Title : [Sequel: Without voice] Dream
Author: Sachi
Chapter : 1/?
Fandom: Alice Nine, OC.
Pairing : Tora x Saga
Genre: AU, drama, romance.
Rating: T
Disclaimer: Tora is mine.
*Yang percaya saya ucapkan terima kasih banyak*
(Dibakar idup-idup)
No, This story just mine.
Note : Ini sequel atau apa deh namanya, bingung. Pokoknya ini cerita nyambung sama 'without voice' yang oneshot tapi ga bisa dibilang oneshot itu.(-..-)
Ini certa belom jadi, masi perlu banyak editan dan revisi.
Ngepost disini biar ga ilang.
*halah, macem ada yg peduli*
* * *
"Maaf, aku tak bisa"
Gadis itu menunduk sambil mengigit kuku tangannya dengan wajah memerah. Ia tak menatap lagi pada pemuda dihadapannya sekarang.
"Aku mengerti."
Gadis itu membungkuk lalu berlari meninggalkan Tora, pemuda yang telah menolak pernyataan cintanya.
Tora menghela nafas sambil menyisir poni rambutnya kebelakang dengan tangannya, mengisyaratkan atas kelegaannya.
Dua orang siswa yang sedari tadi mengintip dari balik pohon saling bertatapan, lalu mereka menghela nafas berat bersama.
Mereka keluar dari balik pohon dan mengejar Tora yang sedang menuju pintu gerbang sekolah.
Suasana sekolah sudah sepi, karena murid yang lain sudah meninggalkan sekolah untuk pulang ke rumah masing-masing dari lima belas menit yang lalu.
Hanya ada tinggal mereka, petugas penjaga sekolah dan beberapa anggota klub yang sedang latihan di ruang klub sekolah.
"Tora!!"
Panggil salah satu dari dua orang yang menyusul Tora tadi.
"Kalian!? Darimana saja, kenapa belum pulang?"
Keduanya saling menatap lagi sebelum salah satunya menjawab dengan canggung.
"Emm, kami melihat kau tadi di halaman belakang, hehe..."
Ia menyelipkan sebuah tawa di ujung kalimatnya berharap Tora tak marah mendengar jawabannya.
"Oh,"
Mereka bernafas lega melihat Tora sepertinya tak marah, pasalnya mereka sering mengintip tiap kali Tora dinyatakan cinta oleh seorang gadis.
Sebenarnya mereka masih merasa heran terhadap sikap Tora, mereka masih dipenuhi tanda tanya mengapa ia menolak setiap gadis yang menyatakan cinta padanya. Ya, setiap gadis karena sudah banyak gadis yang menyatakan cinta padanya tapi selalu ia tolak.
Entah apa alasannya, tiap kali temannya bertanya ia selalu menjawab, 'hanya tidak mau saja'
Walau mereka mengangguk seperti mengerti, akan tetapi yang sebenarnya mereka masih yakin ada alasan lain yang disembunyikan Tora.
Mereka berdua mensejajarkan langkah dengan Tora yang berjalan sedikit cepat.
"Tora, sebenarnya apa alasanmu menolak semua gadis yang menyatakan cinta padamu?"
Tora menoleh pada temannya yang bertanya, wajahnya tampak sedikit malas untuk menjawab.
Walau sudah sering sekali mereka bertanya dan Tora selalu menjawab dengan kalimat yang sama, mereka masih juga menanyakan hal itu lagi.
"Aku sudah katakan, aku hanya sedang tak mau saja."
Kedua temannya mengangkat bahu, tapi teman yang satunya tiba-tiba berseru karena masih begitu penasarannya.
"Ah, mungkin kau sudah punya pacar tapi tidak bilang pada kami ya!?"
Tora seperti tertohok, ia buru-buru menjawab untuk menyangkal.
"Tidak, siapa bilang?"
"Hanya menebak, benar ya!?"
"Tidak, tidak, tidak. Sudah, daripada kalian terus-terusan bertanya hal yang sama berulang kali, lebih baik kalian ikut aku ke toko alat tulis."
"Hu? Untuk apa!?
