Selasa, 23 September 2014

[FF] FUURIN #1

Title : FUURIN
Author: Sachi_ciel, SachiJ6
Chapter : 1/?
Fandom: Alice Nine, OC.
Pairing : Kalian tau kan OTP sayaaa... xDd
Genre: AU, drama, ama satu lagi.... errr.... *takit nulisnya*
Rating: T
Disclaimer: Tora is mine.
*Yang percaya saya ucapkan terima kasih banyak*
(Dibakar idup-idup)
Note: ngg.... okeh, judul sama isi nya sebenarnya benar-benar gak nyambung. cuma terinspirasi gegara denger lagu FUURIN. Kebayang banget zaman jepang jadul. Saat ini lagu berdendang di kuping saya, bayangan kayak semacam PV gitu muter-muter di otak saya.
PV dengan cewek yang sedih menunggu sang kekasih di atas jembatan yang tak kunjung datang.
Pengen deh liat member arisu bikin ini pv, mereka pake kimono gitu. #buaghhh
Padahal pas bayangin itu saya sama sekali ga baca lyricnya.
Dan pas saya baca beberapa lama kemudian, ternyata lyricnya emang sedih. :(
Dari musik aja udah terasa gimana kesedihannya.

Dan akhirnya setelah lama scene itu muter-muter di otak saya, baru bisa ditumpahkan ke tulisan sekarang.
#payah

Okelah, kenapa ini jadi curhat.
Jadi yang mau baca silahkan.
Yang engga juga gapapa.
Yang baca maaf semisal ini ff rasa aneh.
Entahlah, saya cuma pengen numpahin apa yang sudah terpendam lama di otak gegara dengar lagu itu.















Bel sekolah sudah berdentang, tandanya jam belajar sudah berakhir. Para murid bisa kembali ke rumah mereka masing-masing.

Seketika perkarangan sekolah menjadi sepi.

Hanya tinggal beberapa siswa yang masih berlalu-lalang di wilayah sekolah mungkin masih ada keperluan.

Beruntungnya sekolah ini tetap membuka perpustakaannya walau jam sekolah sudah berakhir.
Ia masih dibuka sampai sore nanti.

Sesosok siswa berambut hitam legam baru saja tiba di perpuatakaan, sepertinya dia baru dari kelasnya dan langsung menuju pustaka.

Tas nya terlihat cukup berat dan ia memegang beberapa buku tebal ditangnnya.

Ia masuk kedalam pustaka dan langsung mencari sebuah meja.
Ia melepas tasnya dan meletakkan buku yang ia bawa di atas meja tersebut.
Langsung saja setelah itu ia menuju rak buku.
Ia mencari buku yang ia butuhkan untuk tugas kelompoknya.
Buku sejarah, yang berisi tentang saat konflik di masa restorasi Meiji.

Ia menemukan satu buku tentang sejarah Restorasi Meiji, ia mengmbilnya.
Ia mau mencari mungkin satu buku lagi untuk melengkapi.
Matanya menjajal tiap judul buku yang dijajar rapi dihadapannya.
Sampai ia melihat sebuah buku yang diletakkan di atas buku-buku lain yang berjajar rapi.
Sampulnya menarik mata pemuda itu karena warnanya yang mencolok di antara buku lain, merah marun.

Ia mengambil buku itu dan melihat judul dan keterangannya.

Itu bukan buku sejarah, tetapi novel.

Pasti seseorang meletakkan buku itu asal-asalan di rak buku sejarah setelah ia tak jadi mengambil novel tersebut.
Bukanya meletakkan kembali pada tempatnya.

Tapi buku itu cukup menarik perhatiannya.
Dari warna sampul hingga gambar yang menghiasi sampul depannya.

Seseorang yang berdiri menghadap belakang.
Ia mengenakan kimono putih yang melambai ditiup angin berdiri di atas jembatan di sungai kecil sambil mengenakan payung. Wajahnya tak diperlihatkan karena berdirinya yang membelakangi ditambah ia memakai payung pula.
Suasananya muram dengan langit mendung dan terbangan beberapa daun kering.

Pemuda berambut hitam itu membalik buku itu dan mebaca sinopsis yang ada di sampul belakang.

Dan ia pun sepertinya tertarik akan buku itu.
Terlihat dengan ia yang membawa buku itu beserta dengan buku sejarahnya ke meja yang sudah ia letakkan tasnya tadi.

Bukanya membaca buku sejarah untuk bahan kelompoknya seperti tujuan utamanya tadi, ia malah membuka novel itu ingin membacanya.
Sepertinya ia benar-benar tertarik akan kisahnya.

"Hei, Tora!!"
Saat akan membaca, tiba-tiba saja ia dipanggil oleh temannya yang berdiri dipintu perpustakaan.

"Ha? Ada apa!?"
Responnya yang menunda dulu membaca novelnya.

"Kata Akira, untuk isi bagian bab dua biar dia saja yang mencari, kau bagian bab tiga saja."

"Oh, lalu, kenapa kau masih berdiri disitu? Kau juga harus mencari isi untuk bab bagianmu 'kan?"

"Hehe.. aku kan mencari bahannya besok saja sekarang ada keperluan lain.
jaa... sampai jumpa besok."

Pemuda itu pun beranjak dari depan pintu.

Tora kembali menghadap pada novel dihadapannya sambil sedikit menghela nafas panjang.

Ia pun mulai membaca.



Jepang tahun 1868 .
Zamannya modernisasi bagi jepang.
Di masa itu para Samurai menjadi kehilangan tuannya akibat hak
atas wilayah kekuasaan sang tuan dicabut oleh
pemerintah. Samurai yang tidak lagi memiliki tuan menjadi kehilangan pekerjaan.

