Title : Night
By : SachiJ6
Chapter : 1/-
Fandom : Alice nine, OC.
Pairing : ToraxSaga
Genre : AU, romance, drama.
Rating : T
Disclaimer : Tora milik saya. Yang percaya saya ucapkan terima kasih. *di getok rame-rame*
★★★
“Tuan muda berhenti!!”
Dimalam gelap gulita,
segerombol orang laki-laki berlari mengejar satu
orang pemuda berambut brunet yang tengah
melarikan diri.
Dengan malam gelap dan dingin begini mereka
membuat keriuhan disepanjang jalan yg mereka
lewati.
Pemuda yang dikejar menoleh kebelakang, tambah
cepat saja ia berlari saat gerombol orang-orang
yang mengejarnya dirasa semakin dekat.
“Cih, sial!”
Umpat nya kesal.
Untuk sementara ini, ia berbelok melewati lorong
manapun yang ia temukan tak peduli jauh dari
jalan tujuan nya, asal bisa menjauh dahulu dari
para pengawal-pengawal suruhan ayahnya.
“Tuan muda berhentilah, anda bisa dimarahi ayah
anda!”
Seperti angin lalu, ucapan pengawal nya sama
sekali tak didengarnya.
Ia terus berlari menghindari pengawal-pengawal
nya.
Terus berlari sampai ia merasakan hampir pada
batasnya.
“Hah..hah..”
Nafasnya mulai terengah-engah, ditopangkan
kedua tangannya dilutut untuk mengatur nafas
nya.
Untuk saat ini pengawalnya bisa tertinggal. Tapi
kalau ia tak melanjutkan lari nya, maka ia akan
tersusul.
Terbukti kini dengan terdengarnya langkah kaki
mereka yang makin mendekat.
Pemuda itu panik. Ia kembali berlari, berbelok ke
gang-gang kecil antara pagar-pagar tembok
rumah warga.
Nafasnya terengah-engah.
Lagi, pemuda itu berhenti. Sepertinya kakinya
benar-benar sudah mencapai batas, tak sanggup
untuk berlari lagi.
Ia berhenti dan mengatur nafasnya, sedangkan
para pengawalnya masih terus dapat
mengejarnya dan kini sudah semakin dekat
kearah nya.
"Bagaimana ini?!”
Dengan keadaan yang hampir saja ia
menyerah, tiba-tiba saja ia melihat seseorang
berpakaian hitam dengan mantel panjang hitamnya sedang menatap entah apa diatas
langit, ia berada beberapa meter didepan pemuda
itu.
Ia merasa seperti diberi pertolongan, maka dengan
itu ia berlari menghampiri seseorang
itu. Bermaksud meminta pertolongan nya.
Tetapi pertolongan yang bagaimana yang bisa
ditolong orang itu, ia belum sempat
memikirkannya.
Tapi yang jelas pemuda itu sudah menghampirinya.
“Hah..hah..a..anoo tolong aku!”
Pemuda itu mencekram lengan baju orang
tersebut, matanya menatap meminta pertolongan.
Sedangkan orang itu menyerngit bingung karena
kedatangan pemuda itu yang tiba-tiba.
“Tolong..aku dikejar-kejar orang jahat..bisa kau
menolongku?”
Orang itu belum sempat membuka mulutnya
untuk merespon permintaan pemuda
tersebut, karena tiba-tiba saja wajahnya berubah
aneh, menegang seperti menahan sesuatu.Bahkan
tanpa diketahui pemuda brunet itu yg tengah panik
sendiri, mata orang itu perlahan berubah warna
menjadi ke-perakkan.
Pemuda brunet tersebut mendadak menarik tubuh orang asing itu kehadapannya untuk menyembunyikan tubuhnya sendiri di balik tubuh besar orang asing itu,
karena dari lorong yang ia lewati tadi telah
muncul para pengawalnya yang sedang berlari
ke-arahnya kini,
dan sudah sangat dekat.
”Ng?!” pemuda brunet itu kaget dengan perlakuan orang
yang di depannya karena tiba-tiba mendekatkan hidungnya ke
lehernya, seperti membauinya.
Namun karena para pengawal sudah sangat
dekat, ia pun tak sempat protes. Segera ia
menundukkan kepalanya menyembunyikan
wajahnya dipundak orang itu.
Dan kini ia makin dibuat terbelalak matanya
karena orang itu mengangkat dagunya dan mencium bibirnya.
Pemuda brunet itu ingin berontak tetapi ditahan orang dihadapannya itu, bersamaan dengan para pengawal yang sudah
ada dihadapan mereka.
Orang itu menatap mata pemuda brunet yang masih
terbelalak, seperti menyampaikan sesuatu.
Seperti mungkin menyuruhnya untuk diam.Karena ia kini sedang membantunya.
“P...permisi. Apa kalian melihat…emm..” suara itu
terdengar ragu untuk bertanya.
Orang bermantel hitam itu makin
menenggelamkan tubuh pemuda dihadapannya dalam
pelukannya, menambah lagi ke-intiman dalam
ciumannya saat mendengar pengawal itu
bertanya, dan entah apa yang dibuat orang
bermantel hitam itu hingga membuat tuan muda
mereka mulai sedikit mendesah.
“nghh~”
Suara tersebut tambah membuat para pengawal
risih.
“Baka! Tak ada gunanya kau menyakan pada
orang yang sedang pacaran!
Cepat kita cari kedepan sana, tuan muda pasti
lewat jalan ini.”
Ujar salah satu pengawal.
Pengawal yang tadi sempat bertanya pada dua
orang itu pun mengangguk agak malu.
Mereka pun berlalu melanjutkan pengejaran
mereka, sampai mereka hilang dibalik tikungan
lorong.
Pemuda itu langsung mendorong tubuh
didepannya kencang, sampai membuat ciuman itu
terlepas.
“Apa yang kau la-”
Pemuda itu membelalakkan matanya saat melihat
tangannya sudah ditahan orang itu padahal ia
belum melayangkan tinju nya kewajah orang itu.
Pemuda itu menatap takjub kearah orang tersebut
yang kini tengah menyeringai.
“Lepas! Aku mau pergi!"
Pemuda tersebut berusaha menarik tangannya
dari genggaman orang itu.
"Jiiih..sepertinya aku akan gagal ujian,”
Orang itu menatap pada pemuda brunet itu dengan seringainya.
“Ah, biarkan saja lah gagal”
Lanjutnya dan mulai mendekatkan wajahnya
kearah leher pemuda itu.
“Eh? Eh? Apa-apa’an kau Lepaskan aku!”
Pemuda itu menarik-naeik tangannya sekuat tenaga
agar terlepas.
“Lepaskan aku manusia mesum!”
Spontan pemuda itu berteriak karena saking
takutnya.
"Mana terima kasihmu? Aku sudah menolongmu 'kan,"
"Ho? Oke, terima kasih banyak telah menolongku."
Tiba-tiba pemuda brunet itu terperanjat sendiri setelah mengucapkan terima kasihnya.
"Heh, tapi kau sudah menciumku seenaknya, tanpa seijinku. Jadi aku tak perlu berterima kasih padamu!!"
"Oh, ya, tau begitu aku serahkan saja tadi kau pada orang-orang itu."
"A..apa!? Ck,"
Pria bermantel hitam itu memegang sebelah tangan pemuda itu, mendorongnya bersandar pada tembok pagar.
"A..apa-apa'an kau!!"
Dengan sebelah tangannya yang terbebas, pemuda brunet itu menahan dada pria itu agar tak terlalu dekat dengannya.
"Aku minta bayaran atas pertolonganku. Paling tidak satu tegukan saja."
Pria itu mendekatkan wajahnya ke leher si pemuda brunet.
"H..hei!! Apa maksudmu tegukkan, menjauh dariku!!" Pemuda itu sangat panik, dan ia juga tak mengerti apa maksud ucapan pria itu.
“Ckckck”
Suara asing yang datang tiba-tiba itu membuat
semua aktivitas terhenti.
Pemuda brunet itu tersentak kaget namun tidak dengan pria bermantel hitam dengan berambut nya yang juga hitam legam itu.
Ia malah tampak kesal.
Pria itu membalikkan tubuhnya menghadap pada orang yang sudah mengganggu kegiatan yang akan ia lakukan tadi.
Ia mendecih dengan wajah masam.
"Tora~ Tora~ kau masih juga belum bisa menahannya ya? Kalau begini hukumanmu akan bertambah hm?"
"Cih, habis aku tidak tahan!!"
Orang itu melirik pada pemuda brunet yang tampak kebingungan,
"Sebaiknya kau segera pergi dari sini nona, sebelum dia..."
"Hei, aku laki-laki! Enak saja kau panggil nona!"
"Oh, maaf, apapun itu sebaiknya kau cepat pergi dari sini. Karena akan bahaya jika dia..."
Orang itu menunjuk pada pria berambut hitam legam itu sambil tersenyum mengejek.
"... lepas kendali"
Ia terkekeh.
Pemuda brunet itu tentu panik, ia tak paham lepas kendali yang bagaimana yang dimaksud, namun ia merasa jiwanya akan terancam jika terus berada di dekat dua orang itu. Ia pun segera pergi menjauh sebelum hal-hal buruk terjadi padanya.
"Ck, kau menakutinya."
"Memang kau harus ditakuti 'kan?"
"Cih,"
Orang itu mendekat pada pria berambut hitam legam itu, ia menepuk kedua bahunya.
"Berjuanglah kawan, jangan melanggar lagi."
Setelah itu orang yang ternyata teman si pria berambut hitam legam itu pun pergi, ia menaiki tembok pagar dengan satu kali lompatan.
Pria berambut hitam legam itu menghela nafas, ia menyibak rambut depannya kebelakang.
"Aku pasti akan tetap menagih bayaranku, kau, manusia cantik, khekhe.."
Pria itu pun menyusul ketempat temannya melompat tadi lalu menghilang di balik gelapnya malam.
* * *
Pemuda berambut brunet itu melempar beberapa kerikil ke arah pintu yang ada di lantai dua sebuah rumah.
Ia menyelinap menyelinap masuk ke perkarangan rumah tersebut lewat lubang di tembok pagar belakang. Itu sudah jadi jalan rahasianya untuk masuk perkarangan rumah itu saat malam-malam begini.
Tak berapa lama setelah ia melempar kerikil itu ke arah pintu kamar itu, terlihat siluet dari jendela orang yang berjalan ke arah pintu.
Pemuda brunet itu tersenyum karena sang pemilik kamar mendengar ketukannya.
Pintu itu terdengar putaran kuncinya, lalu saat terbuka terlihatlah sosok tinggi dan tampan teman bermainnya.
Pemilik kamar tampak melihatnya sedikit malas, sedangkan pemuda brunet itu tersenyum santai melambaikan tangannya.
Pemuda pemilik kamar yang berwajah manis itu menjauh dari pintu, pemuda brunet di bawah menunggu.
Tak berapa lama sebuah tali jatuh dari lantai dua, dari kamar pemuda tinggi itu.
Setelah melempar tali pemuda pemilik kamar langsung menjauh dari depan pintu dan kembali melanjutkan kegiatannya tadi sebelum di ganggu.
"Hup!"
Pemuda brunet itu melompat dari pagar balkon lalu masuk ke kamar yang sudah sering dia datangi.
"Oi, Shou, mukamu masam sekali?"
Pemuda brunet itu menghampiri temannya yang sedang berbaring terlunhkup di atas kasurnya sambil membaca buku tebal dan beberapa buku lain disekitarnya.
"Ck, kau tiap malam datang kesini, padahal tidak di izinkan 'kan?" Shou melihat pada pemuda brunet itu menunggu pemuda itu mengangguk atau menjawab 'ya'.
"Kalau orang tua mu tahu kau ke sini bagaimana?"
"Ahahaha... tenang, mereka tidak akan membunuhmu kok,"
Pemuda bernama Shou hanya berdecak lalu kembali membaca bukunya.
Pemuda brunet itu agak cemberut karena tak di hiraukan.
"Hei, aku capek-capek kesini, penuh perjuangan tahu, beri aku minum."
"Siapa suruh keluar malam-malam sudah tahu dilarang."
"Kau setega itu!?"
Pemuda brunet itu memasang wajah sedih.
"Hah, baiklah, tunggu sebentar Tuan muda Saga."
Shou melipat sedikit sudut buku yang ia baca sebagai penanda sebelum ia bangkit dari tempat tidurnya dan keluar dari kamarnya mengambil minuman untuk Saga; nama pemuda brunet itu.
Tak berapa lama Shou kembali ke kamarnya dengan membawa nampan berisi secangkir teh hijau dan makanan kecil.
"Aahh... terima kasih Shou~ kau baik sekali..."
Saga langsung menyambar nampan itu dan meyeruput pelan-pelan teh hijau yang masih panas itu.
Shou kembali tengkurap di atas tempat tidurnya, ia kembali membaca bukunya.
Setelah membasahi kerongkongannya yang kering, Saga meletakkan nampan itu di meja samping tempat tidur.
Saga menggeser dudukya bersandar pada kepala tempat tidur, kepalanya menoleh pada Shou yang ada disampingnya.
"Hei, Shou, kau sudah dengar desas-desus pembunuhan belakangan ini!?"
"Hm," Jawab Shou sekenanya, ia sedang sangat fokus pada buku bacaannya.
"Kira-kira siapa pelakunya ya? Apa motifnya?"
"Vampir!" Shou masih menatap bukunya.
"He?" Saga menjauhkan punggungnya dari kepala tempat tidur dan mendekat pada Shou dengan tampang kaget.
"Kenapa kau bisa bilang vampir yang melakukannya?"
"Mayat yang ditemukan seminggu yang lalu punya bekas gigitan dilehernya. Tak ada bekas luka lain dimana pun diseluruh tubuh mayat itu. Gigitannya membuat bekas dua lubang seperti gigi taring."
Saga menyimak tiap kalimat yang Shou ucapkan, tak dipungkiri ia sempat merinding tadi, ia jadi takut.
Sampai ia tersentak melihat gambar yang ada dibuku Shou. Gambar sederetan gigi dengan dua gigi taring yang panjang.
"Shou, kau baca buku apa!?"
Saga melebarkan matanya, ua makin mendekat untuk melihat buku itu.
"Buku tentang vampir, yang disusun oleh seorang saksi yang katanya pernah melihat vampir pada tahun 1932 silam"
Saga tampak penasaran.
"Sampai sekarang masih ada?"
"Sepertinya, kalau tidak ada, lalu yang ditemukan seminggu lalu itu apa?"
Saga terdiam, ia jadi ingat orang aneh yang ia temui saat hendak ke rumah Shou tadi.
Tapi ia mencoba tak memikirkan hal-hal aneh.
Iya meyakinkan dirinya kalau orang itu bukan mahkluk yang sedang dibicarakan kini.
Lagipula orang itu sudah lancang menciumnya, jadi ia pikir itu hanya orang mesum.
"Vampir itu apa hanya keluar dimalam hari!?"
"Menurut cerita seperti itu,"
Saga menyentuh tengkuknya, merinding. Ia mulai benar-benar ketakutan.
"S..shou!"
Suara Saga tampak terasa sedikit bergetar.
Shou menoleh.
"Apa!?"
"Ijinkan aku untuk menginap dirumahmu malam ini."
Saga menyatukan kedua telapak tangnnya lalu meletakkan didepan keningnya, ia benar-benar memohon.
Shou mengerutkan keningnya bingung. Ia bangkit dari berbaringnya dan duduk.
"Ada apa, kau tiba-tiba ingin menginap? Bukankah, tengah malam pun biasanya kau berani pulang? Ayahmu pasti menunggumu sekarang, kalau kau lama pulang, kurasa kau akan di amuknya besok."
"Tak apa, daripada aku bertemu vampir ditengah jalan dan aku mati dimangsanya, aku lebih memilih dimarahi ayah."
"Kau takut!? Kejadiannya bukan ditempat kita 'kan? Lagipula ditempat kita belum ada berita seperti itu."
"Ya, tapi bagaimana kalu tiba-tiba ada disini, kita tidak tahu 'kan, bisa saja mahkluk itu datang ketempat kita, bagaimana!?"
Shou tampak menimbang-nimbang.
Memang perkataan Saga ada benarnya, mereka tak tahu mahkluk itu pergi kemana saja, bisa saja tiba-tiba muncul didesa mereka.
Dan Shou mengkhawatirkan itu, ia juga tak mau temannya mendapat bahaya itu jika ia pulang malam-malam begini.
Sebagai menghindari bahaya, tak apalah Shou mengizinkan Saga untuk menginap.
"Baiklah, tapi kalau kau dimarahi ayahmu jangan bawa-bawa aku."
"Ya, ya, tenang saja. Terima kasih Shou!"
Wajah Saga langsung tampak lega.
Dan malam itu, mereka membahas mahkluk itu sampai tengah malam.
Tsuzuku.
Senin, 28 April 2014
Sabtu, 26 April 2014
[FF] My papa, not yours! 2
Title : My papa, not yours!
Chapter : 02/??
By : SachiJ6, Sachi_ciel.
Fandom : Alice nine.
Pairing : ToraxSaga.
Genre : AU, OOC,
romance, drama.
Rating : T
Disclaimer: Para tokoh bukan milik saya, Cuma
pinjam nama aja.
Note : Ga yakin, saya nulis cerita apa ini? (plakkk..)
* * *
Hari ini seperti biasa Saga kembali ke rutinitas
sehari-harinya. Kembali berkutat dengan layar
computer dan kertas-kertas yang menumpuk
diatas mejanya.
Dari dalam ruangannya, Tora dapat melihat para
pegawainya bekerja lewat dinding kaca besar
yang hanya tertutup tirai lipat. Tak terkecuali Saga, ia
juga dapat melihat Saga yang sedang duduk
didepan meja kerjanya.
Tora memperhatikan wajah Saga, ia melihat
wajah Saga tampak pucat hari ini.
Tora memanggil sekretarisnya, ia memerintahkan
sekretarisnya untuk memanggil Saga datang
keruangannya.
Selang beberapa menit pintu itu diketuk dari luar,
“Masuk!!”
Pintu itu pun dibuka, menampakkan Saga yang
tengah berdiri diambang pintu.
“Anda memanggil saya?”
“Ya, masuklah”
Saga melangkahkan kakinya mendekati meja
Tora, ia menarik kursi lalu duduk dihadapan Tora
dengan posisi tubuhnya yang sedikit menunduk,
terlihat tampak sedang tak sehat.
“Kulihat wajahmu tampak pucat hari ini, apa
kau sakit?”
Saga sedikit tertegun,
“Ng, tidak, aku sehat-sehat saja.”
“Tapi kau tampak tak sehat. Kalau memang
sedang sakit kau bisa pulang dan istirahat
dirumah, kuberi izin.”
“Tidak, tidak usah. Aku masih sanggup bekerja,
hanya sedikit merasa kelelahan saja,tetapi tidak
apa-apa.”
“Kuharap kau tak usah terlalu memaksakan diri
kalau bekerja. Pikirkan juga kesehatan tubuhmu.”
“Maaf” Saga menunduk.
Sesaat mereka terdiam, sampai akhirnya Saga
menegeluarkan suara.
“Em, masih ada keperluan? Aku sudah bisa
kembali ke mejaku?”
suara Saga terdengar lemah tak bersemangat.
“Saga, aku yakin kau tak sedang baik-baik saja.
Apa ada terjadi sesuatu padamu?”
Ucap Tora yang bukannya menjawab jawaban
Saga tapi malah balik melontarkan pertanyaan.
Tora mengulurkan tangannya kehadapan wajah
Saga lalu mengusap pelan pipi Saga dengan ibu
jarinya.
Ia sungguh merasa khawatir.
Saga segera menurunkan tangan Tora, karena ia
tak mau jika perlakuan atasannya itu sampai dilihat oleh pegawai -pegawai
yang lain, karena ruangan itu memiliki celah-
celah yang tak tertutup tirai, yang jika orang
lewat bisa langsung melihat kedalam ruangan
Tora.
Padahal semua pegawai tahu hubungan mereka,
tapi Saga tetap saja malu jika Tora bersikap
seperti itu ditempat umum.
“Aku tidak apa-apa Tora, sungguh!”
“Benar??”
Tora menjauhkan tangannya.
Saga menganguk sambil tersenyum untuk
meyakinkan Tora.
“Yasudah, kembalilah bekerja. Tapi ingat, jika
memang sakit cepat katakan padaku.”
“Un, terima kasih. Aku permisi.”
Saga bangun dari kursi tersebut, ia menuju pintu
dan membukanya. Sosok Saga pun hilang dibalik
pintu dan kembali terlihat saat ia melewati kaca
jendela.
Tora menghela nafas lega. Lalu ia pun membuka
Laptop-nya karena ia juga harus bekerja.
Namun sebelum menarikan jari-jarinya diatas
keyboard, Tora seperti teringat sesuatu.
Masih ada yang ingin disampaikan pada Saga, namun karena tak mungkin ia memanggil Saga lagi, maka ia mengambil ponselnya yang terletak
diatas meja lalu mengetikkan sebuah pesan.
Saga melihat layar ponselnya menyala, pertanda
bahwa ada pesan atau telepon masuk. Saga
mengambil ponsel diatas mejanya dan melihat
ada sebuah pesan disana.
Ia segera membuka pesan itu dan membacanya.
[ From: Tora
Maaf mengganggu pekerjaan anda sebentar tuan
Saga,
haha…
Tadi aku lupa menanyakan padamu, emm.. hari
minggu nanti bagaimana kalau kita jalan-jalan?]
Saga tersentak lalu tak kuasa menahan senyumnya membaca pesan itu.
Bukankah itu sama saja dengan namanya
berkencan? Tentu saja Saga mau, mereka sudah
lama tidak jalan-jalan, ditambah lagi sepertinya ia
memang butuh refreshing.
Saga langsung menjawab pesan itu dengan kata,
[Boleh, kau sedang tak sibuk 'kan? ]
Tora tersenyum senang dari dalam sana, karena
ia melihat gerak-gerik Saga dari celah-celah tirai
ruangannya.
[ Kalau aku sibuk, aku tak mengajakmu, haha.
Oke, akan kujemput jam 10 pagi.] balasnya.
Dengan begitu Tora menutup ponselnya dan
kembali fokus pada pekerjaannya.
* * *
Hanya disaat hari minggu Saga tak perlu merasa
panik jika bangun terlambat. Ia bisa memuaskan
jam tidurnya dihari itu setelah enam hari
kebelakang waktu tidurnya banyak terkuras.
Ia membuka matanya, meregangkan tubuhnya lalu
bangkit dari tempat tidur.
ia turun dari tempat tidur dan membuka tirai
jendela.
Sinar matahari yang masuk lewat jendela
sudah terasa cukup panas.
Saga merasa tubuhnya sudah lumayan segar
karena tidur yang sudah lebih dari cukup.
ia menumpukan kedua tangannya di atas bingkai
jendela sambil menikmati udara dan
pemandangan di pagi hari. Burung kecil terbang
kesana-kemari lalu berhenti didahan pohon dan
berkicau memanggil teman-temannya.
Merasa sudah cukup, Saga melankahkan kaki nya
menjauh dari jendela. Ia melihat jam yang terletak
diatas meja kecil samping tempat tidurnya.
Matanya langsung terbelalak melihat jarum jam
yang sudah menunjukkan pukul 09.30 pagi.
Ia buru-buru mengambil handuknya dan masuk ke
kamar mandi.
Sebentar lagi Tora datang untuk menjemputnya!
Sedangkan ia sama sekali belum bersiap-siap.
Mungkin sampai Tora datang pun Saga masih
santai jika saja ia tak melihat jam, yang langsung
mengingatkannya pada agenda hari ini.
Masuk ke kamar mandi, Saga langsung berdiri di
depan wastafel terlebih dahulu untuk menyikat
gigi, ia menatap wajahnya sendiri pada cermin
dihadapannya.
Ia melihat wajahnya masih tampak sedikit pucat,
pantas belakangan Tora sangat
mengkhawatirkannya.
Selesai menggosok gigi, Saga berdiri dibawah
shower, membasahi seluruh tubuhnya.
siraman air shower yang membasahi tubuhnya
membuat tenang sampai memejamkan matanya
merasakan ketenangan itu.
Selesai dengan aktivitas mandinya, Saga keluar
dari kamar mandi dan menuju lemari pakaian.
Agak kebingungan ia memilih baju yang akan ia
kenakan hari ini, karena sudah lama ia tak pergi
keluar bersama Tora karena pekerjaan mereka
yang padat.
Dann akhirnya Saga hanya memakai pakaian
simple, celana jeans hitam kaos abu-abu dan jaket
abu-abu, mengingat ia tak punya banyak waktu
juga untuk memilih pakaian, sebentar lagi Tora
akan tiba.
Setelah mengenakan pakaiannya lengkap, Saga
berdiri didepan cermin untuk sedikit menata
rambutnya yang bewarna coklat terang itu.