"Membeli apa yang ada di toko alat tulis."
Kedua temannya saling pandang lagi, lalu mengehela nafas pasrah.
Memang seperti itulah Tora. Ia orang yang sedikit tertutup walau bersama kedua temannya.
Ia menyimpan sendiri hal yang ia sembunyikan.
Mungkin kalau sudah tak bisa menangani sendiri baru ia akan minta pertolongan orang lain.
Mereka masuk ke dalam toko alat tulis setelah menempuh waktu kurang olebih tiga puluh menit dari sekolah.
Tora mengambil barang yang ia perlukan pada rak.
"Cat minyak, buat apa?"
"Untuk melukis,"
Kedua temannya mengerutkan alis.
"Sejak kapan kau suka melukis?"
"Bukan untukku,"
Sambil menjawab, Tora melangkah ke rak-rak bagian lain.
Salah satu temannya sesekali mengambil benda yang ia rasa unik saat ia lewat, lalu diletakkan kembali merasa tidak tertarik.
"Lalu!?"
Tora tampak terdiam, ia menjawab lama.
"Untuk... saudaraku."
"Oh,"
Berselang beberapa belas menit kemudian akhirnya Tora sudah selesai dengan barang yang ia cari, ia menoleh pada kedua temannya.
"Kalian sudah selesai!?"
Kedua temannya langsung mengerutkan alis.
"Memangnya siapa yang mau membeli alat tulis? Kami 'kan hanya ikut karena ajakanmu."
Tora terdiam sesaat dengan alis terangkat sebelah mencerna sutuasi dihadapannya.
"Oh, maaf. Baiklah katakan kalian mau makan apa?"
Tora berjalan ke arah kasir untuk membayar barangnya.
Kedua temannya langsung mengikuti.
"Kau mentraktir kami?"
"Apa? Tidak mau?"
"Tentu saja mau, bodoh!"
Selesai dengan urusan membayar di kasir mereka pun keluar dari tempat itu.
Mencari sebuah cafe untuk makan.
Mereka duduk di sebuah meja dekat jendela lalu memesan makanan dan menunggunya datang.
"Kurasa kau semakin aneh saja Tora,"
"Maksudmu?"
Tora mengalihkan pandangannya sejenak dari layar ponselnya untuk menatap pada teman dihadapannya.
"Kau semakin lama semakin nampak pendiam, kau sedang ada masalah?"
Tora terperanjat, ia segera mengubah raut wajahnya agar tampak tenang.
"Tidak, tak ada masalah. Hanya saja, aku sedang malas bicara banyak. Cuaca sangat panas membuatku malas mengeluarkan energi untuk bicara."
Mau tak mau, kedua temannya harus berlagak memaklumi ucapan konyol Tora, walau mereka yakin bukan itu alasannya.
Setelah merasakan perut kenyang, mereka memutuskan untuk langsung pulang.
Dipersimpangan jalan mereka terpisah jalur. Tora melajukan motornya berbelok ke arah kanan begitu pula sebaliknya pada kedua teman Tora.
Tora memarkirkan motornya di garasi rumah. Tangannya membawa masuk kantung berisi alat lukis yang ia beli tadi kedalam rumah dan menuju kamarnya.
Ia melepas tasnya dan meletakkannya di atas meja belajarnya bersamaan dengan alat lukis itu sebelum mengganti pakaian dengan baju rumahnya.
Selesai berganti pakaian Tora mengambil kantung berisi alat lukis itu dan membawanya keluar kamar.
Saat hendak menaiki lantai untuk menuju lantai dua, ia berpapasan dengan seorang wanita asisten rumahnya yang menyapanya dengan ramah.
Tora pun membalas dengan senyumnya.
Rumah itu tampak sepi walau ada beberapa penghuni lain disana seperti salah satunya yang baru saja menyapanya.
Karena istri sang pemilik rumah yang identik dengan ocehannya tentang pekerjaan setiap hari sedang tak ada dirumah dari beberapa hari yang lalu pergi bersama sang suami untuk kerja diluar kota.
Tora melangkah menuju sebuah ruangan. Ia mengetuk singkat pintu kamar itu sebelum memegang gagang pintu dan membukanya.