Mereka yang kehilangan pekerjaan dan tempat
tinggal menjadi pengembara.
Lalu mereka disebut Ronin.
Ronin sering menjadi sebab timbulnya kerusuhan
skala kecil di berbagai daerah. Walaupun para
daimyo banyak membutuhkan prajurit untuk
berperang, ronin hampir tidak berkesempatan
mendapat majikan yang baru. Situasi keamanan
yang buruk menyebabkan ronin membentuk
komplotan yang saling berebut wilayah dan
pengaruh, beroperasi sebagai gerombolan
pencuri hingga menimbulkan huru-hara.


Semua mereka lakuakan demi menyambung hidup mereka.

Bahkan ada yang nekat menjadi pembunuh bayaran yang bekerja pada para petinggi-petingi yang sedang bersaing ketat dan membutuhkan jasa mereka. Yang penting mereka mendapatkan uang.

Namun tak semuanya seperti itu, ada yang memilih jalan baik dengan menjadi petani atau buruh.

Kehidupan disetiap daerah pun berbeda-beda. Ada yang tingkat kekacauan yang dilakukan ronin dengan skala kecil ada juga dengan tingkat kekacauan skala besar.


Disebuah sudut kota Edo penduduknya tampak damai.
Aktifitas warga berjalan lancar.

Pagi yang cerah para penduduk berlalu-lalang dengan nyaman dijalanan menuju tempat tujuan mereka masing-masing.
Sama halnya dengan aktivitas dirumah.

Mereka melakukan pekerjaan rumah tanpa rasa was-was.

Seperti yang sedang dilakukan oleh seorang pemuda berambut coklat di depan sebuah rumah okiya.

Ia sedang menyiram tanah sehabis ia menyapu tadi.
Tampaknya hari ini matahari akan sangat terik.
Lonceng angin yang terpasang di kayu penyangga atap teras berdenting pelan karena angin pagi belum begitu kencang.

Ia menyiramnya agar debu-debu ditanah didepan rumah tak terangkat oleh angin dan berterbangan masuk kedalam.

Ia menyeka keningnya yang sudah dialiri keringat sambil memperhatikan hasil kerjanya.
Halaman bersih sempurna.

"Ugh... masih pagi seperti ini saja hawa panas sudah terasa.."

Ia melihat arah sinar matahari pagi yang tampak sangat merah.
Tak mau berlama-lama diluar, ia segera masuk kedalam.
Pekeraan didapur menunggunya.

Takashi memutar badan untuk melangkah menuju dapur.
Ia melewati samping rumah untuk menuju belakang dapur karena ia harus menyimpan sapu dan timba kayunya terlebih dahulu.
Setelah itu ia mengambil beberapa kayu bakar ditempat penyimpanan.
lalu membawanya masuk kedapur lewat pintu belakang.


Takashi langsung menyusun kayu nya di bawah tungku.
Ia mengambil korek dan meyalakannya.
Ia tiup-tiup agar api cepat membesar.

Setelah dirasa api menyala dengan baik, ia bangun dan mengambil wadah untuk dimasukkan beras dan mencucinya disumur.

Takashi kembali keluar dari dapur, ia membawa wadah berisi beras menuju sumur.
Ia meletakkan beras itu ditanah dan menimba air.
ia lalu mencucinya.

Setelah selesai ia kembali kedapur dan memasukkan beras kedalam panci penanak nasi lalu diletakkannya di atas tungku yang sudah terpasang api.

Ia meninggalkan tungku dan mengambil sayuran yang ada didalam lemari bahan makanan, membawanya ke atas meja, mengambil beberapa wadah kosong dan mulai memotong-motong sayurannya.

Suara tawa beberapa wanita yang ada diruang depan terdengar sampai ke telinganya.
Seperti perbincangan mereka begitu asyik.
Sudah hal bisa ia mendengar suara tawa mereka.

Yah, beginilah pekerjaan Takashi setiap harinya.
Menjadi pelayan di rumah okiya.
Dan siap melayani pemilik okiya juga para geisha nya.
Ia dikirim ibunya dari daerah perdesaan yang miskin ke kota itu pada waktu umurnya lima belas tahun.
Ia sudah dua tahun bekerja di okiya milik Megumi-san yang ia panggil okaasan dan sekarang usianya sudah menginjak tujuh belas tahun.

Tiap sebulan sekali ia mengirim uang untuk ibu dan adiknya.
Ya, hanya tinggal ibu dan adiknya karena sang ayah sudah lama meninggal karena sakit keras.
Walau tak banyak uang yang ia kirim, tapi paling tidak bisa sedikit meringankan.

"Takashi!?"

Seorang wanita muncul dipintu dapur.
Ia adalah wanita yang benar-benar ramah dan sangat perhatian padanya.
Takashi di anggap seperti adiknya sendiri.
Takashi sering memanggilnya....

"Ya, Atsuko-neechan!?"

"Tolong buatkan teh ya, ada tamu."

"Baik!"

Takashi meninggalkan sejenak sayurannya.
Ia beralih mengambil wadah untuk mengambil air bersih untuk merebusnya.
Tak lupa ia memeriksa nasi yang berada di tungku sebelah sebelum ia memasang api di tungku yang masih kosong itu.
Setelah memasang api, ia meletakkan panci berisi air mentah yang ia ambil barusan.
Sambil menunggu air mendidih ia menyiapkan cankir dan teko teh di atas nampan.

Mengambil daun teh hijau dari dalam lemari penyimpanan dan memasukkannya beberapa sendok teh kedalam teko.

Tak berapa lama Takashi selesai membuat tehnya.
Ia langsung membawanya ke ruang tamu.

Disana berkumpul para geisha. Ada yang ikut dalam perbincangan, ada juga yang sedang sibuk merias. Dan sepertinya yang datang juga geisha teman mereka.

Takashi berjalan menunduk, ia lalu duduk berlutut dan memberikan teh nya pada tamu.

"Silahkan teh nya.."

Saga berdiri hendak kembali ke dapur, tapi ia di tahan oleh Atsuko.

"Takashi, duduklah disini dulu..."