Bibirnya yang tampak pucat itu pun iya oleskan
sedikit lipbalm agar tak kering dan sedikit
menyamarkan.
Saga menoleh kaget kearah jendelanya begitu
mendengar suara klakson mobil diluar sana. Ia
melangkah ke jendela untuk memastikan bahwa
itu benar Tora atau bukan.
Segera ia selesaikan kegiatannya didepan cermin
setelah melihat bahwa yang datang adalah benar
Tora. Ia menuju pintu lalu memakai sepatunya
dan keluar dari apartemen sederhananya.
Tapi tiba-tiba Saga menghentikan langkahnya
ketika baru saja ia menuruni tiga anak tangga, ia
kembali ke apartemannya untuk mengambil
ponselnya yang tertinggal.
“Maaf, menunggu lama.”
Ucap Saga setelah masuk dan duduk dibangku
mobil disebelah bangku kemudi tempat Tora
duduk.
Tora menoleh, sesaat tatapannya tampak terpana
terhadap Saga.
“Daijobu, emm.. kau tampak segar hari ini”
“Ya, aku tidur cukup, haha…”
“Dan cantik,” lanjut Tora, membuat Saga seketika
wajahnya berubah cemberut.
“Kok cantik?!”
“Memang kenyataannya seperti itu” jawab Tora
dengan senyum lebar dibibirnya.
Tora kembali menoleh kedepan dan menjalankan
mobilnya sedangkan Saga terdiam masih
cemberut.
Mobil melaju kesebuah tempat yang sudah
direncanakan Tora.
“Odaiba?”
seru Saga saat ia membaca tulisan papan nama
wilayah yang mereka datangi.
“Hm, sudah lama tidak kesini ‘kan?” Tora
menoleh sesaat melihat Saga lalu kembali fokus
kedepan.
Pantai di teluk Tokyo, tempat mereka pertama kali
datang di kencan pertama. Ingatan Saga kembali
pada saat itu. Membuatnya tak sabar agar cepat-cepat sampai disana. Tempat yang penuh
kenangan manis bagi mereka.
Mereka tiba dipantai Odaiba pada jam yang belum
terlalu terik, oleh karena itu mereka bisa bermain
dulu di pantai itu. Bermain pasir dan air laut.
Saga masih sibuk berjalan dipantai sambil
menikmati pemandangan saat Tora menarik dan
menggenggam tangannya. Saga sedikit tersentak
dan membuatnya jadi malu.
Tak terasa mereka berjalan-jalan hingga tiba
disebuah batu besar dibawah pohon.
mereka memutuskan untuk istirahat
sejenak, duduk diatas batu besar itu.
Mereka berbincang-bincang seru disana, ekspresi
Saga yang muncul mulai dari diam, lalu
tersenyum sampai tertawa. Sesekali tersipu malu
juga terkadang cemberut karena tak henti-
hentinya digoda oleh Tora.
“Hahaha… kau ada-ada saja Tora” Saga tak bisa
menghentikan tawanya mendengar ucapan konyol
Tora yang bercerita ingin jadi merman dan
menikah dengan Saga, mereka hidup dilaut tanpa
ada satupun mesin, kertas-kertas, pekerjaan yang
membuat otaknya pecah, hidup damai dibawah
laut tanpa ada polusi udara.
“Saga!”
Tawa Saga terhenti saat Tora memanggilnya
dengan memasang wajah serius.
“Ya!?”
Saga menoleh, matanya mengisyratkan
pertanyaan.
“Aku serius, ingin menikahimu.”
Tak terlihat sedikitpun gelagat lelucon dalam
tatapan mata itu, membuat jantung Saga brdetak
lebih kencang dari biasanya. Ini serius!?
“Tapi, tidak mungkin secepat ini ‘kan, kamu
tahu…”
“Ya, aku tahu. Masih perlu banyak persiapan
untuk menuju kesitu” potong Tora.
“Maka dari itu, aku ingin kau memakai ini dulu
sebagai tanda bahwa kau milikku, tidak bisa
dimiliki oleh orang lain lagi…” lanjut Tora sambil
tersenyum. Ia mengeluarkan sebuah benda
berbentuk kotak kecil dari dalam saku celananya,
lalu membuka kotak kecil itu dan
menyodorkannya kehadapan Saga.
Kejutan yang diberikan Tora sukses membuat
mata Saga melebar.
Sudah sejak kapan Tora mempersiapkan ini?
Karena setahunya Tora tak punya waktu luang
untuk pergi-pergi keluar. Tapi kenyataanya benda
itu ada didepan matanya, benda yang akan jadi penanda untuk
mengikat hubungan mereka lebih erat. Ia masih
tak menyangka kalau hubungan mereka akan
berlanjut makin serius.
“K..kapan kamu membelinya?” Saga masih
terpana akan keindahan benda itu, benda
melingkar yang mengkilap indah bewarna perak. Disebelah
dalamnya terukir nama Tora dengan begitu
elegan.
“Sudah, tak perlu tahu kapan aku membelinya
‘kan. Itu tak penting. Sekarang, kau harus
memakai cincin ini.”
Tora menarik tangan kiri Saga lalu memasangkan
cincin itu dijari manis Saga.
“Pas!!” Tora tersenyum senang melihat cincin
pilihannya ternyata pas dijari Saga.
sedangkan Saga tak bisa berkata apa-apa lagi, ia
hanya bisa menatap jarinya kini yang sudah
tersemat cincin pengikat dari Tora sambil
tangannya yang satu lagi menutup mulutnya
saking tak bisa berkata apa-apa karena terlalu
bahagia.
“Dan dijariku, ada nama Saga dibalik sini,” Tora
mengankat tangan kirinya.
“He? Kapan kamu memakainya?”
“Sejak dari rumah,”
Saga tertegun. Ia baru menyadari jika Tora sudah
memakai cincin itu sejak dari rumah.
“Haa.. kok aku tak melihat?”
“Kau saja yang tak menyadari!” Tora menarik
hidung kekasihnya yang bak perosotan itu dengan
gemas.
Cepat-cepat Saga melepas tangan Tora sebelum
ia kehabisan nafas.
“Sakit Tora!!” Saga mengelus-elus hidungnya
yang sedikit merah itu dengan wajah sebal.
“Hei, wajahmu jelek kalau seperti itu.”
“Biarkan Saja!” mulut Saga masih manyun.
Tora hanya bisa terkekeh melihat sikap
kekasihnya.
Tak terasa hari sudah siang, mereka memutuskan
beranjak dari tempat itu menuju restoran untuk
mengisi perut mereka yang sudah terasa kosong.
Mereka masuk kesebuah restoran dan memilih
tempat duduk dipinggir supaya bisa melihat
pemandangan diluar sana yang mengarah kelaut
sambil mereka menikmati makanan.
Jarum jam sudah menunjuk pada angka empat.
Mereka memutuskan untuk pulang. Sudah cukup
lama mereka berada di pantai itu.
Tora juga mengkhawatirkan anaknya yang
ditinggal sendiri dirumah. Masih bagus jika Hiroto
mengahbiskan waktu liburnya dirumah dengan
bermain game sepanjang hari, tapi bagaimana
kalau dia pergi bersama teman-temannya tanpa
bilang padanya kemana ia pergi? Karena pernah
pada waktu itu ia bermain dengan teman-
temannya sampai pulang larut malam.
Pada saat itu Tora langsung menghukumnya tidak boleh
keluar rumah kecuali kesekolah selama seminggu.
Hiroto masih seorang anak yang sedang
bertumbuh. Emosinya masih labil, apalagi ia anak
yang hyperaktif, jika diajak bermain pasti
langsung mau. Maka Hiroto masih harus dalam
pengawasan ketat.
Tora khawatir kejadian itu terulang kembali,
karena sejak ia mengirim pesan dari masih
direstoran tadi, Hiroto belum membalas pesannya
sama sekali. Ditelpon pun ia tak menjawab.
walau ia percaya anaknya tidak akan mengulangi
hal itu lagi, tetapi ia tetap khawatir.
Tora melajukan mobilnya menuju jalan
pulang. Karena kendaraan yang cukup ramai
memenuhi jalan dihari minggu ini, membuatnya
tak bisa sedikit menaikkan lebih tinggi lagi angka
speedometernya agar cepat sampai rumah. Ia
harus bersabar melajukan mobilnya dengan
kecepatan sedang.
Ponsel Tora yang ia letakkan diatas dashboard
sesaat setelah ia memeriksa kembali ponselnya
saat masuk kedalam mobil tadi, kini berkedip
menandakan ada pesan atau panggilan masuk.
Tora mengambil ponselnya dengan tangan
satunya yang tak memegang stir mobil, ia
membuka sebuah pesan yang masuk.
wajahnya tersenyum tampak lega setelah
membaca pesan itu.
[ Aku dirumah pa, ada apa?
ah, ngomong-ngomong papa dimana sih, kok
lama sekali pulangnya?]
Begitulah kira-kira isi pesan dari anaknya, Hiroto.
“Balasan dari Hiroto!?"
Tebak Saga, ia juga tahu kalu Tora sedang
menunggu pesan dari anaknya.
“Ya, dia ada dirumah baik-baik saja.” Tora
meletakkan kembali ponselnya setelah ia
membalas pesan dari anaknya diatas dashboard
dan kembali fokus menyetir dengan perasaan
tenang kali ini.
Sekitar perjalanan hampir satu jam, mereka
akhirnya tiba didepan aparteman Saga. Tora
harus mengantar kekasihnya pulang kerumah dulu
bukan?
“Terima kasih banyak untuk hari ini, aku senang
sekali.” Ucap Saga tersenyum bahagia. Ia
bersiap-siap untuk turun, namun terurung
karena melihat Tora yang menggeleng padanya.
“Cuma ucapan terima kasih saja?” protes Tora.
“He? Memangnya aku harus mengucapkan apa
lagi? Ah, terima kasih sebanyak-banyaknya?
Beribu-ribu terima kasih untuk Tora! Terima kasih
banyaaakkk…” Saga menambahkan banyak
ucapan terima kasih untuk Tora dengan senyum
mengembang.
Tetapi wajah tora masih datar, Saga jadi bingung.
Tora menggeleng.
“Kau tahu kita baru kencan lagi hari ini setelah
sekian lama ‘kan?”
“Iya!” Saga mengangguk.
“Minggu kemarin tidak berkencan bukan?”
Saga mengangguk.
“Minggu kemarinnya lagi juga tidak ‘kan?”
Saga mengangguk lagi, ia makin bingung apa
maksud pertanyaan Tora itu.
“Minggu kemarinnya lagi, kemarinnya lagi juga
tidak ‘kan?”
Saga mengangguk lagi untuk kesekian kali.
“Kau tahu aku sangat rindu?”
“Ha, rindu? Kita setiap hari bertemu ‘kan?
Dikantor dan hari ini juga sedang bertemu.”
Tora tersenyum, tetapi senyumnya berbeda.
“Ya, kita memang selalu bertemu, tapi aku rindu
itu darimu, yang tak bisa kudapatkan jika berada
dikantor.”
“Itu?”
kening Saga makin mengkerut saja.
Tanpa disadari ternyata tubuh Tora sudah sangat
condong kearahnya.
“Aku rindu bibir ini menempel lagi dibibirku.
Sudah setahun lalu saat aku menembakmu, kau
tahu?”
Sontak mata Saga terbelalak lebar dan terdiam
membatu saat tak sempat lagi ia mengeluarkan
kata-kata karena Tora sudah menempelkan
bibirnya begitu cepat. Yang membuat jantung Saga berdetak makin
kencang sampai rasanya ingin copot adalah
ketika Tora tak kunjung melepas bibirnya dan
makin menambah gerakannya yang kali ini
menjilat dan menhisap bibir Saga
Saga mulai terbuai oleh ciuman itu. Ia hanya bisa
meremat baju depan Tora dan memerima dengan
pasrah apa yang Tora lakukan.
Akhirnya Saga bisa menarik nafas sebanyak-banyak nya setelah Tora menghentikan
ciumannya.
Wajahnya sangat persis seperti tomat matang.
Merah padam.
Tora jadi terkekeh melihatnya,
“Kh, tidak mau masuk ke apartemen?”
“Eh? Ng…Y..Ya. s..sampai jumpa.”
Saga cepat-cepat keluar dari mobil Tora dan
setengah berlari memasuki gedung apatemen itu.
Ia menutup mulutnya sambil menunduk
disepanjang perjalanan menuju ruang
apartemennya.
Sebisa mungkin jangan sampai orang-orang
penghuni apartemen lain yang juga sedang
berlalu-lalang, melihat sikap anehnya. Ia
berusaha menahan senyumnya yang ingin
terkembang sampai ia menggigit bibirnya sendiri
dibalik telapak tangannya untuk menahan senyum
itu.
* * *
Pukul 02.00 dini hari, disaat orang-orang sudah
seharusnya terlelap dengan tenang.
Tetapi tidak dengan seseorang yang sedang
terbaring memejamkan mata dengan raut
wajahnya tampak sangat tidak tenang.
Keningnya mengerut seperti ketakutan, kepalanya menyentak
kekiri dan kanan dengan panik. Ia mengeluarkan
kata-kata yang hampir sama berulang-ulang.
“Tidak!! Maafkan aku!! Ampun… ampuni aku!!”
Kepalanya menghentak kekiri, lalu kekanan, begitu
begitu seterusnya, tak jarang jari-jarinya juga ikut
bergerak.
“Jangan!! Kumohon jangan!!”
“TIDAAAAAKKKK!!!!”
Dengan teriakkan terakhir itu membuatnya
tersentak mebuka mata dengan lebar.
Nafasnya tak beraturan, jantungnya berdegup
kencang dan keringat dipelipisnya mengalir
dengan deras.
Ia melihat kesekelilingnya dan sedikit merasa lega
karena ia masih berada dikamarnya. Ia pikir,
mungkin ia tak bisa keluar lagi dari dalam mimpi
buruknya itu.
Padahal, mimpinya itu sudah tak pernah muncul
lagi. Tapi kenapa sekarang muncul kembali
setelah sekian lama saat ia sudah bisa sedikit
bangkit dari trauma masa lalunya dengan tak
mengingat-ingat lagi kejadian itu?
Pertanda apakah ini?
Ia tak mengerti.
Cepat-cepat ia turun dari tempat tidurnya, ia
keluar dari kamarnya dan menuju kamar lainnya.
Ia langsung membuka pintu kamar yang tidak
terkunci itu. Ada seseorang yang tengah terlelap
disana.
Ia mendekati orang itu dan mengguncang-
guncangkan sedikit bahu orang itu untuk
membangunkannya.
“Papa!!”
orang yang dipanggil papa itu langsung
terbangun. Ia membalik tubuhnya dan melihat
orang yang memanggilnya.
“Hiroto!? Ada apa?”
Tora segera bangun dan duduk diatas tempat
tidurnya. Hiroto naik keatas tempat tidur Tora
dengan air mata yang sudah siap tumpah dan
langsung memeluk ayahnya.
“Papa…hiks… aku… aku…mimpi buruk itu lagi, aku
takut hkksss..”
Tora tersentak. Ia langsung mengerti mimpi apa
yang dimaksud anaknya itu.
Tora mengelus-ngelus kepala hiroto yang ada
dalam pelukannya untuk membuatnya tenang.
Ia juga merasa bingung. Kenapa mimpi itu bisa
muncul lagi.
“Yasudah, kamu tidur disini bersama papa. Tidak
usah takut, mimpi itu hanya menumpang lewat,
bunga tidur yang tak berarti apa-apa.” Tora coba
membuat anaknya untuk tak usah takut.
Tora membaringkan Hiroto disampingnya, setelah
itu ia juga berbaring. Menarik selimut sampai
menutup setengah tubuh mereka.Tora
melingkarkan tangannya pada tubuh Hiroto, tanda
bahwa ia melindungi anak itu.
“Sekarang lupakan mimpi tadi, lalu tidur, oke?!”
“Un…” jawab Hiroto, iapun mulai memejamkan
matanya.
Tsuzuku.
Chapter : 02/??
By : SachiJ6, Sachi_ciel.
Fandom : Alice nine.
Pairing : ToraxSaga.
Genre : AU, OOC,
romance, drama.
Rating : T
Disclaimer: Para tokoh bukan milik saya, Cuma
pinjam nama aja.
Note : Ga yakin, saya nulis cerita apa ini? (plakkk..)
* * *
Hari ini seperti biasa Saga kembali ke rutinitas
sehari-harinya. Kembali berkutat dengan layar
computer dan kertas-kertas yang menumpuk
diatas mejanya.
Dari dalam ruangannya, Tora dapat melihat para
pegawainya bekerja lewat dinding kaca besar
yang hanya tertutup tirai lipat. Tak terkecuali Saga, ia
juga dapat melihat Saga yang sedang duduk
didepan meja kerjanya.
Tora memperhatikan wajah Saga, ia melihat
wajah Saga tampak pucat hari ini.
Tora memanggil sekretarisnya, ia memerintahkan
sekretarisnya untuk memanggil Saga datang
keruangannya.
Selang beberapa menit pintu itu diketuk dari luar,
“Masuk!!”
Pintu itu pun dibuka, menampakkan Saga yang
tengah berdiri diambang pintu.
“Anda memanggil saya?”
“Ya, masuklah”
Saga melangkahkan kakinya mendekati meja
Tora, ia menarik kursi lalu duduk dihadapan Tora
dengan posisi tubuhnya yang sedikit menunduk,
terlihat tampak sedang tak sehat.
“Kulihat wajahmu tampak pucat hari ini, apa
kau sakit?”
Saga sedikit tertegun,
“Ng, tidak, aku sehat-sehat saja.”
“Tapi kau tampak tak sehat. Kalau memang
sedang sakit kau bisa pulang dan istirahat
dirumah, kuberi izin.”
“Tidak, tidak usah. Aku masih sanggup bekerja,
hanya sedikit merasa kelelahan saja,tetapi tidak
apa-apa.”
“Kuharap kau tak usah terlalu memaksakan diri
kalau bekerja. Pikirkan juga kesehatan tubuhmu.”
“Maaf” Saga menunduk.
Sesaat mereka terdiam, sampai akhirnya Saga
menegeluarkan suara.
“Em, masih ada keperluan? Aku sudah bisa
kembali ke mejaku?”
suara Saga terdengar lemah tak bersemangat.
“Saga, aku yakin kau tak sedang baik-baik saja.
Apa ada terjadi sesuatu padamu?”
Ucap Tora yang bukannya menjawab jawaban
Saga tapi malah balik melontarkan pertanyaan.
Tora mengulurkan tangannya kehadapan wajah
Saga lalu mengusap pelan pipi Saga dengan ibu
jarinya.
Ia sungguh merasa khawatir.
Saga segera menurunkan tangan Tora, karena ia
tak mau jika perlakuan atasannya itu sampai dilihat oleh pegawai -pegawai
yang lain, karena ruangan itu memiliki celah-
celah yang tak tertutup tirai, yang jika orang
lewat bisa langsung melihat kedalam ruangan
Tora.
Padahal semua pegawai tahu hubungan mereka,
tapi Saga tetap saja malu jika Tora bersikap
seperti itu ditempat umum.
“Aku tidak apa-apa Tora, sungguh!”
“Benar??”
Tora menjauhkan tangannya.
Saga menganguk sambil tersenyum untuk
meyakinkan Tora.
“Yasudah, kembalilah bekerja. Tapi ingat, jika
memang sakit cepat katakan padaku.”
“Un, terima kasih. Aku permisi.”
Saga bangun dari kursi tersebut, ia menuju pintu
dan membukanya. Sosok Saga pun hilang dibalik
pintu dan kembali terlihat saat ia melewati kaca
jendela.
Tora menghela nafas lega. Lalu ia pun membuka
Laptop-nya karena ia juga harus bekerja.
Namun sebelum menarikan jari-jarinya diatas
keyboard, Tora seperti teringat sesuatu.
Masih ada yang ingin disampaikan pada Saga, namun karena tak mungkin ia memanggil Saga lagi, maka ia mengambil ponselnya yang terletak
diatas meja lalu mengetikkan sebuah pesan.
Saga melihat layar ponselnya menyala, pertanda
bahwa ada pesan atau telepon masuk. Saga
mengambil ponsel diatas mejanya dan melihat
ada sebuah pesan disana.
Ia segera membuka pesan itu dan membacanya.
[ From: Tora
Maaf mengganggu pekerjaan anda sebentar tuan
Saga,
haha…
Tadi aku lupa menanyakan padamu, emm.. hari
minggu nanti bagaimana kalau kita jalan-jalan?]
Saga tersentak lalu tak kuasa menahan senyumnya membaca pesan itu.
Bukankah itu sama saja dengan namanya
berkencan? Tentu saja Saga mau, mereka sudah
lama tidak jalan-jalan, ditambah lagi sepertinya ia
memang butuh refreshing.
Saga langsung menjawab pesan itu dengan kata,
[Boleh, kau sedang tak sibuk 'kan? ]
Tora tersenyum senang dari dalam sana, karena
ia melihat gerak-gerik Saga dari celah-celah tirai
ruangannya.
[ Kalau aku sibuk, aku tak mengajakmu, haha.
Oke, akan kujemput jam 10 pagi.] balasnya.
Dengan begitu Tora menutup ponselnya dan
kembali fokus pada pekerjaannya.
* * *
Hanya disaat hari minggu Saga tak perlu merasa
panik jika bangun terlambat. Ia bisa memuaskan
jam tidurnya dihari itu setelah enam hari
kebelakang waktu tidurnya banyak terkuras.
Ia membuka matanya, meregangkan tubuhnya lalu
bangkit dari tempat tidur.
ia turun dari tempat tidur dan membuka tirai
jendela.
Sinar matahari yang masuk lewat jendela
sudah terasa cukup panas.
Saga merasa tubuhnya sudah lumayan segar
karena tidur yang sudah lebih dari cukup.
ia menumpukan kedua tangannya di atas bingkai
jendela sambil menikmati udara dan
pemandangan di pagi hari. Burung kecil terbang
kesana-kemari lalu berhenti didahan pohon dan
berkicau memanggil teman-temannya.
Merasa sudah cukup, Saga melankahkan kaki nya
menjauh dari jendela. Ia melihat jam yang terletak
diatas meja kecil samping tempat tidurnya.
Matanya langsung terbelalak melihat jarum jam
yang sudah menunjukkan pukul 09.30 pagi.
Ia buru-buru mengambil handuknya dan masuk ke
kamar mandi.
Sebentar lagi Tora datang untuk menjemputnya!
Sedangkan ia sama sekali belum bersiap-siap.
Mungkin sampai Tora datang pun Saga masih
santai jika saja ia tak melihat jam, yang langsung
mengingatkannya pada agenda hari ini.
Masuk ke kamar mandi, Saga langsung berdiri di
depan wastafel terlebih dahulu untuk menyikat
gigi, ia menatap wajahnya sendiri pada cermin
dihadapannya.
Ia melihat wajahnya masih tampak sedikit pucat,
pantas belakangan Tora sangat
mengkhawatirkannya.
Selesai menggosok gigi, Saga berdiri dibawah
shower, membasahi seluruh tubuhnya.
siraman air shower yang membasahi tubuhnya
membuat tenang sampai memejamkan matanya
merasakan ketenangan itu.
Selesai dengan aktivitas mandinya, Saga keluar
dari kamar mandi dan menuju lemari pakaian.
Agak kebingungan ia memilih baju yang akan ia
kenakan hari ini, karena sudah lama ia tak pergi
keluar bersama Tora karena pekerjaan mereka
yang padat.
Dann akhirnya Saga hanya memakai pakaian
simple, celana jeans hitam kaos abu-abu dan jaket
abu-abu, mengingat ia tak punya banyak waktu
juga untuk memilih pakaian, sebentar lagi Tora
akan tiba.
Setelah mengenakan pakaiannya lengkap, Saga
berdiri didepan cermin untuk sedikit menata
rambutnya yang bewarna coklat terang itu.
Bibirnya yang tampak pucat itu pun iya oleskan
sedikit lipbalm agar tak kering dan sedikit
menyamarkan.
Saga menoleh kaget kearah jendelanya begitu
mendengar suara klakson mobil diluar sana. Ia
melangkah ke jendela untuk memastikan bahwa
itu benar Tora atau bukan.
Segera ia selesaikan kegiatannya didepan cermin
setelah melihat bahwa yang datang adalah benar
Tora. Ia menuju pintu lalu memakai sepatunya
dan keluar dari apartemen sederhananya.
Tapi tiba-tiba Saga menghentikan langkahnya
ketika baru saja ia menuruni tiga anak tangga, ia
kembali ke apartemannya untuk mengambil
ponselnya yang tertinggal.
“Maaf, menunggu lama.”
Ucap Saga setelah masuk dan duduk dibangku
mobil disebelah bangku kemudi tempat Tora
duduk.