Mata Tora mengedar mencari keberadaan sang pemilik kamar.
Senyumnya pun terukir tatkala ia mendapati sosok penghuni kamar sedang duduk didepan sebuah kanvas didekat jendela dan dikelilingi kanvas-kanvas putih lain yang sudah tergores cat warna-warni.
Si penghuni kamar melongokkan kepalanya dari balik kanvas saat ia merasakan dari ekor matanya ada siluet seseorang yang sedang berjalan mendekat ke arahnya.
Saking ia sibuk tenggelam dalam aktivitasnya sendiri sampai tak mendengar ketukan pintu dari Tora tadi.
Entah ketukannya terlalu pelan atau memang ia benar-benar tak mendengarnya tadi.
Senyuman itu terukir indah saat ia tahu siapa yang datang.
Ia mengangkat tangannya yang sedang memegang kuas lalu melambai sedikit sebagai tanda sapa'an.
Ia menaikkan alisnya melihat kantung yang dibawa Tora, tanda ia ingin tahu apa yang dibawa Tora.
Tora memberikan kantung tersebut pada pemuda itu yang diterimanya dengan antusias.
Namun seketika wajahnya tampak kebingungan dan mungkin sedikit kecewa setelah melihat isi kantung itu.
Ia langsung mengambil sekotak cat minyak yang terletak di atas meja disampingnya dan menunjukkan pada Tora.
Isi dari masing-masing botol cat minyak yang berada dalam kotak persegi panjang itu masih tergolong banyak.
Tora bisa langsung mengerti maksud dari pemuda itu, ia mengembangkan senyum.
"Untuk persediaan,"
Bibir pemuda itu sedikit mencebik, ia sedang tidak membutuhkan cat minyak baru sekarang, tapi Tora sering sekali membelikannya lagi dan lagi padahal yang sebelumnya belum habis. Rasanya terlalu boros.
Tora tertawa kecil melihat sikap pemua itu, ia mengacak rambut pemuda itu dengan gemas.
"Sudahlah, tak apa, kalau habis 'kan langsung ada persediaan. Jadi ngomong-ngomong, sekarang kau sedang menggambar angsa?"
Dengan segera ia mengucapkan kalimat lain sebagai pengalihan.
Sebenarnya ia tahu bahwa cat minyak milik pemuda itu masih banyak atau perlengkapan lukisnya belum ada yang rusak, namun ia hanya merasa aneh saja jika datang kekamar pemuda itu -untuk menemuinya setelah pulang sekolah- tanpa membawa apa-apa.
Sudah menjadi suatu kebiasaan saja.
Pemuda itu menoleh ke arah kanvasnya kembali, ia mengangguk sambil tersenyum.
Ia menyimpan cat minyak baru itu di meja di dekat cat minyak lamanya, lalu ia memegang kembali kuas dan palet cat-nya.
"Begitu. Gambar yang bagus, akan ku nilai saat sudah selesai hahaha..." Candanya.
Tora melangkahkan kakinya ke tempat tidur pemuda itu. Ia merebahkan dirinya di sana. Kedua tangannya ia lipat di bawah kepalanya sebagai bantalan meski ada bantal di sana tapi ia tak menggunakan itu.
Ia menatap langit-langit kamar tersebut.
Tak berapa lama, wajahnya menoleh kesamping, menatap pada pemuda yang tengah asyik dengan dunianya itu.
Cantik.
Ya, cantik. Ia makin terlihat cantik saja, semakin hari semakin cantik.
Rambut coklat terang sebahunya, mata yang indah, hidung yang mancung itu keturunan orang tuanya, bibir mungilnya, namun sedikit disayangkan kulitnya terlalu putih, maksudku bukan putih yang indah, tapi lebih seperti kulit pucat.
Namun itu tak mengurangi kekagumanku padanya. Karena ia masih punya senyum menawan dan keahlian melukis juga hati yang baik. Ia masih punya kelebihan yang banyak dibandingkan hanya kulit pucat dan.... tak bisa bicaranya.