Takashi hendak menolak, tapi ia tak berani.
Siapa yang berani menolak perintah majikan?

Takashi kembali duduk, namun matanya terus menatap lantai.

"Jadi ini Takashi yang sering kau ceritakan Atsuko?"

Tanya tamu itu, membuat Takashi sedikit terkejut.

Apa yang diceritakan oleh Atsuko-neechan memangnya?
Pikir Takashi dalam hati.

"Ya, dia cocok 'kan??"

"Hmm.. "
Tamu yang ternyata teman dekat Atsuko tampak memperhatikan Takashi sangat dalam.
"Ya, dia punya wajah yang indah"

"Tapi sayangnya ia tak mau menerima ajakanku, padahal aku sangat mau mengajarinya kalu okaasan tak sempat mengajari"
Ucap Atsuko dengan wajah kecewa.

"Soukaa?? Kau tidak mau Takashi?? Menjadi geisha, itu pekerjaan yang penuh seni."

"Maaf..."
Jawab Takashi dengan satu kata maaf, cukup menjelaskan bahwa ia menolak. wajah nya masih menunduk.

Sudah sering Atsuko mengajaknya untuk menjadi geisha.
Atauko bilang ia punya potensi.
Tapi Takashi seperti menutup mata.

Ia merasa tak punya kemampuan untuk menjadi geisha.
Geisha harus selalu tampak ramah, lemah-lembut dan selalu tersenyum .
Bisa menyimpan apapun masalah didalam hati mereka dengan wajah tetap tersenyum.

Berbeda dengan Takashi, ia selalu dan setiap hari memikirkan nasib ibu dan adiknya di kampung. Apakah mereka baik-baik saja, apakah mereka cukup makan hari ini?
Memikirkan hal itu setiap hari membuatnya tampak selalu murung dan kurang senyum.
Ia terlalu fokus bekerja pada apa pekerjaannya sekarang, hanya berpikir untuk bekerja keras mengumpulkan uang yang banyak untuk bisa membahagiakan keluarganya.
Ia merasa kemampuannya hanya ada pada apa yang ia kerjakan sekarang.

Walau terkadang ia sangat tertarik saat melihat para geisha itu memainkan alat musik terutama shamisen.
Tapi ia cepat-cepat menghapus keinginannya untuk mempelajari itu.

Ia hanya orang yang terlalu perasa, yang kembali teringat akan kesusahan keluarganya begitu ia mendapat sedikit hal yang menyenangkan.

Maka itu ia berpikir pekerjaan geisha adalah pekerjaan yang terlalu menyenangkan untuknya.

Cukup bekerja sepenuh hati pada pekerjaannya sekarang dan dikelilingi orang yang baik hati saja, sudah cukup merasakan kebahagiaan kecil untuknya agar ia bisa terus mengingat keluarganya disana.


"Ah, anou.. maaf saya harus kembali ke dapur.."
Takashi teringat pada nasi yang ia tinggalkan di atas tungku.
Iapun permisi untuk kembali ke dapur dan melanjutkan lagi pekerjaannya yang tadi sempat terhenti.


Sekarang pukul delapan malam.
okiya sudah tampak sepi karena para geisha sudah keluar untuk melakukan pekerjaan mereka.
Hanya tinggal okaasan.
Dan ia pun sepertinya akan keluar juga entah untuk keperluan apa melihat ia sudah rapi dengan kimono nya yang bagus.

Ia menghampiri Takashi yang melihatnya dari dapur tadi.

"Takashi, setelah mencuci piring tolong kau belikan sake sebentar ya, di toko biasa. Okasan mau buru-buru pergi."

"Baik."

Takashi me-lap tangannya yang basah di lengan yukatanya lalu menerima uang dari okaasan.


Seperti yang diperintahkan okaasan nya, selesai dengan semua pekerjaannya di dapur Takashi bersiap-siap untuk keluar membeli sake.
Ia memeriksa semua pintu apakah sudah benar-benar terkunci atau belum, sampai terakhir ia keluar dari pintu belakang dan menguncinya.

Takashi merasa hawa diluar cukup dingin, ia melihat ke langit, ternyata agak mendung.
Padahal tadi siang begitu panas. Cuaca memang kadang tak bisa ditebak.

Takashi mengambil payung yang tergantung di dinding luar dapur, payung yang memang sering ia gunakan diwaktu hujan.
Ia membawanya untuk berjaga-jaga. Mana tahu saat diperjalanan hujan turun.

Akhirnya setelah mengambil payung ia melangkah menuju toko tempat menjual sake.
Sedikit jauh dan harus menyeberangi satu sungai kecil. Namun tak masalah bagi Takashi karna ia sudah sering ke sana .
Okaasan nya sudah berlangganan di toko itu.
Lagipula, sekalian ia bisa jalan-jalan menghirup udara segar setelah seharian bekerja didalam okiya.

Tak terasa ia tiba di toko penjual sake.
Kedatangannya yang baru selangkah masuk kedalam toko langsung disambut senyum ceria sang pemilik toko.

"Hei, Takashi ! Mau beli sake ya?"

"Ah, iya paman, seperti biasa."
Tingkah sang paman pemilik toko bisa membuatnya sedikit tersenyum .

"Baiklah, kemari..."

Takashi mendekati meja panjang tempat paman itu berada, ia tampak sedang menulis sesuatu di bukunya.
Mungkin sedang mendata beras-berasnya yang baru datang.
Sebenarnya itu adalah toko beras, tapi sang pemilik toko juga membut sake sebagai pekerjaan sampingan.

"Mau beli berapa botol?"

"Lima saja."

"Hanya lima? Sedikit sekali, bilang pada okaasan mu kalau menyuruhmu beli sake yang banyak sedikit, hahaha..."

"Akan coba saya sampaikan..."

"Heeh... kau terlalu serius, paman hanya bercanda."

Paman itu pun pergi kebelakang setelah sedikit bercanda dengan Takashi untuk mengambil sake di penyimpanan belakang.



Tak berapa lama sang paman membawa enam botol sake kehadapannya.

"Ini sake nya, satu kuberikan gratis untukmu."

"Ha?"

Takashi tampak kaget.
Tentu saja, di usianya sekarang ia belum boleh minum sake atau minuman beralkohol lainnya sampai umur dua puluh tahun. Itu sudah peraturan pemerintah.

"Kenapa?? Kau tidak mau mencoba mencicipinya??"
Sang paman sadar akan keterkagetan Takashi.

"Saya belum boleh minum sake 'kan, paman?"

"Tentu saja, bocah masih bau kencur sepertimu mana bisa minum sake, ini memang kuberikan gratis untuk okaasanmu hahaha.. Tapi itu peraturan pemerintah 'kan? Jika memang badanmu yang sekarang sanggup menerimanya, yah, boleh saja kau menyimpannya satu untuk mencicipinya sedikit. Hahahaha..."

Takashi menghela nafas. Terkadang candaan paman itu sering membuatnya tak habis fikir.

"Baikalah paman, ini uangnya. Terima kasih banyak."

Saga sedikit merendahkan kepalanya memberi hormat pada yang lebih tua. Dan siap berbalik sampai sang paman pemilik toko kembali berucap.

"Mau langsung pulang sekarang? Diluar sudah hujan. Duduk saja dulu disini jika kau mau, bibi sedang memasak kare didapur."

Takashi melihat ke arah luar.
"Ng... tak apa paman, saya membawa payung. Lagipula hujannya belum terlalu deras. Jika terus menunggu disini, bisa-bisa sampai tengah malam karena tak tahu hujan kapan akan berhenti."

"Begitu? Yasudah, hati-hati."

"Baik. Permisi paman,"

Takashi keluar dari toko, ia mengambil payung yang ia sandarkan didekat pintu dan membukanya.

Seketika saat ia menjauh dari toko baru beberapa langkah, hujan turun makin deras.
Ia mempercepat langkahnya agar segera tiba di rumah.

Jalanan tampak sudah sepi karena orang-orang sudah pasti berteduh didalam rumah.
Hanya beberapa orang yang tetap berlalu lalang seperti dirinya karena mungkin ada keperluan penting.

Air hujan terbang tak berarah karena dibawa angin yang cukup kencang, seperti angin ribut. Membuat Takashi harus memegang payungnya kuat-kuat.
Bahkan memakai payung pun sepertinya tak ada artinya karena yukatanya tetap basah oleh air hujan yang terbang tak berarah dibawa angin.
Ia berharap payungnya tak rusak diterbangkan angin yang begitu tak terkendali.

Takashi tiba di sungai kecil yang juga ia lewati saat hendak pergi tadi.
Menaiki jembatan melengkung itu.
Tapi tiba-tiba matanya terbelalak.
Ia melihat sesosok orang berdiri di ujung jembatan, sepertinya hendak menaiki jembatan namun ia tak sanggup. Takashi melihat orang itu tak berdiri tegak, tangan kanannya memegang perutnya, sedangkan ia menyandarkan tubuhnya pada pagar jembatan.

Sampai akhirnya orang itu terjatuh terlungkup dan suara dentingan pedang ditangan kirinya yang jatuh menghantam batu terdengar di telinga Takashi.

"Tuan!!?"
Spontan Takashi berlari mendekat.
Ia bisa melihat darah mengalir dari bawah perut orang itu.
Takashi tak bisa menyembunyikan kepanikannya.
Ia meletakkan payungnya di lantai jembatan beserta botol sake nya.
Saat payungnya ditiup angin menjauh darinya pun ia tak perduli lagi, yang harus ia pedulikan sekarang adalah orang ini.
Ia hatus segera menolong pria ini.

Mungkin dia adalah seorang samurai yang baru bertarung atau apapun itu karena ada pedang ditangannya.
Namun ia tak mempedulikan siapapun orang itu, karena ia hanya ingin menolong orang. Apalagi sudah sekarat seperti ini.

Takashi mengambil pedang pria tersebut dan didirikan di pagar jembatan.
Lalu ia mengambil botol-botol sakenya dan memegangnya ditangan kiri.

Dengan mengumpulkan segenap tenaga Takashi mengangkat tubuh orang itu agar berdiri.

"Ugh!"
Sangat berat, melihat tubuh pria itu memang lebih besar dari dirinya, apalagi dalam keadaan lemah seperti itu, semua beban tubuh orang itu harus ia yang menahannya.

Dengan bersusah payah akhirnya Takashi berhasil mendirikan pria itu.
Ia lalu mengambil pedang yang sudah ia dirikan tadi agar mudah mengambilnya dan memasukkan kedalam sarung pedang yang mengantung di pinggang pria tersebut.

Takashi pun melangkah pulang, beruntung sang pria masih sedikit dalam keadaan sadar jadi ia bisa menggerakkan kakinya untuk berjalan walau tertatih-tatih.
Bajunya yang sudah basah kuyup tak ia hiraukan lagi.

Sampai akhirnya ia tiba dirumah.

Takashi membawanya masuk lewat pintu belakang.
Ia meletakkan pria itu di lantai dapur.
Rumah masih sepi, sepertinya mereka pun terjebak hujan.

Ia tak tahu apakah okaasan mengijinkannya membawa orang asing kedalam rumah atau tidak.
Tapi ia akan pikirkan itu nanti, jika memang ia dimarahi dan dihukum, maka ia akan terima.
Daripada ia menelantarkan orang yang sekarat butuh pertolongan.
Takashi menyimpan botol-botol sake di atas meja lalu segera berlari kekamarnya.

Ia mau mengambil kotak obat dan harus mengganti pakaian orang itu yang sudah basah kuyup agar tak bertambah sakit.

Lantai rumah jadi kotor dan basah karena jejak kakinya dan tetesan air dari yukatanya.

Ia akan membersihkan itu nanti.

Takashi buru-buru mengambil kotak obat dilemari, dan membuka pintu lemari satunya mengambil sepotong yukata miliknya yang sekiranya agak besar agar pas untuk orang itu.
Walau akhirnya tak ada ukuran yang lebih besar namun ia tetap mengambilnya, mungkin agak sempit dipakai, namun daripada tetap memakai pakaian basah 'kan?
Terakhir Takashi menyambar satu buah selimut dan berlari kembali ke dapur.

Ia duduk disamping pria tersebut dan meletakkan semua benda yang di ambilnya dari kamar disampingnya.
Pertama ia harus mengganti pakaiannya.
Takashi membuka selimut yang ia bawa lalu membentangnya di atas tubuh pria itu agar tak tambah dingin lagi sampai batas pinggangnya saja karena ia harus melepas baju atasnya terlebih dahulu.

Dengan pelan-pelan Takashi membuka obi yang mengikat hakama pria itu.
Ia bergidik ngeri melihat luka sayatan di perutnya yang cukup dalam, namun ia mencoba kuat.

Cukup lama ia mengganti pakaian pria itu karena ia harus ekstra hati-hati agar tak mengenai lukanya.
Karena luka sayatan tak hanya ada diperutnya, juga ada dilengan dan punggungnya namun tak separah di perutnya.

Setelah memakan waktu cukup lama akhirnya ia selesai mengganti pakaian pria tersebut.

Takashi mulai membuka kotak obatnya.
Ia sengaja tak menutup dulu bagian badannya dengan yukata agar ia bisa mengobati luka yang kebanyakan ada di bagian tubuh atasnya.
Bagian kaki tetap ia tambah dengan selimut walau sudah tertutup yukata .

Takashi mengambil air hangat dan mencelupakannya dengan kapas yang lalu ia gunakan untuk membersihkan darah yang masih mengalir diperutnya.
Lukanya cukup parah.

Takashi sampai terkejut karena pria itu meringis sakit saat ia mencoba membersihkan lukanya lebih dekat ke bekas sayatannya.

"M..maaf.."

Saat pria itu kembali tenang, Takashi memulainya lagi.
Sampai akhirnya ia berhasil mengobatinya sampai selesai.


Sekarang pria itu sudah berselimut seluruh badan, dan ia pun sudah tertidur tenang.
Takashi tanpa sadar menatap wajah pria itu, saat ia membersihkan wajahnya tadi ia belum berpikir apa-apa karena dalam keadaan panik. Namun sekarang ia bisa berfikir bawha wajah pria itu tampan. Sangat tampan dengan hidung mancung dan garis wajahnya yang tegas itu.

"Huatchih!!"
Takashi menggosok hidungnya dengan jari telunjuk.
Ah, dia sampai lupa bahwa ia juga harus segera mengganti pakaiannya .
Takashi membereskan peralatan obatnya lalu berdiri dan menuju ke kamar .
Saat melangkah di koridor ia menemukan lantai koridor basah karena ulahnya tadi.
Selesai berganti pakaian ia harus lanjut membersihkan lantai.

Takashi menyimpan semua ember dan kain untuk mengepel lantai. Ia sudah selesai membersihkan lantainya.

Lalu ia berjalan ke arah tungku dan memasang beberapa kayu bakar.
Ia berniat menyalakan tungku agar udara jadi sedikit hangat, karena hujan masih saja turun.

Saat ia menuip api agar kayu cepat terbakar, sayup-sayup ia seperti mendengar seseorang seperti memanggilnya.

"Takashi!!!"

Sampai suara itu memanggil begitu keras sampai terdengar seperti membentak, barulah ia tersentak kaget dan menyadarinya.

Ia langsung lari ke ruangan depan dan cepat-cepat membuka pintu.
Okaasan nya sudah pulang.

"Kau sudah tidur!?"

"Tidak, belum. Saya sedang didapur, karena suara hujan yang terlaku deras saya jadi tak mendengar okaasan memanggil"

"Haah.... ya, hujannya memang terlalu deras. Aku sampai basah kuyup begini. Yang lainnya belum pulang ya!?"

"Belum..."


Seketika rasa takut menghinggapinya.
Bagaimana cara mengatakannya, tentang orang yang dibawanya.
Takashi jadi bergetar.

Ia tak pindah dari tempatnya berdiri sambil melihat okaasannya yang tampak seperti biasa menyimpan sendalnya di rak lalu berjalan beberapa langkah untuk menginjakkan kakinya di atas keset sebelum naik ke lantai rumah. Takashi mendekat ke okaasannya.
Sampai okaasan menyadarinya.

"Kau kenapa masih disini?? Tolong siapkan pakaian kering untukku."
Okasan jadi sedikit merasa aneh, biasanya Takashi selalu sigap.

Takashi menunduk, ia menggigit bibirnya dan tangannya meremat tangan satunya.

"Okaasan, aku... aku membawa orang asing masuk ke dalam rumah."

Seketika mata okaasan melebar kaget.



Tsuzuku.


























































Sabtu, 20 September 2014

[FF] Relic 1

Title : Relic
Author: Sachi_ciel
Chapter : 1/?
Fandom: Alice Nine, OC.
Pairing : Devil king bersama tupai tercintanya.
Genre: AU, drama.
Rating: T
Disclaimer: Tora is mine.
*Yang percaya saya ucapkan terima kasih banyak*
(Dibakar idup-idup)




✩✩✩✩✩


Pukul empat sore.
Suasana rumah luas dengan pilar menjulang tinggi disetiap lorongnya dan lantai marmer yang mengkilap itu kini tampak sepi.

Hanya ada beberapa pekerja rumah tangga yang berlalu-lalang dilorong dan melewati sebuah ruangan yang kini sedang intai oleh seorang pemuda pirang.

Ia berdiri di dinding dekat pintu masuk, sambil memainkan sebuah game portable.

Pemuda itu balas menyapa seorang pekerja rumah yang sedang melintas itu agar tak dicurigai.

Begitu sang pekerja dirumah menghilang dibalik tikungan lorong, pemuda itu kembali bergerak.

Hiroto namanya. Ia sudah lama mengawasi ruangan itu.
Ruangan yang digunakan untuk beristirahat.
Ruang tidur dengan pintu besar berhiasan ukiran cantik dan megah.

Sekali lagi Hiroto mengedarkan pandangannya kesekitarnya, memastikan jika tidak ada orang yang melihat.

Ia memasukkan game portable-nya kedalam saku celana lalu menggenggam gagang pintu berbentuk silinder itu dan mendorongnya hingga daun pintu itu terbuka sampai batas ukuran tubuhnya bisa lewat.

Saat menutup pintu itu dengan pelan, Hiroto tanpa sadar berdiam diri didepan pintu, ia menelusuri tiap sudut ruangan itu. Ruangan yang baru pertama kali ia masuki.

kamar tidur yang luas, lebih luas dari kamar tidurnya.
banyak lukisan kuda menggantung ditiap dinnding. lukisan lapangan tempat pacuan kuda, kandang kuda, semua tentang kuda.

Ya, dia tahu ibunya -ibu tirinya lebih tepatnya- suka berkuda, tapi dia tak tahu bahwa ibu tirinya secinta ini pada kuda sampai memasang banyak lukisan tentang hewan itu.
Tapi bukankah ibu tirinya hanya suka berkuda saat ia muda dulu? karena setahu Hiroto saat ini ia tak pernah sekalipun melihat ibunya menunggang kuda. Bahkan ibu tirinya pun tak memelihara kuda padahal dirumah itu punya halaman cukup luas.

Cukup lama Hiroto memperhatikan tiap sudut kamar itu. Karena memang baru pertama kali ia masuk ke kamar itu.
Ibu tirinya selalu melarangnya masuk.
Jika Hiroto ada keperluan dengan ibunya ia hanya hanya bisa mengetuk pintu dan memanggil dari luar.

Dengan begitu ibu tirinya segera membuka pintu. Tersenyum melihat anaknya dan segera keluar dari kamarnya lalu langsung menutup pintunya rapat-rapat.
Setelah itu mengajak Hiroto pergi ke ruangan santai atau dimanapun ruangan di rumah itu asal bukan kamarnya untuk membicarakan apa keperluan Hiroto. Selalu seperti itu sampai akhirnya sekarang Hiroto masuk tanpa izin ke kamar ini. Karena ia memang harus melakukannya.

Ia harus mengambil buku yang diperintahkan mendiang ayahnya.
Buku yang diwariskan ayahnya sebelum meninggal beberapa bulan yang lalu.

Buku itu sebenarnya milik mendiang ibu kandung Hiroto yang meninggal lebih dulu dua tahun yang lalu.
Buku itu disimpan oleh ibu tiri Hiroto yang tak mengizinkan sama sekali Hiroto untuk melihatnya padahal Ayah Hiroto memberikan untuknya namun dengan cepat ibu tirinya mengambilnya, beralasan agar buku itu aman maka ia saja yang menyimpannya.

Pesan terakhir Ayah Hiroto adalah untuk mengambil buku itu bagaimanapun caranya.
karena itu sangat penting, untuk kehidupan masa depan Hiroto.


Satu lagi kalimat yang ayah Hiroto ucapkan ditengah-tengah ia hampir kehilangan suara dan tenaganya bahwa, "Jangan percayai ibu tirimu. Ambil buku itu dan kau akan tahu semuanya"


Tangisan Hiroto langsung pecah melihat ayahnya memejamkan mata untuk selamanya setelah mengucapkan kalimat itu.

Ia tak mengerti apa maksud ucapan ayahnya, yang ia rasakan saat itu hanya kesedihan kehilangan orang tercinta.

Sampai baru sekarang ia mempunyai kesempatan untuk meyelinap masuk ke kamar itu, karrna ibu tirinya sedang pergi jauh.

Suara orang berbicara yang lewat didepan pintu kamar itu membuat Hiroto terbangun dari sedikit ingatan masa lalunya.

Ia segera menggerakkan tubuhnya untuk mencari buku itu.
Sebisa mungkin tak membuat benda-benda lain bergeser dari tempatnya yang nantinya bisa membuat ibu tirinya curiga.

Hiroto membuka lemari yang sekiranya tak terkunci.
Seperti lemari tempat ibu tirinya menyimpan tas koleksinya.
Walau aneh menyimpan buku ditempat itu, tapi bisa saja dilakukan mengingat buku itu sepertinya sangat penting.
Bisa saja apapun yang tak mungkin dilakukan demi tak ditemukan sesuatu yang disembunyikan.

Tak menemukan benda yang dicari, Hiroto beralih ke buffet yang terletak didekat jendela.
Buffet tempat memajang beberapa hiasan cristal.
Hiroto membuka laci-laci yang ada pada buffet itu.
Ia juga belum menemukannya.
Hiroto tak boleh membuang-buang waktu.
Ia tak tahu kapan ibu tirinya pulang, bisa saja sekarang sedang diperjalanan pulang.
Dengan segera Hiroto pergi ketempat lain.
lemari pakaian.
Ia berdecak kesal menemukan pintu lemari pakaian itu terkunci.

Untuk sementara ia mencari pada meja kecil dekat tempat tidur.
Ia membuka sebuah laci pada meja kecil itu.
Beberapa kertas yang Hiroto tak mengerti kertas apa itu tersimpan dilaci tersebut.
Ia menyingkirkan tiap kertas yang sepertinya surat penting bagi ibu tirinya.
Sampai ia menemukan sebuah buku berkulit warna coklat dibawah kertas-kertas itu.
Hiroto mengambil buku itu dan langsung membukanya.
Nama ibunya langsung terpampang disana.
Hiroto terpaku tak percaya.
Inikah buku yang dimaksud ayah?
Ucapnya dalam hati.
Ia lupa bagaiman bentuk dan warna bukunya karena pada saat itu ibu tirinya langsung mengambilnya sesaat setelah Hiroto keluar dari kamar ayahnya dalam keadaan masih terisak tangis.