Tora menoleh, sesaat tatapannya tampak terpana
terhadap Saga.
“Daijobu, emm.. kau tampak segar hari ini”
“Ya, aku tidur cukup, haha…”
“Dan cantik,” lanjut Tora, membuat Saga seketika
wajahnya berubah cemberut.
“Kok cantik?!”
“Memang kenyataannya seperti itu” jawab Tora
dengan senyum lebar dibibirnya.
Tora kembali menoleh kedepan dan menjalankan
mobilnya sedangkan Saga terdiam masih
cemberut.
Mobil melaju kesebuah tempat yang sudah
direncanakan Tora.
“Odaiba?”
seru Saga saat ia membaca tulisan papan nama
wilayah yang mereka datangi.
“Hm, sudah lama tidak kesini ‘kan?” Tora
menoleh sesaat melihat Saga lalu kembali fokus
kedepan.
Pantai di teluk Tokyo, tempat mereka pertama kali
datang di kencan pertama. Ingatan Saga kembali
pada saat itu. Membuatnya tak sabar agar cepat-cepat sampai disana. Tempat yang penuh
kenangan manis bagi mereka.
Mereka tiba dipantai Odaiba pada jam yang belum
terlalu terik, oleh karena itu mereka bisa bermain
dulu di pantai itu. Bermain pasir dan air laut.
Saga masih sibuk berjalan dipantai sambil
menikmati pemandangan saat Tora menarik dan
menggenggam tangannya. Saga sedikit tersentak
dan membuatnya jadi malu.
Tak terasa mereka berjalan-jalan hingga tiba
disebuah batu besar dibawah pohon.
mereka memutuskan untuk istirahat
sejenak, duduk diatas batu besar itu.
Mereka berbincang-bincang seru disana, ekspresi
Saga yang muncul mulai dari diam, lalu
tersenyum sampai tertawa. Sesekali tersipu malu
juga terkadang cemberut karena tak henti-
hentinya digoda oleh Tora.
“Hahaha… kau ada-ada saja Tora” Saga tak bisa
menghentikan tawanya mendengar ucapan konyol
Tora yang bercerita ingin jadi merman dan
menikah dengan Saga, mereka hidup dilaut tanpa
ada satupun mesin, kertas-kertas, pekerjaan yang
membuat otaknya pecah, hidup damai dibawah
laut tanpa ada polusi udara.
“Saga!”
Tawa Saga terhenti saat Tora memanggilnya
dengan memasang wajah serius.
“Ya!?”
Saga menoleh, matanya mengisyratkan
pertanyaan.
“Aku serius, ingin menikahimu.”
Tak terlihat sedikitpun gelagat lelucon dalam
tatapan mata itu, membuat jantung Saga brdetak
lebih kencang dari biasanya. Ini serius!?
“Tapi, tidak mungkin secepat ini ‘kan, kamu
tahu…”
“Ya, aku tahu. Masih perlu banyak persiapan
untuk menuju kesitu” potong Tora.
“Maka dari itu, aku ingin kau memakai ini dulu
sebagai tanda bahwa kau milikku, tidak bisa
dimiliki oleh orang lain lagi…” lanjut Tora sambil
tersenyum. Ia mengeluarkan sebuah benda
berbentuk kotak kecil dari dalam saku celananya,
lalu membuka kotak kecil itu dan
menyodorkannya kehadapan Saga.
Kejutan yang diberikan Tora sukses membuat
mata Saga melebar.
Sudah sejak kapan Tora mempersiapkan ini?
Karena setahunya Tora tak punya waktu luang
untuk pergi-pergi keluar. Tapi kenyataanya benda
itu ada didepan matanya, benda yang akan jadi penanda untuk
mengikat hubungan mereka lebih erat. Ia masih
tak menyangka kalau hubungan mereka akan
berlanjut makin serius.
“K..kapan kamu membelinya?” Saga masih
terpana akan keindahan benda itu, benda
melingkar yang mengkilap indah bewarna perak. Disebelah
dalamnya terukir nama Tora dengan begitu
elegan.
“Sudah, tak perlu tahu kapan aku membelinya
‘kan. Itu tak penting. Sekarang, kau harus
memakai cincin ini.”
Tora menarik tangan kiri Saga lalu memasangkan
cincin itu dijari manis Saga.
“Pas!!” Tora tersenyum senang melihat cincin
pilihannya ternyata pas dijari Saga.
sedangkan Saga tak bisa berkata apa-apa lagi, ia
hanya bisa menatap jarinya kini yang sudah
tersemat cincin pengikat dari Tora sambil
tangannya yang satu lagi menutup mulutnya
saking tak bisa berkata apa-apa karena terlalu
bahagia.
“Dan dijariku, ada nama Saga dibalik sini,” Tora
mengankat tangan kirinya.
“He? Kapan kamu memakainya?”
“Sejak dari rumah,”
Saga tertegun. Ia baru menyadari jika Tora sudah
memakai cincin itu sejak dari rumah.
“Haa.. kok aku tak melihat?”
“Kau saja yang tak menyadari!” Tora menarik
hidung kekasihnya yang bak perosotan itu dengan
gemas.
Cepat-cepat Saga melepas tangan Tora sebelum
ia kehabisan nafas.
“Sakit Tora!!” Saga mengelus-elus hidungnya
yang sedikit merah itu dengan wajah sebal.
“Hei, wajahmu jelek kalau seperti itu.”
“Biarkan Saja!” mulut Saga masih manyun.
Tora hanya bisa terkekeh melihat sikap
kekasihnya.
Tak terasa hari sudah siang, mereka memutuskan
beranjak dari tempat itu menuju restoran untuk
mengisi perut mereka yang sudah terasa kosong.
Mereka masuk kesebuah restoran dan memilih
tempat duduk dipinggir supaya bisa melihat
pemandangan diluar sana yang mengarah kelaut
sambil mereka menikmati makanan.
Jarum jam sudah menunjuk pada angka empat.
Mereka memutuskan untuk pulang. Sudah cukup
lama mereka berada di pantai itu.
Tora juga mengkhawatirkan anaknya yang
ditinggal sendiri dirumah. Masih bagus jika Hiroto
mengahbiskan waktu liburnya dirumah dengan
bermain game sepanjang hari, tapi bagaimana
kalau dia pergi bersama teman-temannya tanpa
bilang padanya kemana ia pergi? Karena pernah
pada waktu itu ia bermain dengan teman-
temannya sampai pulang larut malam.
Pada saat itu Tora langsung menghukumnya tidak boleh
keluar rumah kecuali kesekolah selama seminggu.
Hiroto masih seorang anak yang sedang
bertumbuh. Emosinya masih labil, apalagi ia anak
yang hyperaktif, jika diajak bermain pasti
langsung mau. Maka Hiroto masih harus dalam
pengawasan ketat.
Tora khawatir kejadian itu terulang kembali,
karena sejak ia mengirim pesan dari masih
direstoran tadi, Hiroto belum membalas pesannya
sama sekali. Ditelpon pun ia tak menjawab.
walau ia percaya anaknya tidak akan mengulangi
hal itu lagi, tetapi ia tetap khawatir.
Tora melajukan mobilnya menuju jalan
pulang. Karena kendaraan yang cukup ramai
memenuhi jalan dihari minggu ini, membuatnya
tak bisa sedikit menaikkan lebih tinggi lagi angka
speedometernya agar cepat sampai rumah. Ia
harus bersabar melajukan mobilnya dengan
kecepatan sedang.
Ponsel Tora yang ia letakkan diatas dashboard
sesaat setelah ia memeriksa kembali ponselnya
saat masuk kedalam mobil tadi, kini berkedip
menandakan ada pesan atau panggilan masuk.
Tora mengambil ponselnya dengan tangan
satunya yang tak memegang stir mobil, ia
membuka sebuah pesan yang masuk.
wajahnya tersenyum tampak lega setelah
membaca pesan itu.
[ Aku dirumah pa, ada apa?
ah, ngomong-ngomong papa dimana sih, kok
lama sekali pulangnya?]
Begitulah kira-kira isi pesan dari anaknya, Hiroto.
“Balasan dari Hiroto!?"
Tebak Saga, ia juga tahu kalu Tora sedang
menunggu pesan dari anaknya.
“Ya, dia ada dirumah baik-baik saja.” Tora
meletakkan kembali ponselnya setelah ia
membalas pesan dari anaknya diatas dashboard
dan kembali fokus menyetir dengan perasaan
tenang kali ini.
Sekitar perjalanan hampir satu jam, mereka
akhirnya tiba didepan aparteman Saga. Tora
harus mengantar kekasihnya pulang kerumah dulu
bukan?
“Terima kasih banyak untuk hari ini, aku senang
sekali.” Ucap Saga tersenyum bahagia. Ia
bersiap-siap untuk turun, namun terurung
karena melihat Tora yang menggeleng padanya.
“Cuma ucapan terima kasih saja?” protes Tora.
“He? Memangnya aku harus mengucapkan apa
lagi? Ah, terima kasih sebanyak-banyaknya?
Beribu-ribu terima kasih untuk Tora! Terima kasih
banyaaakkk…” Saga menambahkan banyak
ucapan terima kasih untuk Tora dengan senyum
mengembang.
Tetapi wajah tora masih datar, Saga jadi bingung.
Tora menggeleng.
“Kau tahu kita baru kencan lagi hari ini setelah
sekian lama ‘kan?”
“Iya!” Saga mengangguk.
“Minggu kemarin tidak berkencan bukan?”
Saga mengangguk.
“Minggu kemarinnya lagi juga tidak ‘kan?”
Saga mengangguk lagi, ia makin bingung apa
maksud pertanyaan Tora itu.
“Minggu kemarinnya lagi, kemarinnya lagi juga
tidak ‘kan?”
Saga mengangguk lagi untuk kesekian kali.
“Kau tahu aku sangat rindu?”
“Ha, rindu? Kita setiap hari bertemu ‘kan?
Dikantor dan hari ini juga sedang bertemu.”
Tora tersenyum, tetapi senyumnya berbeda.
“Ya, kita memang selalu bertemu, tapi aku rindu
itu darimu, yang tak bisa kudapatkan jika berada
dikantor.”
“Itu?”
kening Saga makin mengkerut saja.
Tanpa disadari ternyata tubuh Tora sudah sangat
condong kearahnya.
“Aku rindu bibir ini menempel lagi dibibirku.
Sudah setahun lalu saat aku menembakmu, kau
tahu?”
Sontak mata Saga terbelalak lebar dan terdiam
membatu saat tak sempat lagi ia mengeluarkan
kata-kata karena Tora sudah menempelkan
bibirnya begitu cepat. Yang membuat jantung Saga berdetak makin
kencang sampai rasanya ingin copot adalah
ketika Tora tak kunjung melepas bibirnya dan
makin menambah gerakannya yang kali ini
menjilat dan menhisap bibir Saga
Saga mulai terbuai oleh ciuman itu. Ia hanya bisa
meremat baju depan Tora dan memerima dengan
pasrah apa yang Tora lakukan.
Akhirnya Saga bisa menarik nafas sebanyak-banyak nya setelah Tora menghentikan
ciumannya.
Wajahnya sangat persis seperti tomat matang.
Merah padam.
Tora jadi terkekeh melihatnya,
“Kh, tidak mau masuk ke apartemen?”
“Eh? Ng…Y..Ya. s..sampai jumpa.”
Saga cepat-cepat keluar dari mobil Tora dan
setengah berlari memasuki gedung apatemen itu.
Ia menutup mulutnya sambil menunduk
disepanjang perjalanan menuju ruang
apartemennya.
Sebisa mungkin jangan sampai orang-orang
penghuni apartemen lain yang juga sedang
berlalu-lalang, melihat sikap anehnya. Ia
berusaha menahan senyumnya yang ingin
terkembang sampai ia menggigit bibirnya sendiri
dibalik telapak tangannya untuk menahan senyum
itu.
* * *
Pukul 02.00 dini hari, disaat orang-orang sudah
seharusnya terlelap dengan tenang.
Tetapi tidak dengan seseorang yang sedang
terbaring memejamkan mata dengan raut
wajahnya tampak sangat tidak tenang.
Keningnya mengerut seperti ketakutan, kepalanya menyentak
kekiri dan kanan dengan panik. Ia mengeluarkan
kata-kata yang hampir sama berulang-ulang.
“Tidak!! Maafkan aku!! Ampun… ampuni aku!!”
Kepalanya menghentak kekiri, lalu kekanan, begitu
begitu seterusnya, tak jarang jari-jarinya juga ikut
bergerak.
“Jangan!! Kumohon jangan!!”
“TIDAAAAAKKKK!!!!”
Dengan teriakkan terakhir itu membuatnya
tersentak mebuka mata dengan lebar.
Nafasnya tak beraturan, jantungnya berdegup
kencang dan keringat dipelipisnya mengalir
dengan deras.
Ia melihat kesekelilingnya dan sedikit merasa lega
karena ia masih berada dikamarnya. Ia pikir,
mungkin ia tak bisa keluar lagi dari dalam mimpi
buruknya itu.
Padahal, mimpinya itu sudah tak pernah muncul
lagi. Tapi kenapa sekarang muncul kembali
setelah sekian lama saat ia sudah bisa sedikit
bangkit dari trauma masa lalunya dengan tak
mengingat-ingat lagi kejadian itu?
Pertanda apakah ini?
Ia tak mengerti.
Cepat-cepat ia turun dari tempat tidurnya, ia
keluar dari kamarnya dan menuju kamar lainnya.
Ia langsung membuka pintu kamar yang tidak
terkunci itu. Ada seseorang yang tengah terlelap
disana.
Ia mendekati orang itu dan mengguncang-
guncangkan sedikit bahu orang itu untuk
membangunkannya.
“Papa!!”
orang yang dipanggil papa itu langsung
terbangun. Ia membalik tubuhnya dan melihat
orang yang memanggilnya.
“Hiroto!? Ada apa?”
Tora segera bangun dan duduk diatas tempat
tidurnya. Hiroto naik keatas tempat tidur Tora
dengan air mata yang sudah siap tumpah dan
langsung memeluk ayahnya.
“Papa…hiks… aku… aku…mimpi buruk itu lagi, aku
takut hkksss..”
Tora tersentak. Ia langsung mengerti mimpi apa
yang dimaksud anaknya itu.
Tora mengelus-ngelus kepala hiroto yang ada
dalam pelukannya untuk membuatnya tenang.
Ia juga merasa bingung. Kenapa mimpi itu bisa
muncul lagi.
“Yasudah, kamu tidur disini bersama papa. Tidak
usah takut, mimpi itu hanya menumpang lewat,
bunga tidur yang tak berarti apa-apa.” Tora coba
membuat anaknya untuk tak usah takut.
Tora membaringkan Hiroto disampingnya, setelah
itu ia juga berbaring. Menarik selimut sampai
menutup setengah tubuh mereka.Tora
melingkarkan tangannya pada tubuh Hiroto, tanda
bahwa ia melindungi anak itu.
“Sekarang lupakan mimpi tadi, lalu tidur, oke?!”
“Un…” jawab Hiroto, iapun mulai memejamkan
matanya.
Tsuzuku.
Rabu, 16 April 2014
Brother relationship 8
Title : Brother relationship
Written by : Sachi
Chapter : 8/?
Fandom: Alice Nine, OC.
Pairing(s): Tora x Saga, Shou x Saga, more to come.
Genre: AU, Drama gaje, ancur-ancuran, crack gagal.
Rating: T
Disclaimer: Tora is mine.
*Yang percaya saya ucapkan terima kasih banyak*
(Dibakar idup-idup)
* * *
Di pagi hari itu datanglah dua orang tamu yang memang sudah ditunggu kedatangannya.
Seorang pria berwajah ramah juga sedang tersenyum ramah pada penghuni rumah.
Disebelahnya, ada anaknya yang duduk sambil mengemut permen lolipopnya, kedua kakinya ia naikkan ke atas sofa dan duduk melipat dengan tangan yang juga ia lipat didepan dada.
Sesekali tangannya memegang gagang lolipop sekedar untuk mengubah posisi lolipop didalam mulutnya.
Lalu ia kembali melipat tangannya.
Shou yang duduk dihadapan mereka terdiam sambil mengerutkan kening melihat sikap anak didepannya itu.
"Dia Hiroto anak paman??"
Shou bertanya pada ayah si anak, ia lalu menoleh ke samping melihat ibunya.
"Dia sepupu yang ibu ceritakan?"
Ibu Shou mengangguk anggun.
"Ahaha... iya ini anak paman,"
Ayah Hiroto mendekat pada anaknya lalu menyikut lengan anaknya itu dan berbisik,
"Sapa Shou-niichan!"
Bocah itu menoleh dan melihat pada Shou, wajahnya cemberut malas.
"Yo!"
Ia mengangkat satu tangannya untuk menyapa, setelah itu langsung membuang muka ke arah lain.
Shou yang melihat hanya mengerjapkan mata beberapa kali. Padahal ia sempat tersenyum tadi untuk menyapa anak itu namun seketika senyumnya hilang melihat sikapnya yang sepertinya tak ramah.
"Silahkan minum, Ogata-nii,"
Ibu Shou mempersilahkan ayah Hiroto untuk minum.
"Ya, terima kasih. Ngomong-ngomong jam berapa suamimu pulang?"
Kedua orang tua itu berbincang-bincang masalah kehidupan mereka karena sudah lama juga tidak bertemu.
Hiroto bangkit dari sofa itu merasa tak penting mendengar perbincangan antar orang tua itu.
"Mau kemana Hiroto??"
"Mencari tempat santai yang enak,"
Hiroto menjawab sambil tetap melangkah tanpa menoleh ke ayahnya.
Ia mencari sendiri di bagian rumah itu yang bisa digunakan untuk bersantai dengan aman tanpa gangguan walaupun ia baru pertama kali datang ke rumah itu.
Ia memang suka mencari sendiri sesuatu yang baru dan tak suka bertanya pada orang lain.
Hiroto menemukan teras samping rumah, ada dua bangku kayu dengan satu meja kecil ditata ditengah di antara dua kursi kayu itu.
Hiroto duduk disalah satu bangkunya dan mengeluarkan game portable dari dalam sakunya.
Permen lolipop masih ada dalam mulutnya, ia pindahkan kesamping permen itu hingga membuat pipinya menggembung sebelah.
Matanya sudah fokus menatap layar
game portablenya dan mulai memainkan jari-jarinya di atas tombol kontrol.
Ia sudah memasuki dunianya sendiri sampai tak menyadari Shou berdiri di pintu memanggilnya.
"Hei!!"
Panggil Shou ke sekian kali dan kali ini dengan nada sedikit kesal karena panggilannya terus di abaikan.
"Apa sih!?"
Hiroto menjawab dengan ketus. Ia sama sekali tak menoleh. Matanya terus fokus pada layar gamenya.
"Tidak ada, tadinya mau mengobrol denganmu, tapi melihat aku sepertinya di abaikan terus, ya tidak jadi."
"Ck,"
Hiroto hanya mendengus, ia benar-benar tak menoleh sedikitpun. Malah jari-jarinya makin bergerak lebih kencang di atas tombol gamenya, ia terlalu seru memainkan permainan itu. Benar-benar tak mau diganggu.
Saat Shou kesal dan hendak membalik tubuhnya untuk masuk kembali kedalam rumah, ia mendengar beberapa suara yang familiar ditelinganya, tengah ribut di ruang depan.
"Tora? Saga?"
Tebaknya, dan seketika mereka langsung muncul dihadapannya dengan wajah sumringah tengah menuju ketempatnya.
"Hei, Shou-nii, sudah bertemu anak paman Ogata!?"
Shou menggaruk kepalanya sesaat dan tersenyum terpaksa.
"Ya, ada diluar... silahkan kalian berkenalan."
Shou menunjuk ke arah belakangnya.
Tora dan Saga langsung menuju teras itu dan suara sapaan Saga membuat Hiroto sangat terganggu.
"Huaaa... kamu anak paman Ogata? Kawaiii"
Hiroto langsung meng-pause gamenya lalu menaikkan bola matanya menatap jengkel pada Saga.
"Siapa kau!?"
Saga terkejut melihat sikap anak itu.
"Aree... aku Saga, anak dari kakak ibumu..."
"Cih, tidak penting."
Hiroto kembali memainkan gamenya.
"Oii... sombong sekali kau bocah!!?"
Tora langsung tersulut emosinya melihat orang bersikap sombong seperti itu seolah-olah lebih kuat darinya.
Hiroto kembali mem-pause gamenya dan menatap Tora.
"Kau siapa lagi!? Manusia macan, mau mengaku sebagai anak saudara ibuku juga!? Dan kita saudara sepupu begitu?"
Seketika urat-urat disekujur tubuh Tora menegang.
"Siapa yang mau jadi saudara sepupu dengan bocah sombong sepertimu!? Rambut dikeritingkan, memangnya kau kerabat singa Afrika!?"
Hiroto makin menanjak emosinya.
Ia naik keatas kursi yang ia duduki hingga tingginya jauh melibihi tiga saudara sepupunya yang ada disitu.
"Suka-suka aku dong, ada masalah!?"
Tora yang tak mau kalah juga ikut-ikutan naik ke atas kursi.
Ia menaiki kursi satunya dan bertolak pinggang melotot pada Hiroto.
"Kau mau sok tinggi ha!?"
"Cih, walaupun kau tinggi kau pikir aku takut!!?"
"Cih, sialan kau bocah!!"
Tora langsung menarik kerah Hiroto yang langsung bisa ditepis Hiroto hingga tangannya terlepas dari kerah baju Hiroto.
Tora sangat marah hingga ia mau menonjok anak itu namun langsung dicegah Shou dan Saga.
"Hei, hei, Tora jangan!!"
Saga menahan tangan Tora.
Shou berada ditengah diantara Tora dan Hiroto merentangkan kedua tangannya untuk mencegah mereka berkelahi.
"Sudah, sudah, jangan berkelahi. Kau juga Tora, sama anak SMP saja kau lawan."
"Cih, bagaimana tidak ku lawan, dia sombong begitu."
Tora turun dari kursi itu dan masuk kedalam.
Niat awalnya untuk bertemu sepupunya yang lain dengan hati gembira malah jadinya begini.
Hiroto hanya mendengus lalu ia kembali duduk dan mulai memainkan kembali gamenya.
Saga dan Shou salaing melihat, mereka berdua mengangguk lalu sepakat untuk meninggalkan Hiroto sendiri.
Daripada di ajak bicara lagi, yang ada mereka ikut marah seperti Tora nantinya.
Shou dan Saga melangkah kedalam.Shou melihat tak ada Tora disekitar mereka, entah kemana dia, mungkin ketempat ibu dan pamannya? Tiba-tiba ia memanggil Saga.
"Hei, Saga!"
Saga menoleh,
"Apa Shou-nii?"
"Kita kekamar ku saja yuk, main piano."
"Eh, boleh. Ayo!"
Mereka berbelok lalu menaiki tangga menuju kamar Shou. Serasa mendapat keberuntungan hari ini, Shou tak bisa menyembunyikan senyum lebarnya.
"Bagaimana kalau kita berduet?"
"Oke!"
Saga dengan semangat duduk di bangku piano klasik bewarna coklat tua itu, disusul Shou duduk disampingnya. Karena beruntung bangku itu agak panjang hingga bisa diduduki dua orang walau agak dempet namun itu yang membuat Shou sangat senang.
"Mau memainkan lagu apa!?"
"Simfoni no.5 Beethoven!?"
Tanya Shou?
"Oke,"
"Mulai!!"
Keduanya menarikan jari-jari mereka di atas tuts-tuts piano dan tersenyum dengan gembiranya.
Saga tersenyum gembira karena kebahagiaannya memainkan piano, dan Shou tersenyum bahagia oleh hal yang lain. Yang pastinya menyangkut soal Saga.
Tora mendengar suara dentingan piano itu.
Ia mengeluarkan tangannya yang memegang remot TV dari balik punggungnya, ia pikir Shou dan Saga akan menyusulnya ke ruang TV dan berebut remot TV dengannya, karena ia ingat saat masuk melewati ruang TV itu, ada acara TV kesukaan Shou hari ini. Jadi ia buru-buru mengambil remot TV dan menyembunyikannya debelakang punggungnya untuk membuat Shou kesal.
Tapi kenyataannya tidak berjalan sesuai rencana. Shou dan Saga tidak melewati ruang TV.
Ia tahu piano dirumah Shou dipindahkan kekamar Shou semenjak ia masuk kuliah seni musik.
Dan sekarang piano itu berbunyi, pasti ada yang memainkannya 'kan?
"Cih, sial!!"
Tora cepat-cepat berdiri dari sofa dan berlari ke kamar Shou.
Ia membuka pintu kamar Shou tanpa mengetuk atau memanggil orang pemilik kamar saking ia takut Shou melakukan sesuatu pada Saga. Walau hal sekecil atau sewajar apapun sebagai saudara sepupu ia tetap tak rela jika itu Shou yang melakukannya.
Namun sialnya ia tak bisa mengatakan terang-terangan ketidakrelaannya itu, terlalu aneh dirasa pada Saga.
"Wow, sedang main piano ya, ikut dong!"
Tora langsung menyerobot duduk disamping Saga dan mendorong Saga hingga Saga tergeser dan membuat Shou hampir jatuh karena ikut terdorong oleh ulah Tora.
"Apa sih, kau Tora! datang-datang menggaggu saja."
"Aku 'kan mau ikut main piano. Iya 'kan Saga?"
Tora kaget melihat wajah Saga yang cemberut.
"Apa sih, Tora-nii mengganggu saja. Datang langsung serobot tempat duduk saja, kalau mau ikut main minta baik-baik dong,"
"Lho, Saga kok gitu? Memangnya nii-chan tidak boleh ikut main?"
"Bukan tidak boleh, tapi caranya tidak begitu."
"Ya maaf, deh, habis Nii-chan takut terjadi hal yang tidak di inginkan, jadi ya harus cepat-cepat bertindak."
"Apa sih?"
Saga tak mengerti dengan apa yang dimaksud Tora. Akan tetapi ia tak memikirkan itu. Jarinya mulai kembali memainkan tuts piano.
"Ayo, Shou-nii kita mulai lagi..."
"Lho, nii-chan tidak di ajak main!?"
Tora tampak mulai berisik lagi.
"Memangnya Tora-nii bisa amin piano!?"
Tora menggaruk tengkuknya.
"Tidak sih,"
"Ya sudah, sana dengarkan kami main saja."
Saga menyuruh Tora untuk pindah duduk ke tempat lain agar Shou bisa kembali duduk di bangku panjang itu dan melanjutkan main piano.
Tora duduk di pinggir kasur dengan wajah masamnya.
Sebelum memainkan jarinya dia atas tuts piano, Shou menyempatkan diri untuk menoleh pada Tora yang sudah pindah tempat duduk di pinggir kasur untuk memperlihatkannya sebuah senyum kemenangan.
"Apa-apa'an muka jelekmu itu!!"
Tora langsung melempar bantal ke wajah Shou yang kena telak.
Shou yang tak terima langsung bangkit hendak membalas perbuatan Tora.
"Sialan kau macan!!"
Ia membawa bantal yang tadi kena ke wajahnya untuk balas memukul wajah Tora.
"Wajahmu yang sialan, kau mengejekku 'kan!?"
Tora menahan serangan bantal dari Shou, dengan tangan kirinya ia mengambil bantal yang lain dan memukul wajah Shou.
"Hei, kalian apa-apa'an sih! Seperti anak kecil. Sudah hentikan!!"
Saga berada ditengah-tengah mereka untuk melerainya, namun Tora dan Shou seperti tak menggubris.
Pertarungan malah makin sengit, saling memukul wajah tanpa henti.
Akibat posisi Tora yang tidak beruntung karena ia duduk sedangkan Shou berdiri, maka Shou lebih bisa mengeluarkan tenaganya penuh hingga membuat Tora jatuh kebelakang hingga terlentang akibat dorongannya.
Secepat kilat Shou naik ke atas tempat tidur dan menginjakkan kakinya di atas perut Tora.
"Yeahh... hahahaha.... kau berani melawanku!!?"
"Uhuk!! Woy!! Kau mau membunuhku ha!?"
"Hanya di injak tak akan membuatmu mati,"
"Shou-niichan!! Hentikan!"
Shou menatap ke arah Saga.
Matanya memicing seperri kerasukan setan.
"Diam dan duduk manis disana! Ini pertarungan harga diri."
"Hah! Terserah kalian sajalah,"
Saga yang capek akhirnya menyerah.
"Woy! Pindahkan kakimu dari perutku yang sixpack!! Aku membentuknya berbulan-bulan kau tahu."
"Oh ya? Mungkin kalau ku injak begini akan tambah datar. Sepertinya bagus."
"Sialan kau mata jengkol!"
Tora memegang kaki Shou lalu mengangkatnya dengan kekuatan penuh membuat Shou kehilangan keseimbangan dan akhirnya jatuh.
Tora cepat-cepat bangkit dan duduk di atas perut Shou.
"Yeaahh! Sekarang siapa yang kalah!!?"
Dengan kakinya Tora menginjak pergelangan tangan Shou di sisi kiri dan kanan nya agar tak bisa melawannya.
"Uhuk!! Woy!! Lepaskan tanganku!! Tanganku mulai kesemutan!"
"Dasar kau kakek-kakek! Hahaha...
Karena kau sudah menginjak perut sixpack-ku sekarang akan kubalas kau.
Tora menoleh pada Saga.
"Saga, tolong ambilkan spidol!"
"Ambil saja sendiri, aku tak ikut main dengan kalian."
Tanpa menoleh Saga tetap memainkan piano Shou, memainkan musik bertempo cepat suasana terlihat makin membara.
"Saga kalau kau mau ambil spidolnya, setelah ini selesai akan ku traktir kau pizza dengan topping rasa kebab yang baru dirilis kemarin,"
Saga menghentikan permainan pianonya lalu menoleh ke arah Tora.
"Benarkah!?"
"Jangan percaya padanya Saga, kau dibohongi. tak ada pizza rasa ke- mphh.."
Tora menutup mulut Shou dengan telapak tangannya yang selebar daun talas.
Tora tersenyum ke arah Saga,
"bagaiman? mau 'kan?"
Dalam Hati Shou merapal mantra.
"jangan mau Saga, jangan mau," berulang-berulang.
Ia mulai meringis merasakan tangannya kesemutan terlalu lama di injak Tora.
"Oke!"
Saga beranjak dari tempat duduk, ia mngerlingkan matanya mencari dimana Shou menyimpan spidolnya. Ia mengambil spidol di meja belajar Shou di dalam laci.
Seketika Shou merasa seperti cermin yang retak, lalu pecah dan jatuh berkeping-keping.
"Oke, Shou, aku tahu cewek-cewek di kampus selalu suka akan senyuman manismu, maka dari itu aku akan membuat senyummu tambah manis.
Ah, Saga memang pintar ya, pas sekali mengambil spidol merah."
"Hu!? Semua spidol didalam laci Shou-nii bewarna merah."
Saga jadi penasaran apa yang akan dilakukan Tora, tanpa sadar ia seperti ikut menganiaya Shou karena tak melarangnya sedikitpun lagi tapi malah menonton.
Tora mulai menggerakkan mata spidol di atas garis bibi shou, mengikutinya sampai pada sudut bibirnya ia malah melewati sudut itu dan menarik garis warna merah itu sampai telinga Shou.
"Oi, Tora!! Sialan, kau apakan wajahku!?
Cukup! Kalau kau melakukannya lagi akan kubeberkan rahasia mu!?"
"Hm.. rahasia apa? Sepertinya aku tak pernah cerita apa-apa padamu."
Tanpa peduli, Tora lanjut mewarnai pipi Shou membentuk senyum nan lebar.
membuatnya tak bisa menahan tawanya.
hingga akhirnya tawanya meledak.
"Hei, Saga, kau tak tahu 'kan, waktu SMP dulu si macan mesum ini masuk ke kamarmu diam-diam dan mengambil pakaian dalammu."
"APA!!!!???"
Keduanya berteriak apa.
Tora berteriak karena tak menyangka Shou tahu perbuatan bejatnya.
Saga berteriak karena ia Shock mengetahui Tora berbuat seperti itu.
Saga langsung menatap macan yang seperti sudah ketakutan itu dengan matanya yang melotot lebar.
"Dasar macan mesuuuuummm!!!"
Dengan sepenuh hati jiwa raga Saga menjambak rambut Tora dan menggoyang-goyangkan kepala tora maju mundur tak peduli yang punya kepala akan pusing seperti habis naik jetcoaster.
Yang jelas ia marah dan malu.
Kesempatan itu di ambil Shou untuk melepaskan diri.
"Rasakan akibat ulahmu macan mesum. Huhf, pergelangan tanganku sakit sekali."
Shou mengurut sedikit pergelangan tangannya lalu siap membalas perbuatan Tora padanya.
"S...saga... aku minta maaf.. arrgh..."
"Tak ada maaf bagimu..."
"Ya, teruskan saja Saga..."
"Hei! kau jangan mengompori..."
Tora menjambak rambut Shou lalu mencekik leher Shou, tak terlalu kuat, hanya untu menyalurkan kekesalannya saja.
"Aarghh! Kau masih juga.."
Shou membalas mencekik leher Tora.
Dengan Saga yang masih menjambak rambut Tora dan menguncang-guncangnya.
Mereka bertiga berkerumun disitu.
"Arrgh.. aku minta maaf.. aku minta maaf..."
"Kalian dipanggil ke ruang makan..."
Saking serunya mereka menyiksa satu sama lain sampai tak menyadari seseorang berdiri di ambang pintu dengan wajah malasnya.
Malas menyaksikan keajaiban didepan matanya itu.
"KALIAN DI PANGGIL KE RUANG MAKAN!!!"
Untungnya telinga mereka masih berfungsi mendengar suara keras.
Ketiganya langsung terhenti dan menoleh ke asal suara.
"Hiroto!!??"
Setelah berteriak cukup keras tadi, Hiroto langsung pergi dari depan kamar itu masih dengan tampang malasnya.
Tsuzuku.
Written by : Sachi
Chapter : 8/?
Fandom: Alice Nine, OC.
Pairing(s): Tora x Saga, Shou x Saga, more to come.
Genre: AU, Drama gaje, ancur-ancuran, crack gagal.
Rating: T
Disclaimer: Tora is mine.
*Yang percaya saya ucapkan terima kasih banyak*
(Dibakar idup-idup)
* * *
Di pagi hari itu datanglah dua orang tamu yang memang sudah ditunggu kedatangannya.
Seorang pria berwajah ramah juga sedang tersenyum ramah pada penghuni rumah.
Disebelahnya, ada anaknya yang duduk sambil mengemut permen lolipopnya, kedua kakinya ia naikkan ke atas sofa dan duduk melipat dengan tangan yang juga ia lipat didepan dada.
Sesekali tangannya memegang gagang lolipop sekedar untuk mengubah posisi lolipop didalam mulutnya.
Lalu ia kembali melipat tangannya.
Shou yang duduk dihadapan mereka terdiam sambil mengerutkan kening melihat sikap anak didepannya itu.
"Dia Hiroto anak paman??"
Shou bertanya pada ayah si anak, ia lalu menoleh ke samping melihat ibunya.
"Dia sepupu yang ibu ceritakan?"
Ibu Shou mengangguk anggun.
"Ahaha... iya ini anak paman,"
Ayah Hiroto mendekat pada anaknya lalu menyikut lengan anaknya itu dan berbisik,
"Sapa Shou-niichan!"
Bocah itu menoleh dan melihat pada Shou, wajahnya cemberut malas.
"Yo!"
Ia mengangkat satu tangannya untuk menyapa, setelah itu langsung membuang muka ke arah lain.
Shou yang melihat hanya mengerjapkan mata beberapa kali. Padahal ia sempat tersenyum tadi untuk menyapa anak itu namun seketika senyumnya hilang melihat sikapnya yang sepertinya tak ramah.
"Silahkan minum, Ogata-nii,"
Ibu Shou mempersilahkan ayah Hiroto untuk minum.
"Ya, terima kasih. Ngomong-ngomong jam berapa suamimu pulang?"
Kedua orang tua itu berbincang-bincang masalah kehidupan mereka karena sudah lama juga tidak bertemu.
Hiroto bangkit dari sofa itu merasa tak penting mendengar perbincangan antar orang tua itu.
"Mau kemana Hiroto??"
"Mencari tempat santai yang enak,"
Hiroto menjawab sambil tetap melangkah tanpa menoleh ke ayahnya.
Ia mencari sendiri di bagian rumah itu yang bisa digunakan untuk bersantai dengan aman tanpa gangguan walaupun ia baru pertama kali datang ke rumah itu.
Ia memang suka mencari sendiri sesuatu yang baru dan tak suka bertanya pada orang lain.
Hiroto menemukan teras samping rumah, ada dua bangku kayu dengan satu meja kecil ditata ditengah di antara dua kursi kayu itu.
Hiroto duduk disalah satu bangkunya dan mengeluarkan game portable dari dalam sakunya.
Permen lolipop masih ada dalam mulutnya, ia pindahkan kesamping permen itu hingga membuat pipinya menggembung sebelah.
Matanya sudah fokus menatap layar
game portablenya dan mulai memainkan jari-jarinya di atas tombol kontrol.
Ia sudah memasuki dunianya sendiri sampai tak menyadari Shou berdiri di pintu memanggilnya.
"Hei!!"
Panggil Shou ke sekian kali dan kali ini dengan nada sedikit kesal karena panggilannya terus di abaikan.
"Apa sih!?"
Hiroto menjawab dengan ketus. Ia sama sekali tak menoleh. Matanya terus fokus pada layar gamenya.
"Tidak ada, tadinya mau mengobrol denganmu, tapi melihat aku sepertinya di abaikan terus, ya tidak jadi."
"Ck,"
Hiroto hanya mendengus, ia benar-benar tak menoleh sedikitpun. Malah jari-jarinya makin bergerak lebih kencang di atas tombol gamenya, ia terlalu seru memainkan permainan itu. Benar-benar tak mau diganggu.
Saat Shou kesal dan hendak membalik tubuhnya untuk masuk kembali kedalam rumah, ia mendengar beberapa suara yang familiar ditelinganya, tengah ribut di ruang depan.
"Tora? Saga?"
Tebaknya, dan seketika mereka langsung muncul dihadapannya dengan wajah sumringah tengah menuju ketempatnya.
"Hei, Shou-nii, sudah bertemu anak paman Ogata!?"
Shou menggaruk kepalanya sesaat dan tersenyum terpaksa.
"Ya, ada diluar... silahkan kalian berkenalan."
Shou menunjuk ke arah belakangnya.
Tora dan Saga langsung menuju teras itu dan suara sapaan Saga membuat Hiroto sangat terganggu.
"Huaaa... kamu anak paman Ogata? Kawaiii"
Hiroto langsung meng-pause gamenya lalu menaikkan bola matanya menatap jengkel pada Saga.
"Siapa kau!?"
Saga terkejut melihat sikap anak itu.
"Aree... aku Saga, anak dari kakak ibumu..."
"Cih, tidak penting."
Hiroto kembali memainkan gamenya.
"Oii... sombong sekali kau bocah!!?"
Tora langsung tersulut emosinya melihat orang bersikap sombong seperti itu seolah-olah lebih kuat darinya.
Hiroto kembali mem-pause gamenya dan menatap Tora.
"Kau siapa lagi!? Manusia macan, mau mengaku sebagai anak saudara ibuku juga!? Dan kita saudara sepupu begitu?"
Seketika urat-urat disekujur tubuh Tora menegang.
"Siapa yang mau jadi saudara sepupu dengan bocah sombong sepertimu!? Rambut dikeritingkan, memangnya kau kerabat singa Afrika!?"
Hiroto makin menanjak emosinya.
Ia naik keatas kursi yang ia duduki hingga tingginya jauh melibihi tiga saudara sepupunya yang ada disitu.
"Suka-suka aku dong, ada masalah!?"
Tora yang tak mau kalah juga ikut-ikutan naik ke atas kursi.
Ia menaiki kursi satunya dan bertolak pinggang melotot pada Hiroto.
"Kau mau sok tinggi ha!?"
"Cih, walaupun kau tinggi kau pikir aku takut!!?"
"Cih, sialan kau bocah!!"
Tora langsung menarik kerah Hiroto yang langsung bisa ditepis Hiroto hingga tangannya terlepas dari kerah baju Hiroto.
Tora sangat marah hingga ia mau menonjok anak itu namun langsung dicegah Shou dan Saga.
"Hei, hei, Tora jangan!!"
Saga menahan tangan Tora.
Shou berada ditengah diantara Tora dan Hiroto merentangkan kedua tangannya untuk mencegah mereka berkelahi.
"Sudah, sudah, jangan berkelahi. Kau juga Tora, sama anak SMP saja kau lawan."
"Cih, bagaimana tidak ku lawan, dia sombong begitu."
Tora turun dari kursi itu dan masuk kedalam.
Niat awalnya untuk bertemu sepupunya yang lain dengan hati gembira malah jadinya begini.
Hiroto hanya mendengus lalu ia kembali duduk dan mulai memainkan kembali gamenya.
Saga dan Shou salaing melihat, mereka berdua mengangguk lalu sepakat untuk meninggalkan Hiroto sendiri.
Daripada di ajak bicara lagi, yang ada mereka ikut marah seperti Tora nantinya.
Shou dan Saga melangkah kedalam.Shou melihat tak ada Tora disekitar mereka, entah kemana dia, mungkin ketempat ibu dan pamannya? Tiba-tiba ia memanggil Saga.
"Hei, Saga!"
Saga menoleh,
"Apa Shou-nii?"
"Kita kekamar ku saja yuk, main piano."
"Eh, boleh. Ayo!"
Mereka berbelok lalu menaiki tangga menuju kamar Shou. Serasa mendapat keberuntungan hari ini, Shou tak bisa menyembunyikan senyum lebarnya.
"Bagaimana kalau kita berduet?"
"Oke!"
Saga dengan semangat duduk di bangku piano klasik bewarna coklat tua itu, disusul Shou duduk disampingnya. Karena beruntung bangku itu agak panjang hingga bisa diduduki dua orang walau agak dempet namun itu yang membuat Shou sangat senang.
"Mau memainkan lagu apa!?"
"Simfoni no.5 Beethoven!?"
Tanya Shou?
"Oke,"
"Mulai!!"
Keduanya menarikan jari-jari mereka di atas tuts-tuts piano dan tersenyum dengan gembiranya.
Saga tersenyum gembira karena kebahagiaannya memainkan piano, dan Shou tersenyum bahagia oleh hal yang lain. Yang pastinya menyangkut soal Saga.
Tora mendengar suara dentingan piano itu.
Ia mengeluarkan tangannya yang memegang remot TV dari balik punggungnya, ia pikir Shou dan Saga akan menyusulnya ke ruang TV dan berebut remot TV dengannya, karena ia ingat saat masuk melewati ruang TV itu, ada acara TV kesukaan Shou hari ini. Jadi ia buru-buru mengambil remot TV dan menyembunyikannya debelakang punggungnya untuk membuat Shou kesal.
Tapi kenyataannya tidak berjalan sesuai rencana. Shou dan Saga tidak melewati ruang TV.
Ia tahu piano dirumah Shou dipindahkan kekamar Shou semenjak ia masuk kuliah seni musik.
Dan sekarang piano itu berbunyi, pasti ada yang memainkannya 'kan?
"Cih, sial!!"
Tora cepat-cepat berdiri dari sofa dan berlari ke kamar Shou.
Ia membuka pintu kamar Shou tanpa mengetuk atau memanggil orang pemilik kamar saking ia takut Shou melakukan sesuatu pada Saga. Walau hal sekecil atau sewajar apapun sebagai saudara sepupu ia tetap tak rela jika itu Shou yang melakukannya.
Namun sialnya ia tak bisa mengatakan terang-terangan ketidakrelaannya itu, terlalu aneh dirasa pada Saga.
"Wow, sedang main piano ya, ikut dong!"
Tora langsung menyerobot duduk disamping Saga dan mendorong Saga hingga Saga tergeser dan membuat Shou hampir jatuh karena ikut terdorong oleh ulah Tora.
"Apa sih, kau Tora! datang-datang menggaggu saja."
"Aku 'kan mau ikut main piano. Iya 'kan Saga?"
Tora kaget melihat wajah Saga yang cemberut.
"Apa sih, Tora-nii mengganggu saja. Datang langsung serobot tempat duduk saja, kalau mau ikut main minta baik-baik dong,"
"Lho, Saga kok gitu? Memangnya nii-chan tidak boleh ikut main?"
"Bukan tidak boleh, tapi caranya tidak begitu."
"Ya maaf, deh, habis Nii-chan takut terjadi hal yang tidak di inginkan, jadi ya harus cepat-cepat bertindak."
"Apa sih?"
Saga tak mengerti dengan apa yang dimaksud Tora. Akan tetapi ia tak memikirkan itu. Jarinya mulai kembali memainkan tuts piano.
"Ayo, Shou-nii kita mulai lagi..."
"Lho, nii-chan tidak di ajak main!?"
Tora tampak mulai berisik lagi.
"Memangnya Tora-nii bisa amin piano!?"
Tora menggaruk tengkuknya.
"Tidak sih,"
"Ya sudah, sana dengarkan kami main saja."
Saga menyuruh Tora untuk pindah duduk ke tempat lain agar Shou bisa kembali duduk di bangku panjang itu dan melanjutkan main piano.
Tora duduk di pinggir kasur dengan wajah masamnya.
Sebelum memainkan jarinya dia atas tuts piano, Shou menyempatkan diri untuk menoleh pada Tora yang sudah pindah tempat duduk di pinggir kasur untuk memperlihatkannya sebuah senyum kemenangan.
"Apa-apa'an muka jelekmu itu!!"
Tora langsung melempar bantal ke wajah Shou yang kena telak.
Shou yang tak terima langsung bangkit hendak membalas perbuatan Tora.
"Sialan kau macan!!"
Ia membawa bantal yang tadi kena ke wajahnya untuk balas memukul wajah Tora.
"Wajahmu yang sialan, kau mengejekku 'kan!?"
Tora menahan serangan bantal dari Shou, dengan tangan kirinya ia mengambil bantal yang lain dan memukul wajah Shou.
"Hei, kalian apa-apa'an sih! Seperti anak kecil. Sudah hentikan!!"
Saga berada ditengah-tengah mereka untuk melerainya, namun Tora dan Shou seperti tak menggubris.
Pertarungan malah makin sengit, saling memukul wajah tanpa henti.
Akibat posisi Tora yang tidak beruntung karena ia duduk sedangkan Shou berdiri, maka Shou lebih bisa mengeluarkan tenaganya penuh hingga membuat Tora jatuh kebelakang hingga terlentang akibat dorongannya.
Secepat kilat Shou naik ke atas tempat tidur dan menginjakkan kakinya di atas perut Tora.
"Yeahh... hahahaha.... kau berani melawanku!!?"
"Uhuk!! Woy!! Kau mau membunuhku ha!?"
"Hanya di injak tak akan membuatmu mati,"
"Shou-niichan!! Hentikan!"
Shou menatap ke arah Saga.
Matanya memicing seperri kerasukan setan.
"Diam dan duduk manis disana! Ini pertarungan harga diri."
"Hah! Terserah kalian sajalah,"
Saga yang capek akhirnya menyerah.
"Woy! Pindahkan kakimu dari perutku yang sixpack!! Aku membentuknya berbulan-bulan kau tahu."
"Oh ya? Mungkin kalau ku injak begini akan tambah datar. Sepertinya bagus."
"Sialan kau mata jengkol!"
Tora memegang kaki Shou lalu mengangkatnya dengan kekuatan penuh membuat Shou kehilangan keseimbangan dan akhirnya jatuh.
Tora cepat-cepat bangkit dan duduk di atas perut Shou.
"Yeaahh! Sekarang siapa yang kalah!!?"
Dengan kakinya Tora menginjak pergelangan tangan Shou di sisi kiri dan kanan nya agar tak bisa melawannya.
"Uhuk!! Woy!! Lepaskan tanganku!! Tanganku mulai kesemutan!"
"Dasar kau kakek-kakek! Hahaha...
Karena kau sudah menginjak perut sixpack-ku sekarang akan kubalas kau.
Tora menoleh pada Saga.
"Saga, tolong ambilkan spidol!"
"Ambil saja sendiri, aku tak ikut main dengan kalian."
Tanpa menoleh Saga tetap memainkan piano Shou, memainkan musik bertempo cepat suasana terlihat makin membara.
"Saga kalau kau mau ambil spidolnya, setelah ini selesai akan ku traktir kau pizza dengan topping rasa kebab yang baru dirilis kemarin,"
Saga menghentikan permainan pianonya lalu menoleh ke arah Tora.
"Benarkah!?"
"Jangan percaya padanya Saga, kau dibohongi. tak ada pizza rasa ke- mphh.."
Tora menutup mulut Shou dengan telapak tangannya yang selebar daun talas.
Tora tersenyum ke arah Saga,
"bagaiman? mau 'kan?"
Dalam Hati Shou merapal mantra.
"jangan mau Saga, jangan mau," berulang-berulang.
Ia mulai meringis merasakan tangannya kesemutan terlalu lama di injak Tora.
"Oke!"
Saga beranjak dari tempat duduk, ia mngerlingkan matanya mencari dimana Shou menyimpan spidolnya. Ia mengambil spidol di meja belajar Shou di dalam laci.
Seketika Shou merasa seperti cermin yang retak, lalu pecah dan jatuh berkeping-keping.