Sinar matahari jingga diluar sana masuk melalui jendela dan menerpa wajahnya.
Membuatku makin terbuai menatap wajahnya karena semakin tampak keindahannya diterpa sinar matahari jingga, dengan semilir angin sore yang menerbangkan helai-helai rambut halusnya.
Satu alasan mengapa aku selalu menolak setiap gadis yang menyatakan cinta padaku, yaitu karena dia. Takashi, orang yang sedang berada dihadapanku.
Dia orang yang sangat kucintai.
Ya, aku tahu itu tidak wajar, karena seharusnya aku menjaganya sebagai kakak.
Tapi kami bukan saudara kandung 'kan?
Ya, walaupun kami sudah hidup satu rumah selama dua belas tahun.
Tapi apakah salah, jika aku mencintainya lebih dari seorang kakak?
Apa tidak boleh?
Jika waktu bisa diputar ulang aku lebih memilih tak mau di adopsi orangtua Takashi dulu. Tapi mungkin jika aku memilih itu, mungkin aku tak akan pernah bertemu dengannya.
Sudah lama rasa kebingunganku, kegundahanku itu menyergapku. Dilain sisi aku harus bersikap seperti seorang kakak, karena bagaimanapun, aku diadopsi sebagai anak orangtua Takashi, berarti aku harus jadi kakaknya.
Tapi aku tak mau menerima itu. Aku menjalani statusku sebagai kakaknya selama beberapa tahun ini dengan kepura-puraan.
Beberapa tahun ini saat aku mulai menyadari perasaanku sebenarnya.
"Takashi-san!?"
Suara ketukan dipintu kamar Takashi membuat Tora terperanjat.
Ia sontak terbangun dan duduk dikasur.
Seorang wanita melongok dari balik pintu, ternyata pengurus rumah mereka datang memanggil untuk menyuruh makan malam.
Takashi mengangguk mengerti dan pengurus itu pun pergi dari depan pintu.
Takashi menyimpan alat lukisnya lalu bangkit dari duduknya.
Ia menoleh pada Tora dan menatapnya memberi isyarat mengajaknya untuk turun bersama.
"Ya, kau duluan saja ke ruang makan, aku mau mandi dulu."
Tora bangun dari tempat tidur Takashi, ia keluar dari kamar Takashi dan menuju kamarnya sendiri.
Tak berapa lama Tora menyusul ke meja makan dengan wajahnya yang sudah tampak segar.
Di meja makan, mereka makan seperti biasanya, tidak terlalu banyak bicara namun juga tak terlalu serius.
Hanya bicara jika ada yang perlu, seperti sekarang ini.
"Besok jadi ke taman!?"
Takashi mendonggak melihat ke arahku, ia mengangguk antusias menjawab pertanyaanku.
Beberapa hari yang lalu aku berjanji untuk mengajaknya keluar, pergi ke taman di akhir pekan.
Sudah menjadi jadwal khusus membawanya melukis di alam bebas tiap akhir pekan.
Wajahnya saat aku mengajaknya itu sungguh terlihat sangat senang sekali.
Akupun jadi ikut senang jika melihatnya senang.
Aku sangat bersyukur orang tua nya sudah mau menerimanya sebagai anak kandung mereka. Darah daging mereka.
Jika mereka tetap tak mau menerima waktu itu, mungkin kami sudah di daerah mana sekarang.
Karena kalian tahu, saat itu aku berniat membawa Takashi pergi dari rumah bersama ku. Daripada dia tak di anggap terus bukan?
Daripada ia tersiksa batin karena tak di anggap anak dari kedua orangtua kandungnya sendiri.
Cukup waktu panjang untuk membuat hati mereka luluh, aku berulang kali terus meyakinkan mereka, membujuk mereka, aku bilang anak mereka punya bakat luar biasa.
Tapi mereka masih tak mau menerima. Mungkin hampir luluh namun masih gengsi, maka akhirnya aku melakukan hal nekat itu.
membawa pergi Takashi pergi dari rumah.
Dan usaha terakhirku itu akhirnya membuahkan hasil.