Keterpakuannya tak bertahan lama karena ia mendengar suara mobil diluar sana.
Hiroto langsung bisa mengetahui siapa yang datang.
Karena ia sudah hafal betul bagaiman suara mobil ibu tirinya itu.

Buru-buru Hiroto menutup buku itu, memasukkan buku itu kedalam bajunya agar orang lain tak meliahat.
Ia melongokkan sedikit kepalanya keluar, memastikan tak ada yang lewat.
Setelah memastikan ia langsung keluar dan cepat-cepat menaiki tangga menuju ke kamarnya.

Ia menutup rapat-rapat pintu kamarnya, menguncinya kali ini, tak seperti biasanya.

Dengan nafas yang terengah-engah ia mengeluarkan buku itu dari dalam bajunya.
Ia sangat takut ketahuan karena pada saat ia berlari tadi ia mendengar suara ibu tirinya yang sudah sangat dekat menuju kamarnya sendiri.

Namun sekarang ia cukup lega buku itu sudah berada ditangannya dan tak ketahuan.

Hiroto segera menuju meja belajarnya dan memposisikan dirinya dengan nyaman duduk di bangku tempatnya biasa mengerjakan tugas-tugas sekolahnya.

Ia kembali membuka buku itu, halaman pertama tempat nama ibunya tertera langsung ia lewati karena ia sudah melihatnya tadi dan juga tak sabar ingin cepat-cepat membaca isi buku itu.

Perasaan berdebar takut bercampur penasaran.

|| 4 mei
Aku menulis ini dalam keadaan masih terbaring di atas tempat tidur sehabis melahirkan buah cinta kami.

Hari ini momen yang sangat berharga, bagaimana bisa aku tak mencatatnya.
Aku bisa menyesal.
Denga sedikit kepayahan aku mencoba tetap menggenggam pulpenku dan memiringkan sedikit tubuhku walau terasa sedikit sakit untuk bisa menggoreskan tulisanku pada buku yang kuletakkan di atas kasur disamping kepalaku.

Hari ini anak kami lahir.

Aku sangat bahagia... dia bayi yang sehat dan manis.
Semua sudah menunggu kelahirannya.
Ayah, ibu dan pastinya juga suamiku.
___||


Hiroto begitu khitmat membaca tiap lembar dari buku diary milik ibunya.
Bahkan badannya tak bergerak se-senti pun saking ia larut dengan tulisan-tulisan itu.
Begitu beragam ekspresi yang ia timbulkan diwajahnya seiring ia membaca.
Takjub, haru, senang, sampai ia menemukan sebuah halaman yang sedikit ganjil karena ada selembar kertas kosong yang tak ada tulisan sama sekali.
Dibalik lembar kosong itu barulah ia menemukan kembali tulisan lain.
Tulisan tangannya agak berbeda, lebih kasar dan tak se-rapi tadi.
Mungkin lembar kosong tadi digunakan untuk pemisah karena ada orang lain selain ibu Hiroto yang menggunakan buku itu?
Benar saja Hiroto langsung melebarkan matanya begitu membaca barisan pertama dari halaman itu.
Tangal yang tertera adalah dua hari setelah kepergian ibu Hiroto untuk selamanya.

[Hiroto, Ayah menulis ini untukmu. Sudah tak ada waktu karena sepertinya ayah akan segera dijemput dewa kematian, tubuh ini sudah terlalu rapuh. Jadi Ayah berusaha menggerakkan pulpen sekuat tenaga ayah. Ayah harus menulisnya disini karena Ayah tak bisa mengatakannya langsung padamu. Kau tahu ibu tirimu sering melarangmu datang kekamar ayah dengan alasan agar ayah cukup istirahat dengan baik. Lagipula, penting untuk dicatat diatas kertas karena ayah takut kau akan lupa jika hanya diberitahu lewat lisan. Karena ini sangat penting.
Jadi,
kau harus membacanya ini sampai selesai.
___]


Namun sepertinya rasa penasarannya cukup sampai disitu dulu karena ia harus cepat menutup bukunya karena mendengar suara ibu tirinya yang ribut diluar sana.

Suara ibu tirinya yang lantang memarahi para pelayan.

"Bagaimana mungkin satupun diantara kalian tak ada yang melihat!?"

Astaga, apa aku ketahuan!? Seru Hiroto dalam hati.
Ia bangkit berdiri dengan panik begitu merasakan ibu tirinya berjalan mendekat kekamarnya.
Ia mencari tempat dimana bisa ia sembunyikan buku itu tanpa ketahuan.
Ia menoleh kesana-kemari dengan bingung sampai tak sempat lagi ia menyembunyikan buku itu dan akhirnya melemparnya dibawah kolong tempat tidur didekat kakinya saat ibu tirinya mengetuk pintu kamarnya.

"Hiroto!?"

"Y...ya!?"

Sialnya ia gemetaran.
Hiroto menarik nafas lalu menghembuskan nafasnya mencoba untuk menenangkan diri.

"Kau sedang apa, bisa buka pintunya sebentar?"

"Ya, tentu..."
Ia berusaha agar suaranya tak gemetar.
Sebelum melangkah menuju pintu ia menyempatkan diri untuk mengambil beberapa buku di rak dengan cepat dan sengaja membukanya diatas meja belajarnya.

Saat pintu dibuka tampak sosok ibu tirinya yang angfun tersenyum padanya, tanpa basa-basi langsung ibu tirinya melangkah masuk.
Membuat debaran jantung Hiroto makin kencang karena saat ini ia sungguh takut aksinya ketahuan.