"Oke, Shou, aku tahu cewek-cewek di kampus selalu suka akan senyuman manismu, maka dari itu aku akan membuat senyummu tambah manis.
Ah, Saga memang pintar ya, pas sekali mengambil spidol merah."
"Hu!? Semua spidol didalam laci Shou-nii bewarna merah."
Saga jadi penasaran apa yang akan dilakukan Tora, tanpa sadar ia seperti ikut menganiaya Shou karena tak melarangnya sedikitpun lagi tapi malah menonton.
Tora mulai menggerakkan mata spidol di atas garis bibi shou, mengikutinya sampai pada sudut bibirnya ia malah melewati sudut itu dan menarik garis warna merah itu sampai telinga Shou.
"Oi, Tora!! Sialan, kau apakan wajahku!?
Cukup! Kalau kau melakukannya lagi akan kubeberkan rahasia mu!?"
"Hm.. rahasia apa? Sepertinya aku tak pernah cerita apa-apa padamu."
Tanpa peduli, Tora lanjut mewarnai pipi Shou membentuk senyum nan lebar.
membuatnya tak bisa menahan tawanya.
hingga akhirnya tawanya meledak.
"Hei, Saga, kau tak tahu 'kan, waktu SMP dulu si macan mesum ini masuk ke kamarmu diam-diam dan mengambil pakaian dalammu."
"APA!!!!???"
Keduanya berteriak apa.
Tora berteriak karena tak menyangka Shou tahu perbuatan bejatnya.
Saga berteriak karena ia Shock mengetahui Tora berbuat seperti itu.
Saga langsung menatap macan yang seperti sudah ketakutan itu dengan matanya yang melotot lebar.
"Dasar macan mesuuuuummm!!!"
Dengan sepenuh hati jiwa raga Saga menjambak rambut Tora dan menggoyang-goyangkan kepala tora maju mundur tak peduli yang punya kepala akan pusing seperti habis naik jetcoaster.
Yang jelas ia marah dan malu.
Kesempatan itu di ambil Shou untuk melepaskan diri.
"Rasakan akibat ulahmu macan mesum. Huhf, pergelangan tanganku sakit sekali."
Shou mengurut sedikit pergelangan tangannya lalu siap membalas perbuatan Tora padanya.
"S...saga... aku minta maaf.. arrgh..."
"Tak ada maaf bagimu..."
"Ya, teruskan saja Saga..."
"Hei! kau jangan mengompori..."
Tora menjambak rambut Shou lalu mencekik leher Shou, tak terlalu kuat, hanya untu menyalurkan kekesalannya saja.
"Aarghh! Kau masih juga.."
Shou membalas mencekik leher Tora.
Dengan Saga yang masih menjambak rambut Tora dan menguncang-guncangnya.
Mereka bertiga berkerumun disitu.
"Arrgh.. aku minta maaf.. aku minta maaf..."
"Kalian dipanggil ke ruang makan..."
Saking serunya mereka menyiksa satu sama lain sampai tak menyadari seseorang berdiri di ambang pintu dengan wajah malasnya.
Malas menyaksikan keajaiban didepan matanya itu.
"KALIAN DI PANGGIL KE RUANG MAKAN!!!"
Untungnya telinga mereka masih berfungsi mendengar suara keras.
Ketiganya langsung terhenti dan menoleh ke asal suara.
"Hiroto!!??"
Setelah berteriak cukup keras tadi, Hiroto langsung pergi dari depan kamar itu masih dengan tampang malasnya.
Tsuzuku.
Rabu, 02 April 2014
[FF Oneshot] SNB
Title : SNB
Written by : Sachi
Chapter : Oneshot
Fandom : Alice Nine
Pairing : Tora x Saga
Genre : AU, OOC, smut, romance.
Warning : Baka Saga, Saga SNB (Sexy, Naughty, Bitchy) and kid!!!! Get out!!!
Rating : NC-17
Disclaimer : They're not mine. Just this fic absolutely mine.
Comment : Haiii... ini fic semut hasil main RP-an sama Dhea. XDDD
cuma ngiseng2 mau ditumpahin jadi ff. Kalo nda bagus biarkan saja ya. XDD
*ditabok*
(=゚ω゚)ノ (* -_・)oO○
"haah~"
Saga menghela nafas untuk ke sekian kalinya.
Ia baru saja dari dapur,
membawa sepiring omelet dan segelas susu
hangat ke kamarnya. Bukan kamarnya seorang diri, tapi kamar bersama kekasihnya.
“Makan dulu Tora.”
Saga meletakkan sepiring omelet dan segelas
susu itu didekat pria berambut hitam yang
sedang sibuk dengan komputernya juga kertas-
kertas yang menumpuk diatas mejanya.
“Hm," jawab Tora dengan hanya bergumam
saja.
Matanya sama sekali tak melirik ke arah
Saga.
Tak hanya omelet dan susu yang sudah ada di
atas meja itu. Tapi sudah ada beberapa cemilan
yang Saga berikan sebelumnya untuk
mengalihkan Tora dari pekerjaannya untuk
istirahat sejenak.
Karena Tora selalu begitu, bekerja terus-menerus
tidak mengingat waktu juga tubuhnya.
Ini yang terakhir Saga membawa makanan,
Karena ia sudah menyerah untuk yang satu itu.
Lihat saja makanan-makanan yang ia bawa
sebelum nya,sudah dingin sama sekali tak
disentuh Tora.
“Tora makan dulu, nanti kau bisa sakit kalau tidak
makan.”
“Iya,sebentar lagi selesai kok”
Jawab Tora dengan jari yang begitu semangatnya
menari-nari diatas keyboard laptop nya.
“haah…”
Lagi,Saga menghela nafas.
Ia mendudukkan dirinya di pinggir kasur.
Menunduk pasrah.
Ia lihat lagi kepada Tora yang matanya sangat
fokus pada layar laptopnya.
Membuat Saga menjatuhkan tubunya diatas kasur
merasa lelah.
Namun saat Saga menjatuhkan tubuhnya, ia
merasakan sesuatu mengganjal dibawah punggungnya.
Saga meraba dibalik punggungnya dan
menemukan sebuah remot AC.
Ia melihat remot tersebut lalu terbesit sebuah ide
dari dalam kepalanya begitu saja.
Ya, habis ia begitu kesal terhadap Tora maka ide jail seperti terprogram dikepalanya untuk melampiaskan kekesalannya.
Saga sedikit tersenyum. Tidak, lebih tepatnya ia
berusaha menahan senyumnya agar tak berubah
menjadi sebuah tawa lebar yang dapat didengar Tora.
Ia melirik Tora yang masih sangat sibuk dengan laptop-nya.
Saga segera membetulkan tubuhnya agar terbaring
dengan benar di atas kasur. Lalu Ia menekan sebuah
tombol pada remote AC tersebut untuk menghidupkannya.
Bunyi "klik" yang dihasilkan oleh suara AC itu pun
tak disadari oleh Tora saking larutnya ia dalam
pekerjaannya.
Selesai menekan tombol pada remote, Saga
menyimpan benda itu dibawah bantal yang
sedang digunakannya.
Ia tersenyum tak sabar menunggu reaksi Tora.
Karena perlahan Suhu udara didalam kamar itu berubah.
Saga mulai membuka satu kancing kemejanya
karena sudah merasakan hawa panas.
Saga mengibas-ngibaskan tangan nya sedikit
menciptakan angin untuk meredakan hawa panas
nya.
Tora yang sedang fokus berkutat dengan laptop
nya itu mulai terganggu dengan hawa panas
tersebut, keringat dipelipisnya mulai muncul
semakin lama semakin banyak hingga ia tak
sanggup lagi.
Ia menghentikan pekerjaannya dan mendonggak dari balik laptopnya mencari Saga untuk meminta
tolong menaikkan Suhu AC-nya, atau jika tak ada Saga dia sendiri yang
akan membetulkan suhu AC nya.
Tapi ternyata Saga ada diruangan itu, Ia malah
tak peduli dengan suhu AC yang turun.
“Saga kena―” Ucapan Tora terhenti, Ia menyerngit
bingung.
Merasa dipanggil, Saga pun menoleh.
Kepala nya yang tadi ia tengadahkan ia turunkan
dan memutar wajahnya kesamping.
“Ada apa Tora?” Tanyanya dengan tangan yang
sedang mengibas-ngibas didekat wajahnya
dengan leher yang sudah berkeringat.
“K…kenapa ruangannya berubah jadi panas? AC-
nya hidup kan?” entah kenapa tiba-tiba Tora jadi
gugup, melihat Saga yang berbaring di atas
tempat tidur dengan kemeja yang beberapa
kancing atasnya terbuka.
Juga baru disadari Tora
kalau Saga mengenakan celana pendek hingga
memperlihatkan paha nya.
“Tidak tahu tuh, Mungkin AC-nya sudah rusak.”
Saga menarik pelan sebelah kakinya bermaksud
ingin menekuknya, membuat sprei putih dikakinya
tertarik mengikuti kakinya yang bergerak mundur
perlahan.
“Toraa…tidakkah kau berikan satu kertas milikmu
untuk kujadikan kipas? Aku kepanasan,”
Dengan mata yang sayu, Saga meminta kepada
Tora.
Cepat-cepat Tora memalingkang wajahnya sambil
mengumpat dalam hati.
Ia mencaro satu kertas yang tak terpakai.
“Ini,ambilah!”
Tora menyodorkan selembar kertas seperti apa
yang Saga minta, tetapi tanpa menolehkan
wajahnya kehadapan Saga.
“Tanganku tak sampai untuk mengambilnya.”
Tora tahu jarak tempat tidur dan meja kerja
tempat ia berada saat ini memang sedikit
jauh, tidak bisa dicapai dengan satu rentangan
tangan saja.
Tapi,apakah Saga tidak bisa bangun? Pikir Tora.
Tora meremat kertas ditangannya dengan
kencang sambil menutup matanya dengan tangan
satunya yang ia topangkan pada keningnya.
Suhu tubuhnya kini panas oleh hal lain.
Tora
membuang buntilan kertas itu asal di lantai.
Tora melepas kacamata nya, menutup laptopnya
tanpa menutup terlebih dahulu software yang
sedang ia gunakan tadi.
Bangun dari kursinya menuju kasur tempat Saga
sedang berbaring.
Menjatuhkan langsung tubuhnya diatas Saga.
“Ugh…ittai Tora, apa-apa’an kau itu?”
Rintih Saga saat tiba-tiba Tora menindihnya
diatas kasur dan menekan lengan nya sedikit
keras.
Wajah mereka hanya terhalang beberapa centi.
Tora menegak ludahnya akan itu,
“Celanaku sempit.”
Bisik Tora menatap dalam ke dalam mata Saga.
Sedangkan Saga hanya menatapnya dengan
tatapan yang dibuat polos.
“hm? Sempit? Kenapa bisa sempit, kau memakai
celana adikmu?”
“Kau pintar bercanda ya, mana mungkin aku
pakai celana adikku hm?!”
“Lalu??”
“Celanaku mendadak sempit karena kau!!”
“Kok karena aku? Memangnya apa yang aku
lakukan?”
Saga mengerling ke arah lain dengan jawabannya
yang seakan tak merasa bersalah.
Tora menjepit pipi saga menggunakan satu
tangannya, membawa wajah Saga untuk menatap
padanya.
“Kau telah membuat celanaku sempit lalu kau
berpura-pura tidak tahu salahmu apa?! Kauu!!”
tatap Tora tajam.
“Memangnya aku melakukan apa sih sampai
celanamu sempit? Aku kan dari tadi hanya
ditempat tidur terus.”
“Ya,kau memang ditempat tidur,tapi kenapa kau
berpose sedemikian rupa di tengah siang hari
bolong begini?”
“W…what? Pose apa? Aku hanya kepanasan.”
Tora berdecak kesal akan jawaban Saga yang
terus dialihkan.
Ia curiga kekasihnya mungkin merencanakan
sesuatu.
Dan Tora merasa harus waspada tak boleh termakan rencana
kekasihnya itu.
Dengan wajah mulai kusut Tora bangkit dari atas
tubuh Saga lalu pergi ke arah kamar mandi.
“Hmph…”
Saga menutup mulutnya menahan tawanya.
Ia bangun lalu duduk di atas tempat tidur sambil
menatap ke arah pintu kamar mandi.
“Ngapain ke kamar mandi Tora?”
“Melonggarkan celanaku!”
Pintu ditutup dengan sedikit kencang menimbulkan suara yang cukup keras.
Saga menjatuhkan tubuhnya berbaring kembali
dengan tangan yang terlentang.Ia tak bisa
menahan senyum yang melebar dibibirnya.
“Toraa..jangan main sendiri lhoo…”
Saga mengubah posisinya menjadi berbaring
menyamping, sebelah tangannya ia gunakan
untuk menopang kepalanya sedangkan matanya
menatap ke arah pintu kamar mandi.
Tiba-tiba pintu kamar mandi terbuka keras.
Menampakkan Tora dengan wajah kusut
bersamaan dengan ikat pinggang yang sudah
terlepas ia pegang di tangannya.
“Apa maksudmu hm?”
“Tidak, aku hanya mengingatkan saja,”
Jawab Saga sambil menutup mulutnya dengan
punggung tangannya.
“Hh…menyusahkanku saja, kau mau mempermainkanku ha?”
"Hmmm...???"
Saga membuat gestur seperti orang sedang berpikir keras. Itu membuat Tora makin kesal.
Ia kembali masuk ke kamar mandi dan terdengarlah suara Tora dengan nada yang beda.
“Ah itte…ck”
Saga hanya terkikik geli.
Kenapa dia tiba-tiba jadi begitu kejam
padaku, bisik Tora pada diri sendiri.
“hh…aahh…”
“Ng?”
Dahi Saga menyerngit penasaran saat mendengar suara Tora
yanga ada di dalam kamar mandi, Ia bangun dan
duduk diatas kasur, memeperhatikan pintu kamar mandi.
“Ini semua kan gara-gara dia.
Hn..itte te te…ssshh…”
Saga segera turun dari tempat tidur lalu berlari ke
pintu kamar mandi dan menempelkan kupingnya
disitu.
“Dia benar-benar melakukannya sendiri?”
Gumam Saga pada diri sendiri. Ia pikir Tora tak benar-benar melakukannya.
“Jika kau ingin bergabung masuklah Saga.”
Saga terperanjat kaget hingga mundur satu
langkah karena ternyata Tora mengetahui
kedatangannya.
“H…ha? Aku cuma mau tahu, kau itu benar-benar
melakukannya ya?”
Pintu terbuka, Tora sudah berdiri didepan pintu.
“Tentu saja aku harus melakukan ini untuk
menyelamatkan 'adikku' yang mulai kesakitan!”
Saga terjengit akan penampilan Tora yang
resleting celananya sudah terbuka.
“Hei, hei, main sendiri begitu tidak bagus untuk
kesehatan Tora”
“Lalu, aku harus apa? Sedangkan sang pelaku tak
mau bertanggung jawab?”
Tora mencondongkan tubuhnya ke arah Saga
dengan tangannya berpegangan pada pinggir bingkai pintu.
“Hee…pelaku? Memangnya aku penjahat?!”
“Ya! Kau penjahat Seme.”
Tanpa aba-aba lagi Tora menarik Saga untuk
masuk ke dalam kamar mandi.
“W..waa…”
Saga sedikit kelimpungan mengatur kaki nya saat
mendadak di tarik Tora.
Tora menutup pintu dan langsung mendempeti
Saga di pintu kamar mandi.
“Ne, aku tahu kau tidak akan membiarkan aku
main sendirian ‘kan?
Kalau main sendiri tidak bagus. Apa itu
sebenarnya alasan untuk bisa bergabung
bersamaku, hn?”
Bisik Tora yang berada tepat di depan batang
hidung Saga sehingga hidung mereka beradu.
Saga menggigit bibirnya merasa malu termakan
kata-kata nya sendiri.
Saga menoleh ke samping untuk menghindar,
namun kesempatan itu digunakan Tora untuk
mendekatkan wajahnya ke pipi Saga lalu
mendekat ke telinga Saga dan berbisik,
“Begitu ya, Jadi kau sering bermain sendiri
sampai tau begitu kalau main sendiri itu tidak
bagus?”
Saga menoleh cepat menghadap ke depan
kembali.
“A…apa? Enak saja! Aku tidak pernah bermain
sendiri begitu.”
Tora melihat wajah dihadapannya dan langsung
menempelkan lembut bibirnya ke bibir Saga.
“Lalu, untuk apa tadi itu kau menggodaku?”
Tanya Tora setelah ia melepas ciuman singkatnya
tetapi jarah wajah mereka masih tak berkurang.
Saga menatap mata Tora, kemudian ia
mendorong tubuh itu.
“Kapan aku menggodamu?”
“Tadi, saat kau bilang kepanasan, padahal aku
tau kau itu mau menggodaku, iya ‘kan?”
Saga mulai tersenyum miring.
“Hmm... tampak seperti itu kah? Aku hanya ingin
membuatmu teralihkan saja kok, habisnya kau sibuk
terus dengan laptop dan kertas-kertas diatas meja mu itu,”
“Tak ada cara lain apa? Kau tahu kan kalau aku
sudah ‘bangun’ seperti ini tak bisa didiamkan lagi? Kau merencanakan
sesuatu hm?”
“Yup! Tidak ada cara lain. Dan soal merencanakan sesuatu,
sepertinya iya”
Saga tersenyum lebar.
“So, you just want to have sex with me hnn?”
Tora kembali mendekatkan wajahnya ke wajah
Saga, menatap mata itu sangat dalam.
“Hm bisa dikatakan iya! Tapi harus dengan
rencanaku yang berjalan lancar dulu”
“Kenapa repot-repot menyusun rencana, tinggal
bilang saja kan, tidak usah membuatku sampai
kesakitan begini!?”
Dengan sedikit geram Tora menarik Saga hendak
keluar kamar mandi menuju tempat tidur.
“Hei, tunggu dulu. Rencanaku harus berjalan
lancar dulu! Lagipula rencana nya tidak se-
merepotkan itu kok.”
Saga menahan Tora supaya tak membawanya
keluar, karena ia masih ingin mengatakan sesuatu
terlebih dahulu; bagian dari rencananya.
“Kau tahu?…”
Ucap Saga menyentuhkan jari tangannya di dada Tora turun kebawah sembari melanjutkan kalimatnya kembali,
“…membuat 'milik' sang seme terbangun lalu
membiarkannya, itu sa-ngat me-nye-nang-kan! “
Jari-Jari Saga terhenti di daerah bawah pusat
Tora dan ia melihat sesuatu itu yang menonjol.
“Uuugh…berdiri~”
“Gh…”
Tora menggigit bibir nya sendiri sambil menatap
Saga.
“Harusnya aku tahu kalau uke ku ini sangat
pervert.”
Tora membisikkan kalimat itu pada telinga Saga
dan tak tahan untuk tak menggigitnya kali ini
sedikit lebih keras.
“Aaakhh…”Saga merasakan sedikit sakit juga geli
ditelinganya.
“Lakukanlah apa yang seharusnya kau lakukan
terhadap sesuatu yang berdiri ini…”
Tora kembali menjilat telinga Saga.
“Bagaimana kalau dipegang?”
Tangan Saga turun dan meremat sedikit benda
milik Tora.
“Keraaass~”
Ujar Saga menatap nakal.
“Aah…sakit Saga, jangan di remas begitu hn!”
Tora menajamkan matanya,
“Please do it with you mouth!”
Di ucapankan dengan sedikit nada penekanan
kemudian memegang rahang Saga dan
menciumnya dalam.
“Mmh…” terpaksa Saga harus menengadahkan
wajahnya untuk menyamai tinggi tubuh Tora yang
lebih tinggi darinya karena Tora tak menundukkan
tubuhnya kali ini.
Namun begitu, Saga cepat mematahkan ciuman
itu.
“Chotto matte kudasai ne~”
Saga meletakkan telunjuknya di dada Tora,
kemudian membawanya turun lagi sampai menyentuh
sesuatu di ujung bawah sana. Kemudian berganti
menatap nakal pada Tora.
“Tidakkah yang ini harus segera ditangani?”
“Ah…kau membuatku tak sabar Saga, kau
membuatku menderita ck. Tapi aku masih bisa
menahan nya, aku tidak akan membiarkan diriku
menderita sendirian, kau harus merasakan hal
yang sama denganku.”
Ucap Tora menyeringai lalu mencium Saga sambil
perlahan tangannya masuk ke dalam celana
pendek Saga dan tangan Satunya kedalam
kemeja Saga melingkarkan tangannya pada tubuh
Saga. membombardir Saga dengan banyak
serangan, Membuat Saga tersentak kaget.
“Aahh!…mmph…tung…”
"Aaahh…” Saga mencoba melepaskan tangannya dari cengkraman Tora, begitu berhasil ia
langsung mengeluarkan
tangan Tora dari dalam
celananya.
“Tidak bisa doong…
rencanaku hampir
berhasil, maka aku tidak
boleh kalah!”
“Lalu, dengan aku ‘berdiri’ seperti ini kau pikir aku sudah kalah? Begitu Saga? Hn? … Aku sama sekali belum
kalah!”
Entah siapa yang mengadakan pertandingan, dengan sendirinya mereka seperti membuat pertandingan.
“Hm…souka? Belum kalah? Punyaku belum berdiri, sedangkan punyamu sudah berdiri dari tadi. Bagaimana kalau … Ditambah
dengan yang ini?!”
Saga mendekat ke arah Tora, bahkan sangat dekat sampai menempel, lalu menggerakkan
tubuhnya hingga miliknya bergesek dengan punya
Tora sambil menatap seduktif.
Tora memejamkan sebelah matanya sambil
menggigit bibirnya untuk menahan nafsunya yang
semakin serasa membludak.
Karena tak ingin status semenya jatuh, ia pun tak
mau hanya tinggal diam. Tora memegang bokong
Saga mendorong Saga hingga jarak mereka lebih
sempit lagi sampai tak ada celah apapun. Lalu
meremat-remat buntilan daging itu, membuat
Saga mulai merasa kesusahan.
“Kh…”
Sial, kalau begini jadinya aku juga yang kena,
umpat Saga dalam hati.
Saga mencoba mendorong tubuh itu untuk
membuat sedikit celah, namun kekuatan Tora
masih lebih besar darinya, jadinya Saga belum
berhasil.
“Apa yang bisa kau lakukan lagi hn?”
Tora menggerakkan badannya menggesek
bendanya pada milik Saga.
Tangan nya yang tadi meremat bokong Saga kini
naik ke punggung Saga dan bergirlya di situ.
Keadaan menjadi berbalik, Saga menggigit bibir
bawahnya menahan sensasi yang menjalar ke
tubuhnya.
Namun Ia masih belum menyerah, Saga kembali
berusaha membuat celah diantaranya dan Tora.
Akhirnya dengan usahanya Saga berhasil
menelusupkan tangannya ke dalam celana Tora
lalu meremat benda yang ada didalamnya.
Saga tersenyum nakal.
Tora yang merasakan bendanya diremas
menjatuhkan dagunya ke pundak Saga, kemudian
memiringkan kepalanya dan mencium leher Saga.
Saga tersenyum lebar.
“Tidak sanggup lagi hm?”
“A-aku bukanya tak sanggup tapi itu sakit…
nnh…”
Tora kembali melanjutkan aktivitasnya mencium
dan menggigit leher Saga salah satu bentuk
pelampiasannya.
“Sakit bukankah berarti tak sanggup lagi?”
Saga menghadapkan kepala Tora kewajahnya dengan satuntabgannya yang bebas.
“Hm?”
Saga menaikkan alisnya sebelah meminta
jawaban atas pertanyaan nya sambil tersenyum.
Tora terdiam melihat wajah Saga mencoba
menyembunyikan ekspresinya yang ingin sekali
memohon tetapi gengsi nya yang juga tak mau
kalah sehingga membuatnya masih bisa bertahan.
“Bagaimana, tidak sanggup ‘kan?”
Ulang Saga.
“Hh…kau senang Saga? Apa yang membuatmu
senang?”
“Tentu saja aku senang. Yang membuatku
senang? Wajah menderitamu~”
Saga menggeleng-gelengkan kepalanya dengan
bibir yang di monyong-monyongkan sambil
menepuk-nepuk sedikit pipi Tora.
“Ck… Shh… Maaf ya, aku sudah terlalu banyak
bersabar,”
Tanpa aba-aba lagi Tora menarik Saga keluar
kamar mandi membawanya ke tempat tidur tanpa
mempedulikan protes dari Saga.
“O-oi!”
Tora menjatuhkan Saga di atas kasur lalu
menindihnya.
Aura gelap seperti mulai terasa.
Tak memperdulikan kalimat apapun yang
dilontarkan Saga, Tora langsung menyerang bibir
Saga seperti tanpa membiarkan Saga menarik
nafas.
“Mmphh…”
Saga mencoba memberontak, mendorong wajah
Tora menjauh sekuat tenaga.
“Sebelum melakukan ini, akuilah sesuatu dulu
Tora!”
Tora terhenti dari kegiatan nya.
Ia melihat Saga.
“Apa yang harus kuakui? Kali ini aku benar-benar
kehilangan kesabaran kau tahu?! Dan kau harus
menerima akibatnya.”
Tora mulai kembali, ia turun ke leher Saga dan
menggigitnya dengan keras sambil tangan nya
mulai membuka kemeja Saga.
Setelah kemeja terbuka Tora turun ke nipple Saga
menghisap benda tersebut sampai memerah.
“Aaargh… Chotto…Toraa…
Akui…akh..akui kalau kau itu sudah kalah..hh..”
Dengan nafas tersenggal Saga masih mencoba
berbicara.
Tora terhenti,
“Apa yang kalah? Aku tidak akan pernah kalah
kau tahu?”
Tora meletakkan kedua lengannya di belakang
pinggang Saga lalu mulutnya menjelajahi perut
Saga, berputar-putar di area itu lalu turun ke
bawah hampir menyentuh benda Saga, tetapi ia
kembali membawa lidahnya naik ke atas.
Seperti sengaja untuk menggoda Saga.
“Aaarghh~”
Saga tak sanggup untuk tak melepaskan
desahannya.
“Tora!! Pertahananmu yang sudah roboh itu
namanya kalah baka!!”
Saga mulai kesal karena Tora sama sekali tak
mengakui kekalahannya.
Saga menarik-narik tangan Tora untuk lepas dari
bawah pinggangnya.
“Apa ini!”
Protes Tora, ia gantian menarik tangan Saga lebih
cepat untuk ia bawa ke atas kepala Saga dan
menguncinya disitu.
Tora mulai kembali mencium perut Saga
berputar-putar di area itu sampai ke bawah
hampir mengenai benda Saga tapi langsun
kembali ke atas lagi, begitu terus berulang-ulang
sampai Saga tak sabar sendiri.
“Kkhhh~”
Saga menggigit bibirnya menahan gejolak yang
muncul dari tubuhnya.
Ini tidak bisa! Teriak Saga dalam hati.
“Ngghh…c-chotto…”
Saga berusaha melepaskan tangannya.
“Apa yang akan kau lakukan lagi?”
Tanya Tora sambil tersenyum dan terus
menikmati perut Saga.
“Kkhhh…”
Saga mendonggak dan perlahan mencoba
membangunkan tubuhnya.
“Tora…c-cukup..hhh…”
“Ssstt…jangan melakukan apapun lagi, haha…”
Tora mendorong Saga kembali supaya uke nya
terbaring dengan benar.
“Aku ingin menikmati ini memangnya salah?”
Tora melahap benda Saga hingga penuh ke mulut
nya.
“Aaahh~”
Pada akhirnya Saga berhasil menjauhkan Tora dari meja kerjanya.
Menjauhkan pandangan mata Tora dari layar laptopnya untuk beralih menatap mata indah Saga.
Menjauhkan pikiran Tora dari kertas-kertas tugasnya beralih memikirkan tubuh sexy Saga.
Menggunakan tangannya kini untuk menyentuh kulit indah Saga sampai pada puncaknya menggunakan 'senjatanya' untuk 'membunuh' Saga...
His Lover.
End.
Written by : Sachi
Chapter : Oneshot
Fandom : Alice Nine
Pairing : Tora x Saga
Genre : AU, OOC, smut, romance.
Warning : Baka Saga, Saga SNB (Sexy, Naughty, Bitchy) and kid!!!! Get out!!!
Rating : NC-17
Disclaimer : They're not mine. Just this fic absolutely mine.
Comment : Haiii... ini fic semut hasil main RP-an sama Dhea. XDDD
cuma ngiseng2 mau ditumpahin jadi ff. Kalo nda bagus biarkan saja ya. XDD
*ditabok*
(=゚ω゚)ノ (* -_・)oO○
"haah~"
Saga menghela nafas untuk ke sekian kalinya.
Ia baru saja dari dapur,
membawa sepiring omelet dan segelas susu
hangat ke kamarnya. Bukan kamarnya seorang diri, tapi kamar bersama kekasihnya.
“Makan dulu Tora.”
Saga meletakkan sepiring omelet dan segelas
susu itu didekat pria berambut hitam yang
sedang sibuk dengan komputernya juga kertas-
kertas yang menumpuk diatas mejanya.
“Hm," jawab Tora dengan hanya bergumam
saja.
Matanya sama sekali tak melirik ke arah
Saga.
Tak hanya omelet dan susu yang sudah ada di
atas meja itu. Tapi sudah ada beberapa cemilan
yang Saga berikan sebelumnya untuk
mengalihkan Tora dari pekerjaannya untuk
istirahat sejenak.
Karena Tora selalu begitu, bekerja terus-menerus
tidak mengingat waktu juga tubuhnya.
Ini yang terakhir Saga membawa makanan,
Karena ia sudah menyerah untuk yang satu itu.
Lihat saja makanan-makanan yang ia bawa
sebelum nya,sudah dingin sama sekali tak
disentuh Tora.
“Tora makan dulu, nanti kau bisa sakit kalau tidak
makan.”
“Iya,sebentar lagi selesai kok”
Jawab Tora dengan jari yang begitu semangatnya
menari-nari diatas keyboard laptop nya.
“haah…”
Lagi,Saga menghela nafas.
Ia mendudukkan dirinya di pinggir kasur.
Menunduk pasrah.
Ia lihat lagi kepada Tora yang matanya sangat
fokus pada layar laptopnya.
Membuat Saga menjatuhkan tubunya diatas kasur
merasa lelah.
Namun saat Saga menjatuhkan tubuhnya, ia
merasakan sesuatu mengganjal dibawah punggungnya.
Saga meraba dibalik punggungnya dan
menemukan sebuah remot AC.
Ia melihat remot tersebut lalu terbesit sebuah ide
dari dalam kepalanya begitu saja.
Ya, habis ia begitu kesal terhadap Tora maka ide jail seperti terprogram dikepalanya untuk melampiaskan kekesalannya.
Saga sedikit tersenyum. Tidak, lebih tepatnya ia
berusaha menahan senyumnya agar tak berubah
menjadi sebuah tawa lebar yang dapat didengar Tora.
Ia melirik Tora yang masih sangat sibuk dengan laptop-nya.
Saga segera membetulkan tubuhnya agar terbaring
dengan benar di atas kasur. Lalu Ia menekan sebuah
tombol pada remote AC tersebut untuk menghidupkannya.
Bunyi "klik" yang dihasilkan oleh suara AC itu pun
tak disadari oleh Tora saking larutnya ia dalam
pekerjaannya.
Selesai menekan tombol pada remote, Saga
menyimpan benda itu dibawah bantal yang
sedang digunakannya.
Ia tersenyum tak sabar menunggu reaksi Tora.
Karena perlahan Suhu udara didalam kamar itu berubah.
Saga mulai membuka satu kancing kemejanya
karena sudah merasakan hawa panas.
Saga mengibas-ngibaskan tangan nya sedikit
menciptakan angin untuk meredakan hawa panas
nya.
Tora yang sedang fokus berkutat dengan laptop
nya itu mulai terganggu dengan hawa panas
tersebut, keringat dipelipisnya mulai muncul
semakin lama semakin banyak hingga ia tak
sanggup lagi.
Ia menghentikan pekerjaannya dan mendonggak dari balik laptopnya mencari Saga untuk meminta
tolong menaikkan Suhu AC-nya, atau jika tak ada Saga dia sendiri yang
akan membetulkan suhu AC nya.
Tapi ternyata Saga ada diruangan itu, Ia malah
tak peduli dengan suhu AC yang turun.
“Saga kena―” Ucapan Tora terhenti, Ia menyerngit
bingung.
Merasa dipanggil, Saga pun menoleh.
Kepala nya yang tadi ia tengadahkan ia turunkan
dan memutar wajahnya kesamping.
“Ada apa Tora?” Tanyanya dengan tangan yang
sedang mengibas-ngibas didekat wajahnya
dengan leher yang sudah berkeringat.
“K…kenapa ruangannya berubah jadi panas? AC-
nya hidup kan?” entah kenapa tiba-tiba Tora jadi
gugup, melihat Saga yang berbaring di atas
tempat tidur dengan kemeja yang beberapa
kancing atasnya terbuka.
Juga baru disadari Tora
kalau Saga mengenakan celana pendek hingga
memperlihatkan paha nya.
“Tidak tahu tuh, Mungkin AC-nya sudah rusak.”
Saga menarik pelan sebelah kakinya bermaksud
ingin menekuknya, membuat sprei putih dikakinya
tertarik mengikuti kakinya yang bergerak mundur
perlahan.
“Toraa…tidakkah kau berikan satu kertas milikmu
untuk kujadikan kipas? Aku kepanasan,”
Dengan mata yang sayu, Saga meminta kepada
Tora.
Cepat-cepat Tora memalingkang wajahnya sambil
mengumpat dalam hati.
Ia mencaro satu kertas yang tak terpakai.
“Ini,ambilah!”
Tora menyodorkan selembar kertas seperti apa
yang Saga minta, tetapi tanpa menolehkan
wajahnya kehadapan Saga.
“Tanganku tak sampai untuk mengambilnya.”
Tora tahu jarak tempat tidur dan meja kerja
tempat ia berada saat ini memang sedikit
jauh, tidak bisa dicapai dengan satu rentangan
tangan saja.
Tapi,apakah Saga tidak bisa bangun? Pikir Tora.
Tora meremat kertas ditangannya dengan
kencang sambil menutup matanya dengan tangan
satunya yang ia topangkan pada keningnya.
Suhu tubuhnya kini panas oleh hal lain.
Tora
membuang buntilan kertas itu asal di lantai.
Tora melepas kacamata nya, menutup laptopnya
tanpa menutup terlebih dahulu software yang
sedang ia gunakan tadi.
Bangun dari kursinya menuju kasur tempat Saga
sedang berbaring.
Menjatuhkan langsung tubuhnya diatas Saga.
“Ugh…ittai Tora, apa-apa’an kau itu?”
Rintih Saga saat tiba-tiba Tora menindihnya
diatas kasur dan menekan lengan nya sedikit
keras.
Wajah mereka hanya terhalang beberapa centi.
Tora menegak ludahnya akan itu,
“Celanaku sempit.”
Bisik Tora menatap dalam ke dalam mata Saga.
Sedangkan Saga hanya menatapnya dengan
tatapan yang dibuat polos.
“hm? Sempit? Kenapa bisa sempit, kau memakai
celana adikmu?”
“Kau pintar bercanda ya, mana mungkin aku
pakai celana adikku hm?!”
“Lalu??”
“Celanaku mendadak sempit karena kau!!”
“Kok karena aku? Memangnya apa yang aku
lakukan?”
Saga mengerling ke arah lain dengan jawabannya
yang seakan tak merasa bersalah.
Tora menjepit pipi saga menggunakan satu
tangannya, membawa wajah Saga untuk menatap
padanya.
“Kau telah membuat celanaku sempit lalu kau
berpura-pura tidak tahu salahmu apa?! Kauu!!”
tatap Tora tajam.
“Memangnya aku melakukan apa sih sampai
celanamu sempit? Aku kan dari tadi hanya
ditempat tidur terus.”
“Ya,kau memang ditempat tidur,tapi kenapa kau
berpose sedemikian rupa di tengah siang hari
bolong begini?”
“W…what? Pose apa? Aku hanya kepanasan.”
Tora berdecak kesal akan jawaban Saga yang
terus dialihkan.
Ia curiga kekasihnya mungkin merencanakan
sesuatu.
Dan Tora merasa harus waspada tak boleh termakan rencana
kekasihnya itu.
Dengan wajah mulai kusut Tora bangkit dari atas
tubuh Saga lalu pergi ke arah kamar mandi.
“Hmph…”
Saga menutup mulutnya menahan tawanya.
Ia bangun lalu duduk di atas tempat tidur sambil
menatap ke arah pintu kamar mandi.
“Ngapain ke kamar mandi Tora?”
“Melonggarkan celanaku!”
Pintu ditutup dengan sedikit kencang menimbulkan suara yang cukup keras.
Saga menjatuhkan tubuhnya berbaring kembali
dengan tangan yang terlentang.Ia tak bisa
menahan senyum yang melebar dibibirnya.
“Toraa..jangan main sendiri lhoo…”
Saga mengubah posisinya menjadi berbaring
menyamping, sebelah tangannya ia gunakan
untuk menopang kepalanya sedangkan matanya
menatap ke arah pintu kamar mandi.
Tiba-tiba pintu kamar mandi terbuka keras.
Menampakkan Tora dengan wajah kusut
bersamaan dengan ikat pinggang yang sudah
terlepas ia pegang di tangannya.
“Apa maksudmu hm?”
“Tidak, aku hanya mengingatkan saja,”
Jawab Saga sambil menutup mulutnya dengan
punggung tangannya.
“Hh…menyusahkanku saja, kau mau mempermainkanku ha?”
"Hmmm...???"
Saga membuat gestur seperti orang sedang berpikir keras. Itu membuat Tora makin kesal.
Ia kembali masuk ke kamar mandi dan terdengarlah suara Tora dengan nada yang beda.
“Ah itte…ck”
Saga hanya terkikik geli.
Kenapa dia tiba-tiba jadi begitu kejam
padaku, bisik Tora pada diri sendiri.
“hh…aahh…”
“Ng?”
Dahi Saga menyerngit penasaran saat mendengar suara Tora
yanga ada di dalam kamar mandi, Ia bangun dan
duduk diatas kasur, memeperhatikan pintu kamar mandi.
“Ini semua kan gara-gara dia.
Hn..itte te te…ssshh…”
Saga segera turun dari tempat tidur lalu berlari ke
pintu kamar mandi dan menempelkan kupingnya
disitu.
“Dia benar-benar melakukannya sendiri?”
Gumam Saga pada diri sendiri. Ia pikir Tora tak benar-benar melakukannya.
“Jika kau ingin bergabung masuklah Saga.”
Saga terperanjat kaget hingga mundur satu
langkah karena ternyata Tora mengetahui
kedatangannya.
“H…ha? Aku cuma mau tahu, kau itu benar-benar
melakukannya ya?”
Pintu terbuka, Tora sudah berdiri didepan pintu.
“Tentu saja aku harus melakukan ini untuk
menyelamatkan 'adikku' yang mulai kesakitan!”
Saga terjengit akan penampilan Tora yang
resleting celananya sudah terbuka.
“Hei, hei, main sendiri begitu tidak bagus untuk
kesehatan Tora”
“Lalu, aku harus apa? Sedangkan sang pelaku tak
mau bertanggung jawab?”
Tora mencondongkan tubuhnya ke arah Saga
dengan tangannya berpegangan pada pinggir bingkai pintu.
“Hee…pelaku? Memangnya aku penjahat?!”
“Ya! Kau penjahat Seme.”
Tanpa aba-aba lagi Tora menarik Saga untuk
masuk ke dalam kamar mandi.
“W..waa…”
Saga sedikit kelimpungan mengatur kaki nya saat
mendadak di tarik Tora.
Tora menutup pintu dan langsung mendempeti
Saga di pintu kamar mandi.
“Ne, aku tahu kau tidak akan membiarkan aku
main sendirian ‘kan?
Kalau main sendiri tidak bagus. Apa itu
sebenarnya alasan untuk bisa bergabung
bersamaku, hn?”
Bisik Tora yang berada tepat di depan batang
hidung Saga sehingga hidung mereka beradu.
Saga menggigit bibirnya merasa malu termakan
kata-kata nya sendiri.
Saga menoleh ke samping untuk menghindar,
namun kesempatan itu digunakan Tora untuk
mendekatkan wajahnya ke pipi Saga lalu
mendekat ke telinga Saga dan berbisik,
“Begitu ya, Jadi kau sering bermain sendiri
sampai tau begitu kalau main sendiri itu tidak
bagus?”
Saga menoleh cepat menghadap ke depan
kembali.
“A…apa? Enak saja! Aku tidak pernah bermain
sendiri begitu.”
Tora melihat wajah dihadapannya dan langsung
menempelkan lembut bibirnya ke bibir Saga.
“Lalu, untuk apa tadi itu kau menggodaku?”
Tanya Tora setelah ia melepas ciuman singkatnya
tetapi jarah wajah mereka masih tak berkurang.
Saga menatap mata Tora, kemudian ia
mendorong tubuh itu.
“Kapan aku menggodamu?”
“Tadi, saat kau bilang kepanasan, padahal aku
tau kau itu mau menggodaku, iya ‘kan?”
Saga mulai tersenyum miring.
“Hmm... tampak seperti itu kah? Aku hanya ingin
membuatmu teralihkan saja kok, habisnya kau sibuk
terus dengan laptop dan kertas-kertas diatas meja mu itu,”
“Tak ada cara lain apa? Kau tahu kan kalau aku
sudah ‘bangun’ seperti ini tak bisa didiamkan lagi? Kau merencanakan
sesuatu hm?”
“Yup! Tidak ada cara lain. Dan soal merencanakan sesuatu,
sepertinya iya”
Saga tersenyum lebar.
“So, you just want to have sex with me hnn?”
Tora kembali mendekatkan wajahnya ke wajah
Saga, menatap mata itu sangat dalam.
“Hm bisa dikatakan iya! Tapi harus dengan
rencanaku yang berjalan lancar dulu”
“Kenapa repot-repot menyusun rencana, tinggal
bilang saja kan, tidak usah membuatku sampai
kesakitan begini!?”
Dengan sedikit geram Tora menarik Saga hendak
keluar kamar mandi menuju tempat tidur.
“Hei, tunggu dulu. Rencanaku harus berjalan
lancar dulu! Lagipula rencana nya tidak se-
merepotkan itu kok.”
Saga menahan Tora supaya tak membawanya
keluar, karena ia masih ingin mengatakan sesuatu
terlebih dahulu; bagian dari rencananya.
“Kau tahu?…”
Ucap Saga menyentuhkan jari tangannya di dada Tora turun kebawah sembari melanjutkan kalimatnya kembali,
“…membuat 'milik' sang seme terbangun lalu
membiarkannya, itu sa-ngat me-nye-nang-kan! “
Jari-Jari Saga terhenti di daerah bawah pusat
Tora dan ia melihat sesuatu itu yang menonjol.
“Uuugh…berdiri~”
“Gh…”
Tora menggigit bibir nya sendiri sambil menatap
Saga.
“Harusnya aku tahu kalau uke ku ini sangat
pervert.”
Tora membisikkan kalimat itu pada telinga Saga
dan tak tahan untuk tak menggigitnya kali ini
sedikit lebih keras.
“Aaakhh…”Saga merasakan sedikit sakit juga geli
ditelinganya.
“Lakukanlah apa yang seharusnya kau lakukan
terhadap sesuatu yang berdiri ini…”
Tora kembali menjilat telinga Saga.
“Bagaimana kalau dipegang?”
Tangan Saga turun dan meremat sedikit benda
milik Tora.
“Keraaass~”
Ujar Saga menatap nakal.
“Aah…sakit Saga, jangan di remas begitu hn!”
Tora menajamkan matanya,
“Please do it with you mouth!”
Di ucapankan dengan sedikit nada penekanan
kemudian memegang rahang Saga dan
menciumnya dalam.
“Mmh…” terpaksa Saga harus menengadahkan
wajahnya untuk menyamai tinggi tubuh Tora yang
lebih tinggi darinya karena Tora tak menundukkan
tubuhnya kali ini.
Namun begitu, Saga cepat mematahkan ciuman
itu.
“Chotto matte kudasai ne~”
Saga meletakkan telunjuknya di dada Tora,
kemudian membawanya turun lagi sampai menyentuh
sesuatu di ujung bawah sana. Kemudian berganti
menatap nakal pada Tora.
“Tidakkah yang ini harus segera ditangani?”
“Ah…kau membuatku tak sabar Saga, kau
membuatku menderita ck. Tapi aku masih bisa
menahan nya, aku tidak akan membiarkan diriku
menderita sendirian, kau harus merasakan hal
yang sama denganku.”
Ucap Tora menyeringai lalu mencium Saga sambil
perlahan tangannya masuk ke dalam celana
pendek Saga dan tangan Satunya kedalam
kemeja Saga melingkarkan tangannya pada tubuh
Saga. membombardir Saga dengan banyak
serangan, Membuat Saga tersentak kaget.
“Aahh!…mmph…tung…”
"Aaahh…” Saga mencoba melepaskan tangannya dari cengkraman Tora, begitu berhasil ia
langsung mengeluarkan
tangan Tora dari dalam
celananya.
“Tidak bisa doong…
rencanaku hampir
berhasil, maka aku tidak
boleh kalah!”
“Lalu, dengan aku ‘berdiri’ seperti ini kau pikir aku sudah kalah? Begitu Saga? Hn? … Aku sama sekali belum
kalah!”
Entah siapa yang mengadakan pertandingan, dengan sendirinya mereka seperti membuat pertandingan.
“Hm…souka? Belum kalah? Punyaku belum berdiri, sedangkan punyamu sudah berdiri dari tadi. Bagaimana kalau … Ditambah
dengan yang ini?!”
Saga mendekat ke arah Tora, bahkan sangat dekat sampai menempel, lalu menggerakkan
tubuhnya hingga miliknya bergesek dengan punya
Tora sambil menatap seduktif.
Tora memejamkan sebelah matanya sambil
menggigit bibirnya untuk menahan nafsunya yang
semakin serasa membludak.
Karena tak ingin status semenya jatuh, ia pun tak
mau hanya tinggal diam. Tora memegang bokong
Saga mendorong Saga hingga jarak mereka lebih
sempit lagi sampai tak ada celah apapun. Lalu
meremat-remat buntilan daging itu, membuat
Saga mulai merasa kesusahan.
“Kh…”
Sial, kalau begini jadinya aku juga yang kena,
umpat Saga dalam hati.
Saga mencoba mendorong tubuh itu untuk
membuat sedikit celah, namun kekuatan Tora
masih lebih besar darinya, jadinya Saga belum
berhasil.
“Apa yang bisa kau lakukan lagi hn?”
Tora menggerakkan badannya menggesek
bendanya pada milik Saga.
Tangan nya yang tadi meremat bokong Saga kini
naik ke punggung Saga dan bergirlya di situ.
Keadaan menjadi berbalik, Saga menggigit bibir
bawahnya menahan sensasi yang menjalar ke
tubuhnya.
Namun Ia masih belum menyerah, Saga kembali
berusaha membuat celah diantaranya dan Tora.
Akhirnya dengan usahanya Saga berhasil
menelusupkan tangannya ke dalam celana Tora
lalu meremat benda yang ada didalamnya.
Saga tersenyum nakal.
Tora yang merasakan bendanya diremas
menjatuhkan dagunya ke pundak Saga, kemudian
memiringkan kepalanya dan mencium leher Saga.
Saga tersenyum lebar.
“Tidak sanggup lagi hm?”
“A-aku bukanya tak sanggup tapi itu sakit…
nnh…”
Tora kembali melanjutkan aktivitasnya mencium
dan menggigit leher Saga salah satu bentuk
pelampiasannya.
“Sakit bukankah berarti tak sanggup lagi?”
Saga menghadapkan kepala Tora kewajahnya dengan satuntabgannya yang bebas.
“Hm?”
Saga menaikkan alisnya sebelah meminta
jawaban atas pertanyaan nya sambil tersenyum.
Tora terdiam melihat wajah Saga mencoba
menyembunyikan ekspresinya yang ingin sekali
memohon tetapi gengsi nya yang juga tak mau
kalah sehingga membuatnya masih bisa bertahan.
“Bagaimana, tidak sanggup ‘kan?”
Ulang Saga.
“Hh…kau senang Saga? Apa yang membuatmu
senang?”
“Tentu saja aku senang. Yang membuatku
senang? Wajah menderitamu~”
Saga menggeleng-gelengkan kepalanya dengan
bibir yang di monyong-monyongkan sambil
menepuk-nepuk sedikit pipi Tora.
“Ck… Shh… Maaf ya, aku sudah terlalu banyak
bersabar,”
Tanpa aba-aba lagi Tora menarik Saga keluar
kamar mandi membawanya ke tempat tidur tanpa
mempedulikan protes dari Saga.
“O-oi!”
Tora menjatuhkan Saga di atas kasur lalu
menindihnya.
Aura gelap seperti mulai terasa.
Tak memperdulikan kalimat apapun yang
dilontarkan Saga, Tora langsung menyerang bibir
Saga seperti tanpa membiarkan Saga menarik
nafas.
“Mmphh…”
Saga mencoba memberontak, mendorong wajah
Tora menjauh sekuat tenaga.
“Sebelum melakukan ini, akuilah sesuatu dulu
Tora!”
Tora terhenti dari kegiatan nya.
Ia melihat Saga.