Mereka tak mau Takashi kubawa pergi, mereka akhirnya sadar, anak mereka adalah darah daging mereka, seseorang yang sangat berharaga lebih dari apapun didunia ini. Dan lagi punya bakat luar biasa. Mau menyadari bahwa kekurangan Takashi itu bukan suatu masalah.
Bukan hal yang memalukan.
Sejak saat itu orang tua Takashi mulai memperhatikan Takashi, memberinya kasih sayang yang selama ia kecil belum didapatinya.
Mereka memberi semua kebutuhan melukis Takashi, memberinya sekolah, walau home schooling.
Itu dikarenakan Takashi sudah terbiasa dan nyaman hanya berada didalam rumah. Itu permintaannya sendiri.
Katanya jika dirumah, dikamarnya lebih tepat, ia bisa belajar sambi melihat lukisannya sendiri. Atau saat selesai belajar ia bisa langsung melukis tanpa harus menunggu bis atau melaju di perjalanan pulang dengan kendaraan masing-masing seperti anak-anak sekolah pada umumnya.
Begitu cintanya ia pada bakatnya itu.
Namun dengan inisiatifku sendiri sesekali aku mengajaknya keluar ke tempat-tempat keramaian untuk bersosialisasi. Karena itu sangat penting bukan?
Dan juga untuk menyegarkan otaknya karena aku yakin ia pasti membutuhkan itu.
Bayangkan saja ia menghabiskan waktu hampir dua puluh empat jam didalam rumah.
Lagipula, hampir semua lukisan-lukisan itu ia gambar setelah aku mengajaknya keluar.
Karena diluar lebih banyak lagi objek yang lebih indah yang bisa ia lukis.
Sejak saat itu ia meminta keluar tiap minggu sekali.
Pergi ke taman dan sebagainya.
Cita-citanya menjadi pelukis terkenal, karyanya dipajang di pameran dan dilihat orang banyak.
Bahkan ia bermimpi punya galery pameran sendiri untuk memajang semua lukisannya sendiri nantinya.
Saga tahu orang tua nya bisa memfalisitasi itu, namun ia tak mau mengajukan permintaan itu pada orang tua nya, ia ingin berusaha sendiri, paling tidak membuat lukisannya bisa dikenal banyak orang dulu baru ia dengan perasaan enak meminta pada orang tuanya apa yang ia butuhkan itu.
Aku terkesiap saat mataku melihat bayang-bayang yang bergerak cepat didepanku.
Dan saat aku sadar ternyata Takashi baru menurunkan tangannya, sepertinya tadi ia melambai-lambaikan tangannya didepan wajahku.
Entah sejak kapan aku jadi melamun memikirkan hal itu lagi.
"Ada apa!?"
Takashi menggerakkan kedua tangan dan jari-jarinya, aku sedikit meyerngit sampai beberapa saat aku baru mengerti apa yang dilontarkannya dengan bahasa isyaratnya itu.
Beruntung aku bisa menegerti karena sering melihatnya menggunakannya sehari-hari sampai aku bisa menghafalnya. Yah, walaupun cuma beberapa dan masih perlu beberapa detik untuk mencernanya.
"Aa... tidak, tak ada masalah, hanya teringat kegiatan klub disekolah saja, sedikit merepotkan tadi." aku menjawab pertanyaannya.
Takashi tersenyum, ia bergerak lagi membentuk sebuah bahasa isyarat yang mengartikan, jangan banyak melamun, jika ada masalah aku siap mendengar curhatan niichan.
Tora tersenyum,
"Ya, tentu saja."
Takashi mengangguk, lalu mengangkat diri dari kursinya, beranjak dari meja makan setelah ia pamit mau kembali kekamar.
Ternyata dia sudah selesai makan.
Kulihat pada piring makanku, masih banyak tersisa nasi.
Tapi aku tak nafsu lagi untuk memasukkan nasi itu kedalam mulutku.
Lagipuka sebenarnya oerutnya masih terasa kenyang karena sudah makan dikuar bersama temannya seoulang sekolah beberapa jam yang lalu.
Akupun meminum air putih dan beranjak menyusul meninggalkan meja makan.
Tsuzuku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar