saat terbaring sebentar ia langsung rertidur.
Kenyataannya Shou sedang tak main game itu, seperangkat benda itu masih terpajang rapi di dalam kamarnya.
Shou sedang mandi saat ini, kebiasaan umum orang lakukan saat lelah baru pulang dari suatu tempat.
Ia tak mendengar saat ponsel yang ia letakkan di atas meja belajarnya berdering.
Beruntung saat ia keluar kamar mandi ponsel itu masih bebunyi.
Shou butu-buru berjalan ke meja nya lalu mengangkat panggilan itu yang ternyata saat dilihat nama yang tertera adalah nama Saga.
"Halo, Saga ada apa!?"
"Shou-nii bisa temani aku ke toko buku sebentar!?"
Tanpa berpikir panjang Shou langsung menerimanya, kesempatan emas, mana mungkin ia menolak.
"Oh, tentu. Kapan!?"
"Sekarang bisa!? Aku tunggu didepan kampus."
"Baiklah, tunggu disana aku akan datang menjemputmu."
"Baiklah, terima kasih Shou-nii"
Sambungan telepon pun terputus.
Shou dengan wajah sumringahnya buru-buru menyiapkan diri.
Ia merasa sepertinya lebih unggul dari Tora dalam hal mendapatkan Saga.
Karena Saga pun sepertinya lebih nyaman dekat dengan Shou.
Karena tahu sendiri, Tora itu sering membuat Saga sebal walau tujuannya baik namun caranya sering membuat terganggu karena suka menggodanya ditambah sikap berandalnya.
Tak berapa lama kemudian Shou selesai bersiap-siap.
Ia tinggal mengambil dompet dan ponselnya lalu keluar dari kamar.
Saat turun dari kamar ia melihat Hiroto terbaring terlungkup di atas sofa.
Ia keherananan.
Shou mendekat untuk memastikan apakah bocah itu tidur atau tidak.
Yang ternyata Hiroto sudah jauh pergi ke alam mimpinya.
"Kenapa tidur disini!?"
Gumam Shou sambil melihat kesekeliling.
-
Setelah memastikan Hiroto terbaring nyaman ditempat tidur, Shou menutup pintu kamar itu; kamar tamu yang digunakan Hiroto dan ayahnya saat menginap dirumah Shou.
Shou lalu kembali ke tujuan awalnya untuk pergi menemani Saga ke toko buku.
*..*..*..*
Shou tiba di depan kampus Saga, ia langsung menemukan Saga yang sudah berdiri didepan pintu gerbang.
Ia membuka kaca pintu mobil dan memanggil Saga yang tak menyadari kehadiran Shou karena ia sedang berpaling ke arah lain.
"Saga!!"
Saga menoleh dan ia langsung melihat Shou, ia menuju mobil Shou.
Merekapun berangkat ke toko buku.
Kira-kira tiga puluh menit kemudian mereka tiba di daerah shinjuku.
Memarkirkan mobil dan berjalan kaki menuju toko buku.
"Mau mencari buku apa!?"
Shou membuka pembicaraan sambil mereka berjalan santai.
"Etoo... Buku.... aku lupa, ada beberapa buku yang harus dibeli, ada daftarnya dikertas."
"Hmm... setelah dari toko buku ada pergi ketempat lain?"
"Ng, tidak."
"Sou, nanti mau makan? Niichan yang traktir.."
"Makan!? Tentu saja mau. Kenapa pakai bertanya segala..."
"Ahahah... sesaat niichan seperti lupa kalau kau itu suka makan."
Hiroto mengerutkan keningnya, ia mengangkat satu tangannya untuk mengucek matanya.
Perlahan matanya terbuka sempurna. Membiasakan matanya sebentar untuk menerima sinar lampu dan tiba-tiba ia pun terlonjak kaget sampai terbangun duduk.
"Hah? Kenapa disini!? Bukannya tadi di sofa!?"
Hiroto terdiam mengingat-ngingat kalau ia benar-benar di sofa tadi, ia tidak berjalan ke kamar dan melentangkan diri di kasur ini.