“Apa yang harus kuakui? Kali ini aku benar-benar
kehilangan kesabaran kau tahu?! Dan kau harus
menerima akibatnya.”
Tora mulai kembali, ia turun ke leher Saga dan
menggigitnya dengan keras sambil tangan nya
mulai membuka kemeja Saga.
Setelah kemeja terbuka Tora turun ke nipple Saga
menghisap benda tersebut sampai memerah.
“Aaargh… Chotto…Toraa…
Akui…akh..akui kalau kau itu sudah kalah..hh..”
Dengan nafas tersenggal Saga masih mencoba
berbicara.
Tora terhenti,
“Apa yang kalah? Aku tidak akan pernah kalah
kau tahu?”
Tora meletakkan kedua lengannya di belakang
pinggang Saga lalu mulutnya menjelajahi perut
Saga, berputar-putar di area itu lalu turun ke
bawah hampir menyentuh benda Saga, tetapi ia
kembali membawa lidahnya naik ke atas.
Seperti sengaja untuk menggoda Saga.
“Aaarghh~”
Saga tak sanggup untuk tak melepaskan
desahannya.
“Tora!! Pertahananmu yang sudah roboh itu
namanya kalah baka!!”
Saga mulai kesal karena Tora sama sekali tak
mengakui kekalahannya.
Saga menarik-narik tangan Tora untuk lepas dari
bawah pinggangnya.
“Apa ini!”
Protes Tora, ia gantian menarik tangan Saga lebih
cepat untuk ia bawa ke atas kepala Saga dan
menguncinya disitu.
Tora mulai kembali mencium perut Saga
berputar-putar di area itu sampai ke bawah
hampir mengenai benda Saga tapi langsun
kembali ke atas lagi, begitu terus berulang-ulang
sampai Saga tak sabar sendiri.
“Kkhhh~”
Saga menggigit bibirnya menahan gejolak yang
muncul dari tubuhnya.
Ini tidak bisa! Teriak Saga dalam hati.
“Ngghh…c-chotto…”
Saga berusaha melepaskan tangannya.
“Apa yang akan kau lakukan lagi?”
Tanya Tora sambil tersenyum dan terus
menikmati perut Saga.
“Kkhhh…”
Saga mendonggak dan perlahan mencoba
membangunkan tubuhnya.
“Tora…c-cukup..hhh…”
“Ssstt…jangan melakukan apapun lagi, haha…”
Tora mendorong Saga kembali supaya uke nya
terbaring dengan benar.
“Aku ingin menikmati ini memangnya salah?”
Tora melahap benda Saga hingga penuh ke mulut
nya.
“Aaahh~”
Pada akhirnya Saga berhasil menjauhkan Tora dari meja kerjanya.
Menjauhkan pandangan mata Tora dari layar laptopnya untuk beralih menatap mata indah Saga.
Menjauhkan pikiran Tora dari kertas-kertas tugasnya beralih memikirkan tubuh sexy Saga.
Menggunakan tangannya kini untuk menyentuh kulit indah Saga sampai pada puncaknya menggunakan 'senjatanya' untuk 'membunuh' Saga...
His Lover.
End.
[FF] Stray cat 1
Title : Stray cat
Written by : Sachi_ciel
Chapter : 01/02 (maybe)
Fandom : Alice nine (Shou,Hiroto)
Genre : AU, Romance
Rating : T
Coment : ff iseng-isengan.(memang semua ff nya
gitu kayaknya)
Judulnya ga nyambung. Tapi pengen aja pake
judul itu biar mirip sama judul lagunya mereka.
=…=
***
Hiroto selesai mengangkat kardus terakhirnya
kedalam tempat tinggal barunya.
Apartemen sederhana yang punya satu buah
kamar untuk tempat tinggalnya selama menuntut
ilmu perguruan tinggi di Tokyo.
Ia sudah memantapkan hatinya untuk
melanjutkan sekolah di ibu kota setelah selama
dari sekolah dasar sampai sekolah menengah
atas ia menjalankannya di kampung halamannya.
Ia melakukan itu untuk menambah ilmu lebih baik
sekaligus mencari pengalaman, untuk
membangun sikap mandiri supaya tak terus
bergantung pada orang tua.
Hiroto merebahkan tubuhnya sejenak diatas sofa
untuk mengistirahatkan otot-otot tubuhnya yg
lelah setelah mengangkat barang-barangnya tadi.
Ia merenggangkan otot-otot tangan dana kakinya
sesaat sebelum mengeluarkan ponselnya untuk
menghubungi
orangtuanya, memberi tahu bahwa ia sampai
dengan selamat dan tak mendapat halangan
apapun.
Selesai menelfon orangtuanya, ia bangkit dari
sofanya, berjalan ke arah jendela dan membuka
tirainya.
Hmm... Lumayan asri, ujarnya dalam hati.
Karena di apartemennya lumayan memiliki banyak
pohon, walau ini dikota yang padat, dan tak
dipungkiri juga sangat dekat dengan jalan.
Yah, namanya juga kota besar, tapi taman kecil
disekitar gedung apartemen ini banyak ditanami
pohon.
Hiroto menjauhkan diri dari depan jendela, ia
mulai membuka tas dan beberapa kardus lagi
yang belum dibongkar untuk dipindahkan pada
tempat-
tempat yg sudah tersedia.
Seperti memindahkan pakaian ke lemari dan lain-
lainnya.
Tak terasa sudah beberapa jam ia menata
apartemennya seorang diri, itu membuatnya
cukup lelah dan juga lapar.
Hiroto mengambil mie instan yang dibawanya dari
rumah untuk kemudian diseduh lalu dimakan.
Namun ia harus sedikit bersabar sepertinya,
karena tak ada dispenser disana.
Ia harus merebus sendiri air mineral botolan yg ia
tuang ke panci kecil.
Sambil menunggu air mendidih, Hiroto
membongkar plastik makanannya terlebih dahulu
untuk mengambil beberapa makanan kecil yang
diberikan ibunya.
Kepala Hiroto terngadah kaget saat ia sedang
jongkok sibuk membongkar plastik berisi
makanan
persediaan yang ia bawa dari rumah.
Ia mendengar dua suara gaungan kucing diluar
sana yang tampak sedang berkelahi sepertinya.
Ia cepat-cepat meletakkan cup mie dan beberapa
makanan kecil diatas meja berjalan ke jendela.
Ia melihat dua ekor kucing tengah berkelahi di
balkon apartemen sebelah yang sepertinya tak
berpenghuni.
Salah satu kucing tampak terpojok disudut
balkon. Ia tampak tak berdaya lagi.
Hiroto mencoba melerai dua kucing itu dengan
mengayun-ngayunkan gagang sapu ke arah dua
kucing itu.
"Hush! Hush! Pergi, jangan berkelahi."
Begitu melihat manusia, kucing itu langsung lari.
Tetapi kucing yang satu nya tidak ikut lari. Kucing
itu duduk dengan tarikan nafas yg seperti
menggebu-gebu.
Hiroto jadi heran. Ia coba mencondongkan
tubuhnya melewati pagar balkon agar bisa
melihat lebih jelas apa yang sedang terjadi pada
kucing bewarna coklat muda itu.
Hiroto tak bisa menemukan jawaban apapun
karena kucing itu duduk membelakanginya. Jadi
ia tak bisa melihat keadaan tubuh si kucing.
Dengan perasaan khawatir karena ia penyayang
binatang, Hiroto nekat keluar dari balkonnya dan
berjalan diatas loteng beberapa langkah untuk
mencapai balkon satunya tempat kucing itu
berada.
Dengan perasaan takut Hiroto terus berjalan
menempel pada dinding untuk mencapai kucing
itu.
Hiroto sedikit lega akhirnya bisa menginjakkan
kakinya di pagar balkon
itu dengan aman. Ia langsung masuk kedalam
balkon itu dan
Segera mengambil kucing tersebut.
"Ya Tuhan, Dia terluka parah!"
Hiroto terkejut melihat luka dikening dan
dada kucing tersebut yang banyak mengeluarkan
darah.
Hiroto kembali menjalankan aksi nya seperti tadi
untuk kembali ke balkon apartemennya. Dengan
sebelah tangannya kini menggendong kucing
terluka itu.
Hiroto menghela nafas selega-leganya karena
berhasil tiba dengan selamat.
Cepat-cepat ia masuk untuk segera mengobati si
kucing namun kembali terkejut melihat panci di
atas kompor yang sudah mengeluarkan asap
karena air nya tak ada lagi, mengering karena
terlalu lama berada di atas kompor menyala.
"Astaga, Airnya!"
Buru-buru ia mematikan kompor dan
memindahkan panci itu dari atas kompor.
Ia menyeka keringat dipelipisnya.
Baru hari pertama ia tinggal disini, sudah
mendapat kejadian yang hampir membahayakan
dirinya.
Hiroto membawa kucing itu kekamarnya untuk
diobati. Karena kotak P3K-nya sudah ia letakkan
disana.
Sedangkan mie yang sudah ia buka tadi ia
biarkan tergeletak dimeja.
Rasanya laparnya tiba-tiba saja hilang.
Hiroto membersihkan luka kucing itu yang
sesekali tersentak, kadang juga melawan tak
tahan oleh rasa sakitnya saat terkena kapas
ditangan Hiroto.
Beberapa kali Hiroto harus terkena garukannya.
Maka cukup lama hiroto merawat luka kucing itu
karena harus hati-hati agar tak membuat rasa
sakit kucing itu bertambah.
Setelah luka-luka kucing itu selesai ia perban,
Hiroto memindahkan kucing itu ke atas tempat
tidurnya. Supaya bisa tidur nyenyak
dan berharap bisa cepat sembuh.
Setelah membereskan kotak obatnya ternyata
perut Hiroto kembali terasa lapar. Akhirnya ia ke
dapur dan kembali merebus air.
Mie instan bisa ia masukkan kedalam perutnya
yang kosong sekarang.
Tak terasa matahari sudah terbenam. Seharian
membereskan apartemen dan kejadian tadi siang
yang membuat tenaganya tambah terkuras.
Hiroto jadi ngantuk dan butuh istirahat.
Hiroto menuju kamarnya hendak tidur sekaligus
melihat keadaan kucing itu.
Ternyata kucing itu sudah duduk diatas kasur
sambil menggigit perban yang ada ditangannya.
Mungkin kucing itu merasa risih oleh benda asing
yang menempel ditangannya.
"Hei, kau sudah bangun rupanya. Hei, kenapa
perbannya dirusak!"
Hiroto membetulkan kembali perban yang sudah
setengah terbuka itu.
Lalu ia teringat sesuatu.
Kucing ini pasti lapar, pikirnya.
Ia mengambil cemilan-cemilan miliknya dan
diberikan
pada kucing itu.
karena ia tak punya makanan kucing atau ikan
saat ini.
Kalau mau ke minimarket pun ia belum sempat
menelusuri minimarket didaerah sini. Apalagi
sudah
gelap nanti bisa tersesat.
"Cemilan dulu tak apa 'kan? Hehe"
Hiroto senang melihatnya. Kucing itu makan
dengan lahap, dan kucing itu pun sudah tampak
lebih segar sekarang.
Waktu terus berjalan seiring Hiroto menemani
kucing itu makan.
Sampai hewan bulu berwajah lucunitu itu tidur
kembali. Hiroto
pun naik ke atas tempat tidur dan merebahkan
tubunya disamping kucing tersebut. Menarik
selimut sampai dada dan langsung memejamkan
mata.
* * *
Didunia antah berantah jauh dari dunia manusia.
Ada sebuah istana megah yang di huni makhluk-
mahkluk putih dan indah.
Disebuah ruangan yang luas didalam istana itu,
duduk seorang wanita cantik diatas
singgasananya.
Ia tengah berbicara pada bawahannya yang
tengah berlutut menghadapnya.
"Ratu, sepertinya hukuman untuk kucing itu
sudah bisa dicukupkan!"
"Benarkah begitu? Apa hukuman itu sudah cukup
untuk seseorang yang membangkang pada
Ratu?!"
Ucap sang ratu seperti tampak sedikit tak setuju
dengan usulan anak buahnya.
"Saya rasa ia sudah cukup menderita dijadikan
seekor kucing yang hidup harus mengadalkan diri
sendiri tanpa bantuan orang lain. Ia harus
bertaruh hidup mencari makan. Bahkan harus
berkelahi dengan kucing-kucing lain. Karena hidup
binatang itu liar"
Ratu tampak menimbang-nimbang ucapan anak
buahnya.
Ia mengubah gestur duduknya dari menopang
dagu menjadi menautkan kedua jari-jari
tangannya dengan sikut yang menumpu pada sisi
kiri dan kanan tangan kursi kebanggaannya.
"Hmm... Baiklah, kuizinkan kau untuk
mengubahnya kembali. Tetapi tidak dalam wujud
seperti kita lagi. Karena ia tidak bisa kembali
kedunia ini lagi. Ubahlah dia menjadi mahkluk
apapun yang ada didunia itu. Mengerti!?"
"Baik! Terima kasih Ratu. Saya mohon undur diri"
Sang anak buah membungkuk dalam sampai
seperti bersujud.
Setelah berpamitan pada ratunya dan keluar dari
ruangan ratunya, ia membentangkan sayap nya
dan
terbang ke dunia manusia.
Pukul dua belas malam. Saat pada umumnya
semua orang-orang sudah tertidur walaupun
sebagian ada yang belum.
Namun untuk Hiroto dia sudah terbang ke alam
mimpinya sedari tadi.
Sebentuk sinar datang dari langit dan berhenti
didepan apartemen Hiroto.
Jika dilihat dari dekat, sebentuk sinar itu
menyerupai manusia. Punya tangan punya kaki.
Tapi yg membedakannya dari manusia adalah ia
memiliki sayap.
Mahkluk itu masuk menembus lubang angin
diatas jendela.
Ia tak perlu pintu untuk memasuki apartemen
Hiroto.
Mahkluk itu masuk kekamar Hiroto. Ia
memperhatikan sang pemilik apartemen yang
tengah tertidur lelap. Tetapi hanya sebentar.
Karena perhatiannya lebih kepada seekor kucing
yang juga tertidur lelap disamping Hiroto.
"Sekarang kau tak menjadi kucing lagi, teman.
Nikmatilah hidupmu dan jalani dengan baik
dengan wujud seperti ini"
Makhluk itu mengangkat tangannya dan seberkas
sinar putih menghujam tubuh kucing itu.
Mahkluk itu tersenyum.
Lalu ia pun pergi dari kamar Hiroto meninggalkan
kucing itu dengan wujud barunya.
***
Suara dengkuran halus menyadarkan Hiroto dari
tidurnya.
Ia menarik tangannya ke atas untuk
merenggangkan otot-ototnya dengan mata
masih terpejam.
Tak tahu apa, tangannya seperti menabrak
sesuatu saat ia kembali menurunkan tangannya.
Ia menoleh kesamping untuk melihat apa yang
sudah tangannya sentuh tadi.
Seketika matanya terbelalak dan langsung bangun
terduduk saking terkejutnya.
"Aaaahh...!!!"
Hiroto berteriak sambil menutup matanya dengan
tangan. Tak mau melihat orang yg tertidur tanpa
busana diatas tempat tidurnya.
Segera Hiroto turun dan mencampak selimutnya
diatas tubuh orang itu.
Setelah yakin tertutup, Hiroto membuka matanya
perlahan, dan mengurut-ngurut dada nya yg
luamayan kencang terkena efek detakan
jantungnya.
"H-hei..bangun! Siapa kamu?!"
Dengan suara bergetar, Hiroto mencoba
membangunkan orang itu untuk meminta
penjelasan.
Namun orang itu tak kunjung bangun.
Hiroto mencari cara lain untuk membangunkan
orang itu, ia mengambil bantal guling dan
mencoleknya dengan benda empuk itu dan masih
menjaga jarak diantaranya. Karena Hiroto masih
merasa takut. Ia belum tahu orang itu berbahaya
atau tidak.
Bagaimana kalau orang itu buronan yang
bersembunyi disini?
Pikir Hiroto.
"Hei, hei, bangun!"
Orang itu akhirnya bangun. Entah keberuntungan
atau kemalangan yang ia dapat nanti setelah
membangunkan orang itu. Tapi bagaimanapun
harus tetap membangunkannya untuk mendapat
keterangan.
Saat orang itu menggeliat, Hiroto sontak
memundurkan tubunya.
Orang itu membalik tubunya setelah tadi ia
berbaring terlungkup.
Ia membuka matanya lalu menatap langit-langit.
Dari langit-langit matanya terus turun sampai ia
melihat keberadaan Hiroto disana.
Orang itu tampak biasa menatap Hiroto.
Ia lalu perlahan bergerak untuk bangkit dan
duduk diatas kasur. Membuat Hiroto kembali
melangkah mundur.
Mata Hiroto tak lengah sedikitpun mengawasi
gerak-gerik orang tersebut yang masih tak
mengeluarkan sepatah katapun.
"Siapa kau!? Kenapa ada dikamarku?"
Pertanyaan Hiroto yang kedua pun tak dijawab
olehnya.
Ia mengeluarkan tangan kanannya dari balik
selimut. Ia mendekatkan tangannya kemulut dan
melepas benda seperti kain putih yang menempel
namun tidak terikat dengan benar lagi
ditangannya itu.
Mata Hiroto terbelalak.
Ia seperti mengingat sesuatu.
Bola mata Hiroto berpindah melihat kening orang
itu. Mulutnya langsung dibuat menganga dengan
keberadaan kain kasa itu diatas keningnya.
Hiroto melihat berkeliling. Ia baru menyadari jika
kucing itu tak ada.
Tidak mungkin orang itu?
"Tidak, tidak, tidak, itu tidak mungkin! Ini bukan
negeri dongeng."
Seru Hiroto tak percaya.
***
Sudah hampir seminggu Hiroto tak fokus belajar
disekolahnya.
Semua itu karena kemunculan Shou.
Ya, Hiroto memberi nama kucing berbentuk
manusia itu dengan nama Shou.
Akhirnya lambat laun Hiroto harus menerima
kenyataan bahwa manusia yang ditemuinya
dikamarnya waktu itu memang jelmaan kucing
itu.
Entah itu sebutannya jelmaan atau sihir, yang
jelas orang itu memang kucing yang ia tolong.
Entah dimana letak
hubungan kucing itu dengan arti nama Shou. Ia
kebingungan memberi nama sehingga mengambil
nama apa saja yang ia lihat pada beberapa buku
novel koleksinya.
Ia sungguh-sungguh tak bisa membayangkan
bagaimana seekor kucing bisa berubah jadi
manusia.
Ia sudah berulang kali mencoba untuk tak
mempercayainya, tapi kenyataan tak bisa
dihindari.
Tingkah laku Shou yang masih menyisakan
tingkah laku kucing itu memberi bukti kuat.
Seperti ia masih makan dengan mulutnya padahal
dia punya tangan. Lalu, ia juga tidak bisa
berbicara bahasa manusia.
Dengan suara manusia, bernada berat karena dia
kucing jantan, dia malah mengeong. Membuat
Hiroto melongo tak bisa berkata apa-apa.
Hari-hari Hiroto kini sedikit bertambah berat
karena ia harus mengurus Shou. Ia harus
mengajarkan Shou menggunakan tangannya
untuk beraktifitas, lalu harus mengajarkan bicara
bahasa manusia pada Shou.
Ia sempat berpikir mau mengusir Shou karena tak
tahu harus berbuat apa pada manusia kucing itu.
Tapi ia tak tega melakukan itu.
Bagaimana kalau Shou hidup terluntang-lantung
dijalanan?
Jika memang ia masih berbentuk kucing asli
mungkin tak masalah, atau jika Shou manusia
yang bersikap memang seperti manusia, maka itu
juga sepertinya tak apa. Karena ia bisa
berkomunikasi dengan lancar andai saja ia bisa
berbicara bahasa manusia. Seperti meminta
bantuan atau lainnya.
Tapi orang yang Hiroto temui ini malah berbeda.
Dia manusia bersifat kucing, atau kucing bertubuh
manusia juga boleh jika ingin kalian
menyebutnya.
Dan pada keputusan terakhirnya, Hiroto
membiarkan Shou tinggal bersamanya.
Apalagi, ada sedikit alasan lain yang membuat
Hiroto tambah tak mau menyuruh Shou pergi,
entah apa itu ia tak mengerti dan terus mencoba
tak
memikirkannya namun perasaan itu terus muncul.
Hiroto menunduk lesu, ia berjalan gontai
diperjalanan pulangnya menyusuri jalan setapak.
Hari ini lagi-lagi ia kena tegur guru karena tak
fokus pada pelajaran.
Semua itu karena ia memikirkan Shou.
Tiba-tiba Hiroto mengangkat kepalanya karena
mendengar suara kucing yang meraung-raung
didekat deretan pot bunga dihalaman rumah
seseorang.
Seekor kucing berguling-guling dihadapan kucing
satunya yang sedang duduk tenang
memperhatikan.
Perlahan kucing yang tadinya duduk tenang kini
berjalan perlahan mendekati kucing satunya yang
tengah berguling-guling itu.
Sudah sangat dekat, kucing itu langsung
menerkam pundak kucing tersebut dan naik
keatasnya.
"Apa itu!!"
Hiroto langsung membuang mukanya yang sedikit
bersemu dan melanjutkan perjalanan pulangnya.
Ia melanjutkan perjalanan dan seketika
melupakan apa yang ia lihat tadi.
Tangannya melipat keatas menggenggam tali tas
punggung yang menyangkut dikedua bahunya,
menatap jalan lurus kedepan.
Melewati pohon-pohon yang rindang, kedai-kedai
yang berjejer, perumahan, terus berjalan sampai
ia melewati tanah lapang berumput hijau subur,
disana banyak anak bermain baseball.
Ia kembali memutar kepalanya kedepan setelah
tadi teralihkan oleh anak-anak yang sepertinya
bermain sangat seru.
Hiroto membuang nafas kecil, ia ingin cepat-cepat
sampai rumah dan tidur.
Besok hari libur dan ia ingin tidur sampai besok
pagi, kalau bisa.
Hiroto hampir mendekati jembatan. Ia terus
berjalan.
Setelah melewati jembatan itu, maka sedikit lagi
ia akan tiba di apartemennya.
Tapi lagi, ia dikejutkan oleh sesuatu yang berlari
dari arah depannya dan melompat turun dari
jembatan kebawah pinggir sungai.
Hewan berbulu itu berlari dan dikejar hewan
berbulu satunya lg.
"Lagi? Kenapa aku bertemu terus dengan kucing
yang sedang seperti itu, apa sedang musim!?"
Gumam Hiroto dengan wajah sedikit sebal.
Kenapa harus melihat hal yang membuat malu
sampai dua kali seperti ini, pikir Hiroto.
Akhirnya Hiroto tiba dirumahnya.
Ia mengucapkan "Tadaima~"
Saat memasuki rumah.
Karena ia tahu ada penghuni lain di
apartemennya.
Walau bisa saja ia tak perlu mengucapkan karena
ini apartemennya sendiri, tapi ia tetap
mengucapkannya sekedar untuk memberitahu
Shou saja kalau ia sudah pulang.
Hiroto selesai melepas sepatunya dan
meletakkannya di rak.
Ia melangkah memasuki apartemennya.
Matanya mengedar mencari keberadaan Shou.
Karena ia tak melihat keberadaan orang itu
dimanapun sedangkan TV diruang tamunya
menyala.
Tiba didepan pintu kamar, Hiroto dapat
mendengar suara keran air yang menyala dari
dalam kamar mandi yang berada tepat disebelah
kamarnya.
Hiroto bisa langsung mengetahui jika Shou pasti
ada didalam.
Dan tebakannya benar. Tepat saat Hiroto tengah
memutar gagang pintunya hendak masuk, Shou
pun keluar dari kamar mandi.
"Miaoww?"
Hiroto langsung menggembungkan pipinya sebal
begitu mendengar Shou menyapanya masih
menggunakan bahasa kucingnya.
"Sudah seminggu kuajari 'kan, kamu masih lupa?"
Shou terkesiap.
"Ah.. M-maaf.. s..sela-mat da-tang.."
Shou mengulang kembali pertanyaannya tadi
yang sudah ia terjemahkan sendiri kedalam
bahasa manusia. Walau tampak terbata-bata
karena ia harus mengingat-ngingatnya lagi agar
tak salah ucap.
"Uhm... terima kasih, Aku kekamar dulu..."
Shou mengangguk mengerti, dan Hiroto
menghilang dari balik pintu kamarnya.
Shou pun kembali keruang tamu.
Ia kembali duduk didepan TV setelah membuang
air kecil sebentar.
Hiroto melepas pakaian seragamnya, ia tak
benar-benar langsung tidur seperti apa
rencananya diperjalanan tadi.
Karena tidur dengan perut lapar dan tubuh
berkeringatpun tak akan nyaman.
Maka Hiroto memutuskan untuk mandi lalu
makan terlebih dahulu walau ia merasa sangat
lelah sekalipun.
Hiroto melingkarkan handuk dipinggangnya lalu
keluar dari kamar.
Seketika mata Shou teralihkan dari depan TV saat
merasakan siluet Hiroto yang keluar dari
kamar terlihat dari ekor matanya.
Shou dapat melihatnya karena memang pintu
kamar tidur dan kamar mandi tepat berada di
depan ruang tamu.
Yah, karena apartemen Hiroto bukan apartemen
mewah. Cukup untuk ia yang tinggal sendiri-
awalnya- tapi setelah ada Shou pun, apartemen
seukuran ini pun masih cukup menurut
Hiroto.
Hiroto melangkah ke kamar mandi dengan santai,
tapi mata Shou tak lepas menatap Hiroto sampai
Hiroto menghilang dibalik pintu kamar mandi.
"Hhh~"
Shou menghela nafas sambil memejamkan
matanya, ia mengusap wajahnya keatas dengan
sedikit meremat poninya yang ikut tersibak ke
belakang.
Shou spontan menoleh kearah kaca jendela saat
mendengar suara "Braakk.. " menabrak jendela
tersebut.
"Miaoow.. mraoow.."
Shou tak bisa melepas pandangannya dari dua
ekor kucing diluar jendela sana yang Shou
mengerti sedang melakukan apa dua ekor kucing
itu diatas tembok pinggiran jendela.
Ia menggepalkan satu tangannya yang terletak
diatas tangan sofa seperti menahan sesuatu.
Sekali lagi ia menghela nafas panjang.
Tsuzuku.
Written by : Sachi_ciel
Chapter : 01/02 (maybe)
Fandom : Alice nine (Shou,Hiroto)
Genre : AU, Romance
Rating : T
Coment : ff iseng-isengan.(memang semua ff nya
gitu kayaknya)
Judulnya ga nyambung. Tapi pengen aja pake
judul itu biar mirip sama judul lagunya mereka.
=…=
***
Hiroto selesai mengangkat kardus terakhirnya
kedalam tempat tinggal barunya.
Apartemen sederhana yang punya satu buah
kamar untuk tempat tinggalnya selama menuntut
ilmu perguruan tinggi di Tokyo.
Ia sudah memantapkan hatinya untuk
melanjutkan sekolah di ibu kota setelah selama
dari sekolah dasar sampai sekolah menengah
atas ia menjalankannya di kampung halamannya.
Ia melakukan itu untuk menambah ilmu lebih baik
sekaligus mencari pengalaman, untuk
membangun sikap mandiri supaya tak terus
bergantung pada orang tua.
Hiroto merebahkan tubuhnya sejenak diatas sofa
untuk mengistirahatkan otot-otot tubuhnya yg
lelah setelah mengangkat barang-barangnya tadi.
Ia merenggangkan otot-otot tangan dana kakinya
sesaat sebelum mengeluarkan ponselnya untuk
menghubungi
orangtuanya, memberi tahu bahwa ia sampai
dengan selamat dan tak mendapat halangan
apapun.
Selesai menelfon orangtuanya, ia bangkit dari
sofanya, berjalan ke arah jendela dan membuka
tirainya.
Hmm... Lumayan asri, ujarnya dalam hati.
Karena di apartemennya lumayan memiliki banyak
pohon, walau ini dikota yang padat, dan tak
dipungkiri juga sangat dekat dengan jalan.
Yah, namanya juga kota besar, tapi taman kecil
disekitar gedung apartemen ini banyak ditanami
pohon.
Hiroto menjauhkan diri dari depan jendela, ia
mulai membuka tas dan beberapa kardus lagi
yang belum dibongkar untuk dipindahkan pada
tempat-
tempat yg sudah tersedia.
Seperti memindahkan pakaian ke lemari dan lain-
lainnya.
Tak terasa sudah beberapa jam ia menata
apartemennya seorang diri, itu membuatnya
cukup lelah dan juga lapar.
Hiroto mengambil mie instan yang dibawanya dari
rumah untuk kemudian diseduh lalu dimakan.
Namun ia harus sedikit bersabar sepertinya,
karena tak ada dispenser disana.
Ia harus merebus sendiri air mineral botolan yg ia
tuang ke panci kecil.
Sambil menunggu air mendidih, Hiroto
membongkar plastik makanannya terlebih dahulu
untuk mengambil beberapa makanan kecil yang
diberikan ibunya.
Kepala Hiroto terngadah kaget saat ia sedang
jongkok sibuk membongkar plastik berisi
makanan
persediaan yang ia bawa dari rumah.
Ia mendengar dua suara gaungan kucing diluar
sana yang tampak sedang berkelahi sepertinya.
Ia cepat-cepat meletakkan cup mie dan beberapa
makanan kecil diatas meja berjalan ke jendela.
Ia melihat dua ekor kucing tengah berkelahi di
balkon apartemen sebelah yang sepertinya tak
berpenghuni.
Salah satu kucing tampak terpojok disudut
balkon. Ia tampak tak berdaya lagi.
Hiroto mencoba melerai dua kucing itu dengan
mengayun-ngayunkan gagang sapu ke arah dua
kucing itu.
"Hush! Hush! Pergi, jangan berkelahi."
Begitu melihat manusia, kucing itu langsung lari.
Tetapi kucing yang satu nya tidak ikut lari. Kucing
itu duduk dengan tarikan nafas yg seperti
menggebu-gebu.
Hiroto jadi heran. Ia coba mencondongkan
tubuhnya melewati pagar balkon agar bisa
melihat lebih jelas apa yang sedang terjadi pada
kucing bewarna coklat muda itu.
Hiroto tak bisa menemukan jawaban apapun
karena kucing itu duduk membelakanginya. Jadi
ia tak bisa melihat keadaan tubuh si kucing.
Dengan perasaan khawatir karena ia penyayang
binatang, Hiroto nekat keluar dari balkonnya dan
berjalan diatas loteng beberapa langkah untuk
mencapai balkon satunya tempat kucing itu
berada.
Dengan perasaan takut Hiroto terus berjalan
menempel pada dinding untuk mencapai kucing
itu.
Hiroto sedikit lega akhirnya bisa menginjakkan
kakinya di pagar balkon
itu dengan aman. Ia langsung masuk kedalam
balkon itu dan
Segera mengambil kucing tersebut.
"Ya Tuhan, Dia terluka parah!"
Hiroto terkejut melihat luka dikening dan
dada kucing tersebut yang banyak mengeluarkan
darah.
Hiroto kembali menjalankan aksi nya seperti tadi
untuk kembali ke balkon apartemennya. Dengan
sebelah tangannya kini menggendong kucing
terluka itu.
Hiroto menghela nafas selega-leganya karena
berhasil tiba dengan selamat.
Cepat-cepat ia masuk untuk segera mengobati si
kucing namun kembali terkejut melihat panci di
atas kompor yang sudah mengeluarkan asap
karena air nya tak ada lagi, mengering karena
terlalu lama berada di atas kompor menyala.
"Astaga, Airnya!"
Buru-buru ia mematikan kompor dan
memindahkan panci itu dari atas kompor.
Ia menyeka keringat dipelipisnya.
Baru hari pertama ia tinggal disini, sudah
mendapat kejadian yang hampir membahayakan
dirinya.
Hiroto membawa kucing itu kekamarnya untuk
diobati. Karena kotak P3K-nya sudah ia letakkan
disana.
Sedangkan mie yang sudah ia buka tadi ia
biarkan tergeletak dimeja.
Rasanya laparnya tiba-tiba saja hilang.
Hiroto membersihkan luka kucing itu yang
sesekali tersentak, kadang juga melawan tak
tahan oleh rasa sakitnya saat terkena kapas
ditangan Hiroto.
Beberapa kali Hiroto harus terkena garukannya.
Maka cukup lama hiroto merawat luka kucing itu
karena harus hati-hati agar tak membuat rasa
sakit kucing itu bertambah.
Setelah luka-luka kucing itu selesai ia perban,
Hiroto memindahkan kucing itu ke atas tempat
tidurnya. Supaya bisa tidur nyenyak
dan berharap bisa cepat sembuh.
Setelah membereskan kotak obatnya ternyata
perut Hiroto kembali terasa lapar. Akhirnya ia ke
dapur dan kembali merebus air.
Mie instan bisa ia masukkan kedalam perutnya
yang kosong sekarang.
Tak terasa matahari sudah terbenam. Seharian
membereskan apartemen dan kejadian tadi siang
yang membuat tenaganya tambah terkuras.
Hiroto jadi ngantuk dan butuh istirahat.
Hiroto menuju kamarnya hendak tidur sekaligus
melihat keadaan kucing itu.
Ternyata kucing itu sudah duduk diatas kasur
sambil menggigit perban yang ada ditangannya.
Mungkin kucing itu merasa risih oleh benda asing
yang menempel ditangannya.
"Hei, kau sudah bangun rupanya. Hei, kenapa
perbannya dirusak!"
Hiroto membetulkan kembali perban yang sudah
setengah terbuka itu.
Lalu ia teringat sesuatu.
Kucing ini pasti lapar, pikirnya.
Ia mengambil cemilan-cemilan miliknya dan
diberikan
pada kucing itu.
karena ia tak punya makanan kucing atau ikan
saat ini.
Kalau mau ke minimarket pun ia belum sempat
menelusuri minimarket didaerah sini. Apalagi
sudah
gelap nanti bisa tersesat.
"Cemilan dulu tak apa 'kan? Hehe"
Hiroto senang melihatnya. Kucing itu makan
dengan lahap, dan kucing itu pun sudah tampak
lebih segar sekarang.
Waktu terus berjalan seiring Hiroto menemani
kucing itu makan.
Sampai hewan bulu berwajah lucunitu itu tidur
kembali. Hiroto
pun naik ke atas tempat tidur dan merebahkan
tubunya disamping kucing tersebut. Menarik
selimut sampai dada dan langsung memejamkan
mata.
* * *
Didunia antah berantah jauh dari dunia manusia.
Ada sebuah istana megah yang di huni makhluk-
mahkluk putih dan indah.
Disebuah ruangan yang luas didalam istana itu,
duduk seorang wanita cantik diatas
singgasananya.
Ia tengah berbicara pada bawahannya yang
tengah berlutut menghadapnya.
"Ratu, sepertinya hukuman untuk kucing itu
sudah bisa dicukupkan!"
"Benarkah begitu? Apa hukuman itu sudah cukup
untuk seseorang yang membangkang pada
Ratu?!"
Ucap sang ratu seperti tampak sedikit tak setuju
dengan usulan anak buahnya.
"Saya rasa ia sudah cukup menderita dijadikan
seekor kucing yang hidup harus mengadalkan diri
sendiri tanpa bantuan orang lain. Ia harus
bertaruh hidup mencari makan. Bahkan harus
berkelahi dengan kucing-kucing lain. Karena hidup
binatang itu liar"
Ratu tampak menimbang-nimbang ucapan anak
buahnya.
Ia mengubah gestur duduknya dari menopang
dagu menjadi menautkan kedua jari-jari
tangannya dengan sikut yang menumpu pada sisi
kiri dan kanan tangan kursi kebanggaannya.
"Hmm... Baiklah, kuizinkan kau untuk
mengubahnya kembali. Tetapi tidak dalam wujud
seperti kita lagi. Karena ia tidak bisa kembali
kedunia ini lagi. Ubahlah dia menjadi mahkluk
apapun yang ada didunia itu. Mengerti!?"
"Baik! Terima kasih Ratu. Saya mohon undur diri"
Sang anak buah membungkuk dalam sampai
seperti bersujud.
Setelah berpamitan pada ratunya dan keluar dari
ruangan ratunya, ia membentangkan sayap nya
dan
terbang ke dunia manusia.
Pukul dua belas malam. Saat pada umumnya
semua orang-orang sudah tertidur walaupun
sebagian ada yang belum.
Namun untuk Hiroto dia sudah terbang ke alam
mimpinya sedari tadi.
Sebentuk sinar datang dari langit dan berhenti
didepan apartemen Hiroto.
Jika dilihat dari dekat, sebentuk sinar itu
menyerupai manusia. Punya tangan punya kaki.
Tapi yg membedakannya dari manusia adalah ia
memiliki sayap.
Mahkluk itu masuk menembus lubang angin
diatas jendela.
Ia tak perlu pintu untuk memasuki apartemen
Hiroto.
Mahkluk itu masuk kekamar Hiroto. Ia
memperhatikan sang pemilik apartemen yang
tengah tertidur lelap. Tetapi hanya sebentar.
Karena perhatiannya lebih kepada seekor kucing
yang juga tertidur lelap disamping Hiroto.
"Sekarang kau tak menjadi kucing lagi, teman.
Nikmatilah hidupmu dan jalani dengan baik
dengan wujud seperti ini"
Makhluk itu mengangkat tangannya dan seberkas
sinar putih menghujam tubuh kucing itu.
Mahkluk itu tersenyum.
Lalu ia pun pergi dari kamar Hiroto meninggalkan
kucing itu dengan wujud barunya.
***
Suara dengkuran halus menyadarkan Hiroto dari
tidurnya.
Ia menarik tangannya ke atas untuk
merenggangkan otot-ototnya dengan mata
masih terpejam.
Tak tahu apa, tangannya seperti menabrak
sesuatu saat ia kembali menurunkan tangannya.
Ia menoleh kesamping untuk melihat apa yang
sudah tangannya sentuh tadi.
Seketika matanya terbelalak dan langsung bangun
terduduk saking terkejutnya.
"Aaaahh...!!!"
Hiroto berteriak sambil menutup matanya dengan
tangan. Tak mau melihat orang yg tertidur tanpa
busana diatas tempat tidurnya.
Segera Hiroto turun dan mencampak selimutnya
diatas tubuh orang itu.
Setelah yakin tertutup, Hiroto membuka matanya
perlahan, dan mengurut-ngurut dada nya yg
luamayan kencang terkena efek detakan
jantungnya.
"H-hei..bangun! Siapa kamu?!"
Dengan suara bergetar, Hiroto mencoba
membangunkan orang itu untuk meminta
penjelasan.
Namun orang itu tak kunjung bangun.
Hiroto mencari cara lain untuk membangunkan
orang itu, ia mengambil bantal guling dan
mencoleknya dengan benda empuk itu dan masih
menjaga jarak diantaranya. Karena Hiroto masih
merasa takut. Ia belum tahu orang itu berbahaya
atau tidak.
Bagaimana kalau orang itu buronan yang
bersembunyi disini?
Pikir Hiroto.
"Hei, hei, bangun!"
Orang itu akhirnya bangun. Entah keberuntungan
atau kemalangan yang ia dapat nanti setelah
membangunkan orang itu. Tapi bagaimanapun
harus tetap membangunkannya untuk mendapat
keterangan.
Saat orang itu menggeliat, Hiroto sontak
memundurkan tubunya.
Orang itu membalik tubunya setelah tadi ia
berbaring terlungkup.
Ia membuka matanya lalu menatap langit-langit.
Dari langit-langit matanya terus turun sampai ia
melihat keberadaan Hiroto disana.
Orang itu tampak biasa menatap Hiroto.
Ia lalu perlahan bergerak untuk bangkit dan
duduk diatas kasur. Membuat Hiroto kembali
melangkah mundur.
Mata Hiroto tak lengah sedikitpun mengawasi
gerak-gerik orang tersebut yang masih tak
mengeluarkan sepatah katapun.
"Siapa kau!? Kenapa ada dikamarku?"
Pertanyaan Hiroto yang kedua pun tak dijawab
olehnya.
Ia mengeluarkan tangan kanannya dari balik
selimut. Ia mendekatkan tangannya kemulut dan
melepas benda seperti kain putih yang menempel
namun tidak terikat dengan benar lagi
ditangannya itu.
Mata Hiroto terbelalak.
Ia seperti mengingat sesuatu.
Bola mata Hiroto berpindah melihat kening orang
itu. Mulutnya langsung dibuat menganga dengan
keberadaan kain kasa itu diatas keningnya.
Hiroto melihat berkeliling. Ia baru menyadari jika
kucing itu tak ada.
Tidak mungkin orang itu?
"Tidak, tidak, tidak, itu tidak mungkin! Ini bukan
negeri dongeng."
Seru Hiroto tak percaya.
***
Sudah hampir seminggu Hiroto tak fokus belajar
disekolahnya.
Semua itu karena kemunculan Shou.
Ya, Hiroto memberi nama kucing berbentuk
manusia itu dengan nama Shou.
Akhirnya lambat laun Hiroto harus menerima
kenyataan bahwa manusia yang ditemuinya
dikamarnya waktu itu memang jelmaan kucing
itu.
Entah itu sebutannya jelmaan atau sihir, yang
jelas orang itu memang kucing yang ia tolong.
Entah dimana letak
hubungan kucing itu dengan arti nama Shou. Ia
kebingungan memberi nama sehingga mengambil
nama apa saja yang ia lihat pada beberapa buku
novel koleksinya.
Ia sungguh-sungguh tak bisa membayangkan
bagaimana seekor kucing bisa berubah jadi
manusia.
Ia sudah berulang kali mencoba untuk tak
mempercayainya, tapi kenyataan tak bisa
dihindari.
Tingkah laku Shou yang masih menyisakan
tingkah laku kucing itu memberi bukti kuat.
Seperti ia masih makan dengan mulutnya padahal
dia punya tangan. Lalu, ia juga tidak bisa
berbicara bahasa manusia.
Dengan suara manusia, bernada berat karena dia
kucing jantan, dia malah mengeong. Membuat
Hiroto melongo tak bisa berkata apa-apa.
Hari-hari Hiroto kini sedikit bertambah berat
karena ia harus mengurus Shou. Ia harus
mengajarkan Shou menggunakan tangannya
untuk beraktifitas, lalu harus mengajarkan bicara
bahasa manusia pada Shou.
Ia sempat berpikir mau mengusir Shou karena tak
tahu harus berbuat apa pada manusia kucing itu.
Tapi ia tak tega melakukan itu.
Bagaimana kalau Shou hidup terluntang-lantung
dijalanan?
Jika memang ia masih berbentuk kucing asli
mungkin tak masalah, atau jika Shou manusia
yang bersikap memang seperti manusia, maka itu
juga sepertinya tak apa. Karena ia bisa
berkomunikasi dengan lancar andai saja ia bisa
berbicara bahasa manusia. Seperti meminta
bantuan atau lainnya.
Tapi orang yang Hiroto temui ini malah berbeda.
Dia manusia bersifat kucing, atau kucing bertubuh
manusia juga boleh jika ingin kalian
menyebutnya.
Dan pada keputusan terakhirnya, Hiroto
membiarkan Shou tinggal bersamanya.
Apalagi, ada sedikit alasan lain yang membuat
Hiroto tambah tak mau menyuruh Shou pergi,
entah apa itu ia tak mengerti dan terus mencoba
tak
memikirkannya namun perasaan itu terus muncul.
Hiroto menunduk lesu, ia berjalan gontai
diperjalanan pulangnya menyusuri jalan setapak.
Hari ini lagi-lagi ia kena tegur guru karena tak
fokus pada pelajaran.
Semua itu karena ia memikirkan Shou.
Tiba-tiba Hiroto mengangkat kepalanya karena
mendengar suara kucing yang meraung-raung
didekat deretan pot bunga dihalaman rumah
seseorang.
Seekor kucing berguling-guling dihadapan kucing
satunya yang sedang duduk tenang
memperhatikan.
Perlahan kucing yang tadinya duduk tenang kini
berjalan perlahan mendekati kucing satunya yang
tengah berguling-guling itu.
Sudah sangat dekat, kucing itu langsung
menerkam pundak kucing tersebut dan naik
keatasnya.
"Apa itu!!"
Hiroto langsung membuang mukanya yang sedikit
bersemu dan melanjutkan perjalanan pulangnya.
Ia melanjutkan perjalanan dan seketika
melupakan apa yang ia lihat tadi.
Tangannya melipat keatas menggenggam tali tas
punggung yang menyangkut dikedua bahunya,
menatap jalan lurus kedepan.
Melewati pohon-pohon yang rindang, kedai-kedai
yang berjejer, perumahan, terus berjalan sampai
ia melewati tanah lapang berumput hijau subur,
disana banyak anak bermain baseball.
Ia kembali memutar kepalanya kedepan setelah
tadi teralihkan oleh anak-anak yang sepertinya
bermain sangat seru.
Hiroto membuang nafas kecil, ia ingin cepat-cepat
sampai rumah dan tidur.
Besok hari libur dan ia ingin tidur sampai besok
pagi, kalau bisa.
Hiroto hampir mendekati jembatan. Ia terus
berjalan.
Setelah melewati jembatan itu, maka sedikit lagi
ia akan tiba di apartemennya.
Tapi lagi, ia dikejutkan oleh sesuatu yang berlari
dari arah depannya dan melompat turun dari
jembatan kebawah pinggir sungai.
Hewan berbulu itu berlari dan dikejar hewan
berbulu satunya lg.
"Lagi? Kenapa aku bertemu terus dengan kucing
yang sedang seperti itu, apa sedang musim!?"
Gumam Hiroto dengan wajah sedikit sebal.
Kenapa harus melihat hal yang membuat malu
sampai dua kali seperti ini, pikir Hiroto.
Akhirnya Hiroto tiba dirumahnya.
Ia mengucapkan "Tadaima~"
Saat memasuki rumah.
Karena ia tahu ada penghuni lain di
apartemennya.
Walau bisa saja ia tak perlu mengucapkan karena
ini apartemennya sendiri, tapi ia tetap
mengucapkannya sekedar untuk memberitahu
Shou saja kalau ia sudah pulang.
Hiroto selesai melepas sepatunya dan
meletakkannya di rak.
Ia melangkah memasuki apartemennya.
Matanya mengedar mencari keberadaan Shou.
Karena ia tak melihat keberadaan orang itu
dimanapun sedangkan TV diruang tamunya
menyala.
Tiba didepan pintu kamar, Hiroto dapat
mendengar suara keran air yang menyala dari
dalam kamar mandi yang berada tepat disebelah
kamarnya.
Hiroto bisa langsung mengetahui jika Shou pasti
ada didalam.
Dan tebakannya benar. Tepat saat Hiroto tengah
memutar gagang pintunya hendak masuk, Shou
pun keluar dari kamar mandi.
"Miaoww?"
Hiroto langsung menggembungkan pipinya sebal
begitu mendengar Shou menyapanya masih
menggunakan bahasa kucingnya.
"Sudah seminggu kuajari 'kan, kamu masih lupa?"
Shou terkesiap.
"Ah.. M-maaf.. s..sela-mat da-tang.."
Shou mengulang kembali pertanyaannya tadi
yang sudah ia terjemahkan sendiri kedalam
bahasa manusia. Walau tampak terbata-bata
karena ia harus mengingat-ngingatnya lagi agar
tak salah ucap.
"Uhm... terima kasih, Aku kekamar dulu..."
Shou mengangguk mengerti, dan Hiroto
menghilang dari balik pintu kamarnya.
Shou pun kembali keruang tamu.
Ia kembali duduk didepan TV setelah membuang
air kecil sebentar.
Hiroto melepas pakaian seragamnya, ia tak
benar-benar langsung tidur seperti apa
rencananya diperjalanan tadi.
Karena tidur dengan perut lapar dan tubuh
berkeringatpun tak akan nyaman.
Maka Hiroto memutuskan untuk mandi lalu
makan terlebih dahulu walau ia merasa sangat
lelah sekalipun.
Hiroto melingkarkan handuk dipinggangnya lalu
keluar dari kamar.
Seketika mata Shou teralihkan dari depan TV saat
merasakan siluet Hiroto yang keluar dari
kamar terlihat dari ekor matanya.
Shou dapat melihatnya karena memang pintu
kamar tidur dan kamar mandi tepat berada di
depan ruang tamu.
Yah, karena apartemen Hiroto bukan apartemen
mewah. Cukup untuk ia yang tinggal sendiri-
awalnya- tapi setelah ada Shou pun, apartemen
seukuran ini pun masih cukup menurut
Hiroto.
Hiroto melangkah ke kamar mandi dengan santai,
tapi mata Shou tak lepas menatap Hiroto sampai
Hiroto menghilang dibalik pintu kamar mandi.
"Hhh~"
Shou menghela nafas sambil memejamkan
matanya, ia mengusap wajahnya keatas dengan
sedikit meremat poninya yang ikut tersibak ke
belakang.
Shou spontan menoleh kearah kaca jendela saat
mendengar suara "Braakk.. " menabrak jendela
tersebut.
"Miaoow.. mraoow.."
Shou tak bisa melepas pandangannya dari dua
ekor kucing diluar jendela sana yang Shou
mengerti sedang melakukan apa dua ekor kucing
itu diatas tembok pinggiran jendela.
Ia menggepalkan satu tangannya yang terletak
diatas tangan sofa seperti menahan sesuatu.
Sekali lagi ia menghela nafas panjang.
Tsuzuku.