Lalu siapa yang mengangkatnya ke kamar?
"Shou!?"
Tiba-tiba saja nama itu keluar dari mulutnya.
"Ah, kenapa dia? Tidak, tidak, tidak mungkin dia. Ada orang lain dirumah ini selain orang sok ganteng itu. Yah, walapun tadi hanya terlihat ia yang mondar-mandir dirumah. Tapi pasti ada orang lain, Mungkin saja paman tukang kebun atau bibi didapur, atau mungkin tadi ayah pulang dan mengangkatku ke kamar lalu ia pergi lagi. Ya, pasti begitu."
Hiroto jadi sibuk sendiri memikirkan siapa yang memindahkannya ke kamar.
Entah kenapa ia pun heran.
Sampai akhirnya ia menyerah.
Karena tetap ia tidak akan tahu jika tidak diberi tahu atau ia yang bertanya.
"Argh! Terserah siapapun. Yang pasti bukan dia!"
Ia melihat jam sudah sore.
Ia memutuskan untuk mandi saja.
Otaknya bisa pecah jika memikirkan hal yang tak penting begitu berpputar-putar dalam otaknya.
Tinggal ia tanya saja maka akan terjawab siapa yang mengangkatnya, mudah saja bukan.
Tapi kira-kira ia harus tanya sama siapa?
"Oh, baiklah, akan kutanyakan pada orang didapur saja."
Dengan begitu Hiroto mandi dengan sedikit tenang.
Selang beberapa saat ia pun selesai berbenah diri.
Ia keluar kamar dan kembali ke ruang tamu.
Game portable-nya tertinggal disana.
Kebetulan yang pas, ada seorang wanita paruh baya pengurus rumah yang lewat, ia mau langsung bertanya.
Namun agak ragu karena merasa pertanyaannya sedikit tak penting.
"Anouu.... bibi tadi lihat siapa yang memindahkanku ke kamar!?"
Kening wanita itu tampak berkerut.
"Ng.. Memindahkanmu? Memindahkan bagaimana!?"
Oke, dari pertanyaannya balik sudah jelas kalau wanita itu tak melihat.
"Ah, tidak, tidak jadi bi, terima kasih."
Hiroto pergi ke luar di taman samping rumah tersebut.
Ia duduk di kursi saat pertama kali ia tiba di rumah ini.
Lagi-lagi ia hanya bisa memainkan game portable-nya.
Tiba-tiba ia teringat saat Shou mengajaknya bermain game PS4 yang langsung ia tolak.
Ia begitu menyesal kenapa ia menolak, salahkan mulutnya yang mengeluarkan ucapan itu tanpa kontrol, tapi memang sudah seperti itu sifatnya.
Jadi ia mencoba untuk sebisa mungkin tak menyesal, ia akan mencoba memintanya sekali lagi pada ayahnya nanti.
Tapi ngomong-ngomong kemana Shou?
Hiroto melongokkan kepalanya kedalam, kebetulan kursi yang ia duduki dekat pintu.
Ia tak melihat Shou berkeliaran dirumah dari ia keluar kamar tadi.
Apakah didalam kamar?
Jiwa remaja labilnya tak bisa dihindari, bagaimanapun ia tetap penasaran dan sangat ingin melihat benda yang sudah sangat di inginkannya.
Walau tak bisa memegang paling tidak ia ingin melihatnya dulu.
Maka di otak remaja labilnya muncul sebuah rencana untuk ke kamar Shou melihat game tersebut. Melihat secara nyata bukan hanya di TV atau majalah game.
Hiroto kembali masuk ke dalam rumah, ia menuju tangga ke lantai dua dan menaikinya.
Ia langsung tahu yang mana kamar Shou karena waktu itu pernah datang ke depan kamar itu.
Hiroto menempelkan telinganya ke pintu kamar Shou memastikan terlebih dahulu apakah Shou ada didalam atau tidak.
Hiroto merasa tak ada suara apapun didalam.
Ia memutar gagang pintu itu lalu membuka pelan pintu kamar Shou dan mengintipnya sedikit.
Saat tampak seperangkat game PS4 yang terpajang rapi Hiroto seperti tak terkontrol membuka lebar pintu itu dan memandang takjub pada benda itu.
"PS empaat~"
Wajahnya tampak seperti ingin merengek.
Mungkin jika ayahnya ada disitu ia sudah merengek-rengek pada ayahnya.
"Keren sekali...."
Gumamnya dengan nada memelas.
Ia menutup pintu itu.
Melihatnya terlalu lama membuat Hiroto makin ingin menyentuhnya, menyalakan lalu mainkannya.
Ia memutar badan dengan lesu lalu perlahan berjalan menuruni tangga.
Ternyata ada seseorang yang baru menaiki tangga.
Saat Hiroto mengangkat wajahnya ia melihat Ibu Shou didepannya.
"Hitoto!? Shou ada dikamar!?"
"Eh? Bibi Mai? S..spertinya tidak."
"Oh... belum pulang ya,"
"Anou.. Ayah sudah pulang?"
"Ah, sudah, ada dibawah diteras samping."
"Oh, Aku ke sana dulu bibi Mai..."
"Ya, Bibi juga mau turun lagi, kupikir Shou ada dikamar."
Ibu Shou menuruni tangga pelan karena ia sedang sibuk memegang ponselnya, sepertinya mau menelfon Shou.
Hiroto berlari ke teras samping, tempat ia juga duduk beberapa saat yang lalu sebelum pergi ke kamar Shou.
Ayahnya sedang duduk menikmati secangkir teh hangat untuk melepas lelahnya seharian mengurus surat kepindahan Hiroto di sekolah barunya.
"Ayah!?"
"Oh, Hiroto...sini duduk."
Hiroto menuruti ayahnya, ia melangkah ke kursi satunya di samping ayahnya.
Belum sempat ia mengucapakan keinginannya untuk segera dibelikan game PS4, ayahnya mendahuluinya.
"Surat kepindahan sekolahmu semua sudah beres. Disana ada asramanya juga. Ayah sudah memasukkanmu di asrama karena kau bilang tak mau tinggal di sini."
"Ha? Jadi aku sudah dimasukkan ke dalam asrama!?"
"Iya, karena kau bilang kau mau tinggal di apato saja, itu berarti tak mau tinggal disini. Jadi saat tahu disekolah barumu ada asrama jadi langsung ayah daftarkan. Daripada di apato jauh dari sekolah, mending di asrama yang memang dekat area sekolah."
Hiroto terdiam seribu bahasa.
Bagaimana bisa!!
Ia awalnya memang tak mau tinggal disini, tapi setelah mengetahui bahwa Shou punya game PS4 ada sedikit perubahan pikiran, namun rasanya juga ia mau mencoba pilihan lain dulu. Dengan tetap memaksa ayahnya.
"Ng... A..ayah.."
"Hn??"
Respon ayahnya sambil menyeruput teh nya setelah menjelaskan panjang lebar.
"Aku.... belikan aku game PS4."
"Apa!? 'Kan sudah ayah bilang, untuk sekarang tidak bisa beli barang mahal seperti itu dulu. Game-mu masih banyak sekali dirumah, PS1 PS2 PS3. PS4 mau kau letakkan dimana!? Di asrama mana bisa membawa game yang membutuhkan ruangan besar seperti itu."
"Kalau begitu aku mau tinggal di apato saja."
"Kalau tinggal di apato biayanya lebih mahal, daripada membeli game yang mahal begitu lebih baik uangnya membayar apato."
"Ayah banyak alasan, bilang saja tidak mau membelikannya!"
"Memang tak ayah belikan kok,"
"Jahat sekali."
Wajah Hiroto merengut campur seperti ingin menangis.
"Shou saja punya..."
Ayah Hiroto menoleh cepat ke arahnya.
"Hng? Shou punya PS4? Ah, main saja sama dia."
"Tidak mau!! Aku mau main sendiri."
"Yasudah, pinjam saja punya Shou."
"Tidak mau!"
"Yasudah kalau tidak mau."
Ayah Hiroto kembali meneguk teh yang sudah tinggal sedikit lagi.
Sekali teguk lagi cangkir itu akan kosong.
"Ayah~"
Akhirnya Hiroto merengek.
"Ada apa? Sepertinya ada ribut-ribut?"
Tiba-tiba muncul seorang pria tinggi tegap dari pintu.
"Wah, anda sudah pulang? Kapan?"
Ayah Hiroto bangun dari kursinya lalu menyalami pria yang datang tersebut memberi selamat sudah kembali dari tugas luar kotanya.
"Baru saja."
"Hiroto, ayo salam sama paman."
"Wah, ini Hiroto? Sudah besar ya,"
Ayah Shou menepuk pucuk kepala Hiroto yang tampaknya Hiroto agak tak suka kepalanya ditepuk-tepuk.
Tapi Hiroto memperhatikan pria didedapnnya, bertubuh tinggi dan tampan juga, mirip Shou sekali.
"Ahaha... dia tidak besar kok, tubuhnya kecil begitu."
Hiroto menoleh ke arah ayahnya dengan wajah sebal.
"Lalu, sepertinya dari tadi wajahmu cemberut terus, ada apa?"
"Ah, tidak, biasa, anak kecil yang merengek minta mainan."
"Oh, ya... sampai merengek begitu berarti kau tak membelikannya?"
"Err... bukan tak mau membelikan, tapi... "
"Memang tak mau dibelikan!"
Hiroto memotong ucapan ayahnya.
"Memangnya mainan apa?"
"Haah.. mainan anak jaman sekarang, yang lagi nge-trennya. Yang pakai nomor empat itu..."
Jelas ayah Hiroto dengan malas.
"Empat? PS4?"
"Yah, yang seperti itulah.."
"Oh, kalau itu Shou punya, kenapa tidak main punya Shou saja. Kalau mau main main saja tidak apa-apa, mau main sekarang boleh juga, masuk saja ke kamarnya."
"A... eh.. ti..tidak usah paman..."
Hiroto ingin rasanya menabok mulutnya sendiri. Ucapan dan hatinya selalu berbeda.
Padahal sudah di izinkan main, malah Shou pun mengajaknya kemarin, tapi kenapa ia harus menolak. Bukankah ia sangat ingin memainkannya. Hiroto menangis dalam hati.
*..*..*..*..*
Selesai membeli buku mereka berjalan mencari restoran.
Berhubung kini Shou sedang berdua dengan Saga, maka kesempatan untuknya mengorek informasi pribadi Saga.
"Kau masih sibuk dengan kuliahmu!?"
"Hng!?"
Saga mengerutkan kening, makanan yang akan ia suap ke mulutnya tak jadi ia masukkan ke mulutnya.
"Tentu saja masih sibuk dengan kuliah selama aku masih kuliah, Shou-nii bicara apa sih!?"
"A..ah.. ya.. kau benar. Tapi maksudku... ngg... apa ada kegiatan lain?"
"Kegiatan lain? Aku hanya ikut kegiatan sosial di kampus. Jadi panitia penggalang dana 'Koin cinta untuk gurame'
"A..ah ya bagus. Tapi maksudku... kegiatan pacaran!?"
"Ha? Mana ada kegiatan seperti itu di kampus!"
"Bukan dikampus! Maksudku apakah kau punya pacar!?"
"Oh, kenapa berbelit-belit sih Shou-nii... aku tak punya pacar. Ada apa!?"
"Tak punya!? Orang yang kau suka!?"
"Orang yang kusuka. Hmm.. Shou-nii-"
Ucapan Saga langsung terpotong oleh keterkagetan Shou.
"Ha?"
"Kenapa Shou-nii kaget? Yang kusuka ya Shou-nii, Tora-nii ya walaupun dia itu kadang bikin sebal tapi dia kan kakak yang baik juga. Ah, Hiroto-kun juga, dia sepertinya bocah yang pemarah, tapi dia lucu, aku suka."
Shou serasa mau terjun dari tebing paling tinggi.
"Bukan suka yang seperti itu, maksudku, ng.... pada orang lain? Seperti jatuh cinta atau semacamnya begitu.."
"Hoo... suka yang seperti itu."
Shou menghela nafas lega.
"Ng.. tidak ada..."
"Oh, tidak ada..."
Kali ini dia benar-benar lega.
Tiba-tiba Shou merasakan ponsel di sakunya bergetar, ia mengambilnya dan ternyata ada sebuah pesan masuk dari ibu nya. Selesai membaca pesan ia melihat ada lima panggilan tak terjawab dari ibunya sejam yang lalu, pasti dia di marahi saat pulang nanti. Tapi sungguh ia tak merasakan getaran ponselnya saat masih di toko buku tadi.
"Sudah selesai!?"
Tanya Shou pada Saga yang duduk dihadapannya yang baru saja selesai menghabiskan minumannya.
"Un!"
"Kita langsung pulang ya, tadi mama mengirim pesan katanya ayah sudah pulang."
"Oh, paman sudah pulang dari okinawa?"
"Ya,"
"Nanti aku mau main ke rumah, tapi sekarang harus pulang dulu. Oh, iya kalau Shou-nii mau pulang sekarang tak apa, aku naik kereta saja. Terima kasih sudah menemani ke toko buku."
"Kenapa naik kereta, aku 'kan ada disini, tinggal mengantarmu saja naik mobil."
"Apa tak apa? Ayahmu kan baru pulang."
"Memangnya kenapa kalau ayah baru pulang, sehabis mengantarmu 'kan aku langsung pulang, memangnya mengantarmu perlu berhari-hari, Kau ini."
Akhirnya Saga meneruti.
Saat berjalan menuju parkiran mobil tiba-tiba ponsel Saga berbunyi, ia mengambilnya dari dalam tas dan mengangkatnya setelah melihat nama pemanggilnya sebentar.
"Ya, Gackt-sensei!?"
Saga sibuk menelpon dengan senseinya. Sedangkan Shou menatap, memperhatikan Saga yang sedang bicara dengan sensei nya dengan wajah sumringah. Ia jadi curiga.
"Baik, akan saya bawakan besok."
Saga menutup teleponnya.
"Sensei mu?"
Saga mengangguk.
"Ada apa!?"
"Sensei menyuruhku membawa tugasku besok untuk di revisi."
"Ho.." Shou memperhatikan lagi wajah Saga yang tampak menahan senyumnya.
"Kenapa senyum-senyum!?"
Saga tersentak kaget.
"Ah, tidak.."
Saga menggaruk pipinya yang tak gatal.
"Pasti ada sesuatu, tentang sensei mu?"
"Ah, aku memang tak bisa menyembunyikan apapun ya dari shou-nii. Ngg... aku kagum pada Gackt-sensei, dia orang jepang asli tapi punya wajah seperti bule, orangnya juga ramah, kalau dia mengajar itu mengasyikkan, singkat dan jelas. Mudah di mengerti."
"Oh, sperti itu..." Ada nada kecemburuan dalam kalimat Shou.
Ia merasa was-was kalau jangan-jangan Saga bukan sekedar mengangumi gurunya itu.
Setelah itu Shou memutuskan untuk tak banyak bicara lagi.
Ia akan memantau sendiri bagaiman kelanjutan Saga nanti terhadap senseinya.
Shou pun langsung tancap gas mengantar Saga pulang.
Hiroto duduk dibawah, di pinggir teras setelah dari kamar Shou. Ayahnya dan ayah Shou masih sibuk berbincang-bincang.
Ia lagi-lagi main game portable-nya karena hanya itu yang ia bawa; tidak mungkin 'kan ia membawa game ps nya yang ukurannya lebih besar dari game portable. ia duduk dengan mulut manyun sudah lelah merengek-rengek.
Wajahnya masih cemberut dengan menekan tombol-tombol game nya dengan tak santai, terbukti ia masih kesal.
"Wah, Hiroto-kun sudah bangun ya?"
Tiba-tiba paman tukang kebun lewat didepan Hiroto sambil membawa cangkul dan gunting rumput.
Hiroto mengerutkan keningnya, ia seperti melupakan suatu hal.
Tapi seketika itu ia langsung ingat.
"Kenapa paman tahu aku tadi tidur, jangan-jangan paman yang..."
"Oh, tentu saja tahu, tadi paman yang mengangkatmu ke kamar, disuruh Shou-kun."
Jadi benar paman tukang kebun yang....
Entah kenapa ia sedikit kecewa.
Eh? Kenapa kecewa!?
Apakah Hiroto mengharapkan Shou yang mengangkatnya.
Aarrhh.. tidak, tidak, tidak.
Itu tidak mungkin. Kenapa pula harus di angkat sama dia.
Hiroto sibuk dengan pikirannya sendiri sampai tanpa sadar ia membiarkan game nya berjalan sendiri dan membuat game over.
Suara game over itu membuatnya tersentak dan akhirnya sadar.
"Cih, apa sih! Kenapa harus muncul wajah orang itu terus-terusan dalam kepala!"
Hiroto meletakkan game nya di lantai teras disampingnya.
Ia menggaruk kepala seperti orang gusar.
Paman tukang kebun jadi bingung dan ia pun pergi setelah menyapa ayah Shou dan Hiroto.
"Kau kenapa ha?"
Rupanya gelagat Hiroto disadari ayahnya.
Ia memutar badan ke belakang melihat pada ayahnya, tentu dengan wajahnya masih cemberut.
"Untuk apa ayah bertanya, nanti juga tidak dibelikan...."
Padahal ia tadi tak memikirkan lagi tentang game PS4 itu, namun karena ia tak bisa bilang kalau ia sedang memikirkan Shou maka ia mengalihkannya ke sana.
"Masih juga soal itu."
"Main saja punya Shou, dia tidak akan marah kok, pasti di izinkan."
Sambung ayah Shou.
"T..tidak usah paman."
"Sudah di suruh main punya Shou kenapa tak main, kau itu malu atau apa? Padahal dalam hati kau sangat ingin mainkannya 'kan!"
Hiroto memanyunkan bibirnya ke arah ayahnya dengan wajah ngambek. Isyaratnya untuk menyuruh ayahnya diam.
"Kau tak berani? Ayo paman antar."
"E..eh, tidak usah."
"Masih saja sok menolak."
Hiroto mendelik ke arah ayahnya.
"Mumpung Shou belum pulang, kau bisa main sepuasnya. Kalau dia sudah pulang, sudah dia yang megang kendali, yah, walaupun kalian bisa bermain bersama tapi sepertinya Hiroto-kun lebih suka main sendiri ya!?"
Tepat sekali perkataan ayah Shou.
"E..er.. begitulah. T..tapi jam berapa Shou pulang?"
"Panggil Shou-niichan, dia lebih tua darimu tahu!"
Tegur ayah Hitoto.
Yang mendapat hentakan kaki sebal oleh Hiroto. Ayah nya sungguh cerewet hari ini.
"Tak apa, panggil sesukamu saja. Hm.. biasa dia pulang hampir-hampir malam, kebiasaannya. Ini masih jam empat sore. Jadi, mau bermain?"
Hiroto terdiam bimbang. Antara sangat ingin memainkan game itu dan takut saat ia lagi asik bermain tiba-tiba Shou pulang dan melihatnya memainkan game mikiknya setelah ia menolaknya.
Tapi....... tapi.... tapi.... kenapa hati nya seperti terus memanggil-manggil untuk mengajaknya main game itu.
Jiwa remaja labilnya......
"Dari wajahmu paman melihat kau sangat ingin memainkannya. Ayo, jangan ragu-ragu lagi. Ikut paman, akan paman antar."
Akhirnya kaki Hiroto pun melangkah mengikuti ayah Shou tanpa bisa dihetikan lagi.
Hiroto melihat lagi benda yang membuatnya sangat terkagum-kagum.
Matanya tampak berbinar-binar melihat ayah Shou mulai menyalakan benda itu.
"Ini stick nya"
Wajahnya tampak sangat bahagia memegang stick game itu, sedikit banyak ia sudah mengerti bagaimana cara memainkannya, karema ia selalu menonton habis tiap iklan PS4 muncul di TV dengan hebohnya.
Akhirnya! Hasratnya mengalahkan dirinya.
Ia memainkannya juga walau mencoba menolak sekuat apapun awalnya.
"Silakan main terus, paman mau kembali ke teras dulu."
Awalnya, Hiroto bermain dengan was-was. Ia berkali-kali melihat ke pintu kamar Shou yang terbuka takut-takut kalau Shou muncul di sana.
Sampai beberapa lama kemudia ia ke asyikan main dan tak merasa was-was lagi bahkan lupa kalau ia sedang memainkan game milik Shou, dikamar Shou juga.
Saat ayah Shou baru turun dari anak tangga terakhir dan menginjak lantai ruang tengah, ia melihat samar-samar dari jendela ruang tamu seperti mobil Shou baru diparkirkan didepan rumah.
Dan benar saja saat pintu depan terbuka, Shou muncul disana, matanya langsung menangkap keberadaan ayahnya yang berdiri lurus menghadap Shou.
"Ayah!?"
Panggilnya, ia melangkah cepat-cepat dan memeluk ayahnya, menepuk sedikit bahunya, tanda memeberi selamat.
''Dari jam berapa tiba dirumah!?"
Tanya Shou setelah melepas pelukannya.
"Dua jam yang lalu."
"Hm...apa proyeknya sukses disana!?"
"Menerutmu!?"
Shou melihat wajah ayahnya tampak sumringah.
"Baikalah, selamat, selamat."
Ucapanya dibarengi sedikit gelak tawa di akhir kalimat.
"Kalau begitu aku ke kamar dulu, mau mandi.."
"Oh, baiklah."
Ayah Shou kembali berjalan, tapi tiba-tiba ia berhenti.
"Oh, iya, di kamar ada Hiroto, ayah menyuruhnya main game, karena sepertinya ia sangat ingin main game baru."
"Oh, begitu? Padahal aku sudah mengajaknya main juga."
Ucap Shou sambil menaiki tangga.
"Mungkin dia masih malu-malu.."
"Aku pikir juga begitu,"
Lanjut Shou dengan suaranya tampak menjauh karena ia sudah di ujung tangga atas.
Shou menuju kamarnya, saat tiba didepan pintu kamar, ia berhenti di pinggir pintu, lalu melongokkan kepalanya sedikit kedalam.
Melihat Hiroto tampak sangat asyik bermain game.
Wajahnya tambah terlihat seperti bocah saat berteriak-berteriak atau mengangkat-ngangkat badannya terikut arah permainan.
Membuat Shou terkekeh.
"Asyik 'kan!?"
Tiba-tiba Hiroto terhenti, ia menoleh ke asal suara dan seketika matanya terbelalak.
Ia tak bisa berkata apa-apa, selain sikapnya yang salah tingkah . Akhirnya ia men-stop game nya dan mematikannya dengan buru-buru.
"Lho, kenapa dimatikan? Lanjut saja,"
Ucap Shou santai sambil masuk ke kamarnya, ia menyimpan tas nya di atas meja belajar.
"N..ng.. sudah cukup, aku sudah lama bermain. Lagipula game yang ino tidak terlalu seru" Bohongnya, padahal sebenarnya ia baru saja main, dan game nya lumayan seru sampai ia keasyikan tadi.
Hiroto cepat-cepat membereskan alakadarnya game itu lalu melangkah keluar dari kamar Shou.
"Kalau besok-besok mau main lagi, main saja."
"Tidak perlu, besok-besok aku sudah mulai sekolah, jadi pasti sudah jarang bermain."
Hiroto sampai di pintu dan hendak menghilangkan diri dibalik pintu.
"hm.. begitu, pulang sekolah 'kan juga bisa."
Ucap Shou yang mulai melepas kaosnya bersamaan dengan pintu kamarnya yang tertutup.
Diluar Hiroto tak menjawab apapun lagi, iasedang bimbang dan ragu dan dilema, benar kata Shou, dia bisa bermain saat pulang sekolah. Tapi keadaannya sekarang ia sudah masuk asrama. Lagipula kepergok bermain game setelah menolaknya itu terasa sangat memalukan, ia jadi tak ingin main lagi.
Maluuuuuu.....
Di minggu pagi yang cerah.
Shou tak keluar rumah, tapi ia juga tak tampak berkeliaran didalam rumah.
Hanya terlihat saat tadi sarapan pagi lalu tak terlihat lagi, membuat Hiroto jadi berpikir kalau Shou sedang main game dikamarnya.
Tentu saja itu pasti 'kan, ini hari minggu lalu Shou cuma mendekam dalam kamar yang ada seperangkat alat keren; selain piano nya juga tentunya.
Tapi Hiroto sangat yakin Shou sedang seru bermain game nya.
Mungkin karena ia terlalu ingin game itu maka ia menebak seperti itu karena dalam kepalanya hanya ada game itu dan game itu untuk saat ini. Atau memang tebakannya muncul dengan sendirinya karena sebuah koneksi yang terhubung.
Ia jadi berpikir untuk tak jadi tinggal di asrama, mengingat kata-kata Shou yang mengatakan dia bisa bermain game ps4-nya pulang sekolah.
Dan itu memang menguntungkan karena Shou pulang lebih lama dari dirinya.
Punya waktu main tiga jam atau lebih jika Shou berkeliaran lagi ketempat lain saat pulang kuliah.
Itu menggiurkan, tapi Hiroto tak mau menarik kata-kata nya kembali setelah ia mengucapakananya. Seperti ucapannya tak sempat main game lagi kalau sudah masuk sekolah. Padahal kenyataannya tidak seperti itu. Pulang sekolah ia selalu punya waktu bermain. Tapi entah kenapa kalau di hadapan orang ia sangat sering membalikkan fakta.
Hiroto pergi ke kamar menemui ayahnya.
Ia ingin membicarakan sesuatu.
Kepalana masih terngiang-ngiang oleh ucapan ibu Shou saat sarapan tadi.
Ibu Shou menyuruh Hiroto untuk tinggal dirumahnya saja, begitu pula dengan ayah Shou.
Dirumah mereka masih banyak kamar kosong, daripada Hiroto harus tinggal di asrama pasti terikat peraturan tak sebebas tinggal dirumah.
lagipula Hiroto kan juga saudara mereka, jadi tak masalah.
Memang benar apa yang dikatakan mereka.
Membuat hati Hiroto makin goyah dan makin runtuh setelah ia berbicara pada ayahnya dan ayahnya berpendapat sama dengan kedua orangtua Shou.
Ayah Hiroto hanya tinggal mengirim uang makan, jajan dan biaya sekolahnya saja tanpa perlu membayar uang tambahan untuk bayar apapto atau asrama.
"Jadi bagaimana?"
Ayah Hiroto melipat kedua tangannya didepan dada menunggu jawaban Hiroto yang berdiri dihadapannya dengan wajah ragu sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal.
"Unng.... bagaimana ya,"
"Apanya bagimana. Sudah ditawarkan tinggal disini oleh paman dan bibi malah ditolak. Kau itu kenapa masih ragu-ragu?"
Ayah Hiroto jadi kesal.
"Bukan begitu!"
Hiroto mau tinggal dirumah ini apalagi mengetahui Shou punya game PS4 yang di idam-idamkannya tapi ia ingat ada Shou; tentu saja karena ini rumahnya.
Entah kenapa ia tak tenang jika ada Shou.
Tapi... kembali lagi pada game-nya.
Ah, tapi Shou juga tak sering dirumah 'kan, jadi... sepertinya bisa.
"Baiklah! Aku mau tinggal disini."
Ayah Hiroto menghela nafas sambil melepas lipatan tangannya.
"Mau tinggal dirumah saudara sendiri aja sampai berpikir panjang begitu, kalau orang lain langsung mau tahu!"
Ayah Hiroto bangkit dan keluar dari kamar.
Hiroto menoleh ke arah ayahnya dengan pipi menggebung sebal.
"Tidak semudah itu tahu..."
Gumamnya.
Tsuzuku
Tidak ada komentar:
Posting Komentar