"Sedang apa kamu!?"
Sambil berbicara, Hiroto tahu mata ibu tirinya itu menelusur keseluruh ruang kamar nya.
Ia tahu ibu tirinya mencari sesuatu.
Sepertinya ia dicurigai, itu sudah pasti 'kan.

Hiroto mengikuti langkah ibu tirinya lalu mendahuluinya, ia berhenti tepat disamping tempat tidur dimana ia melempar buku diary itu tadi. Untuk melindungi buku itu tentunya.

"A..aku sedang membaca buku."
Hiroto menoleh kesamping kirinya melihat meja belajarnya dengan sedikit menunjuk ke arah tempat itu bermaksud membawa pandangan ibu tirinya juga terarah kesana.
Saat mata ibu tirinya mengikuti arah telunjuknya, secepat kilat Hiroto melihat kebawah sebelah kanannya untuk melihat keadaan buku diary itu.
Sialnya sudut buku itu agak keluar dari kolong tempat tidur yang bisa sangat terlihat jika mata ibu tirinya mengarah ke bawah, apalagi saat ini ibu tirinya memang mencari buku itu, pasti pandanganya lebih teliti sekarang.
Belum sempat kaki Hiroto bergerak hendak mendorong buku itu agak kedalam lagi, ibu tirinya sudah kembali menoleh padanya.
Hiroto sampai bergidik ngeri melihat mata ibu tirinya yang tiba-tiba menajam namun masih dalam keadaan ia tersenyum.

"Hiroto, kau tak menganggap ibu sebagai ibu tiri kan?? Kau tahu ibu merawatmu sejak ibumu meninggal dengan penuh kasih sayang layaknya ibu kandung? Ibu sudah menganggapmu sebagai anak ibu sendiri. Pernahkah ibu menyakitimu!?"

Pertanyaan itu sungguh aneh, tidak, atmosfer dikamar itu memang sudah aneh dengan gelagat ibu tirinya juga yang sudah aneh.

"Apa maksud ibu? T..tentu saja ibu tak pernah menyakitiku. Ibu merawatku dengan penuh kasih sayang seperti ibu kandung sendiri."

Memang benar ibu tirinya merawatnya dengan baik dan penuh kasih sayang kepadanya, namun sejak ia mendengar ucapan terakhir dan kenyataan yang baru ia lihat sendiri, ia merasa seperti ada yang menjanggal dihatinya, ia seperti merasa sedikit meragukannya.

"Kalau kau merasa ibu memang baik, kenapa kau mengkhianati kebaikan dan kasih sayang ibu padamu!?"

Hiroto tersentak bingung, arah kemana pembicaraan ini!
Ibu tirinya melangkah mendekat dengan senyum masih mengembang di wajahnya.


"Hiroto, kau masuk ke kamar ibu sayang?"
Hiroto terkesiap, pertanyaan yang to the point. Ia gagap untuk menjawab.

"Buku itu sangat penting untuk ibu ah, untuk kita juga. kau belum menbacanya 'kan sayang? um.. maksud ibu, kau belum perlu membacanya sekarang"

"S..sedikit... aku sudah membacanya sedikit" Enatah kenapa ia tak bisa berbohong. Ia takut.

"Sedikit, maksudmu baru di awal?"

Hiroto mengangguk.
Sekikas ia melihat ibu tirinya seperti menghela nafas lega.
"Sekarang, bisa kenbalikan buku itu pada ibu? Ibu tak akan marah karena Hiroto sudah lancang masuk ke kamar ibu asalkan kembalikan buku itu pada ibu."

Ibu tirinya mengulurkan tangannya dan tersenyum begitu lembut menunggu Hiroto memberikan buku itu.

Hiroto terdiam, membuat ibu tirinya kembali meminta dan wajahnya agak memelas.

Hiroto membungkukkan tubuhnya, tangan kanannya menjulur kebawah tempat tidur dan mengambil buku itu.

Seketika itu wajah sang ibu tiri kembali sumringah.
"Hiroto, ayo berikan pada ibu."

Hiroto menahan bukunya ditangannya, ia memandang buku itu, tak memberikannya.

"Hiroto?" Ibu tirinya masih dengan sabar memintanya.
Ia melangkah maju.

Hiroto yang dalam keadaan was-was melangkah mundur, ada keraguan besar melingkupi hatinya. Ibu tirinya tampak mulai geram.

"Hiroto, berikan pada ibu sayang, kau tak memerlukan buku itu, kau tahu saat membacanya di awal 'kan, itu hanya buku diary ibu kandungmu. Sebagai sahabatnya, ibu hanya ingin menyimpan buku itu dengan baik."

"Tapi ayah bilang buku ini diwariskan untukku, buku ini sangat penting"

"Tentu saja itu sangat penting. Sebagai kenang-kenangan, maka biar ibu yang menyimpan saja, oke?"

"Ayah bilang, aku harus mengambilnya dari ibu."

Seketika urat-urat diwajah sang ibu tiri menegang. Matanya seperti mengobarkan api.

"Kembalikan buku itu cepat!!"
Ia tak lagi tersenyum lembut.
Menbuat Hiroto makin yakin bahwa ia tak boleh memberikan buku itu pada ibu tirinya.
Ia mundur menjauh, namun ibu tirinya melangkah maju dengan menghentak penuh emosi.
Ia paksa mengambil buku itu dari tangan Hiroto.

"Kau sudah berani melawan!!"

"Tidak!! Jangan ambil buku ini!!"

Tanpa mendengarkan permintaan Hiroto, ibu tirinya terus memaksa mengambil buku itu.
Begitu pula Hiroto yang harus tetap melindungi buku itu agar tak jatuh ketangan yang salah.
Dengan kekuatan penuh ia menarik dengan kuat buku itu sampai terlepas dari tangan ibu tirinya lalu mendorong ibu tirinya sampai mundur selangkah. Hiroto berlari keluar kamar.
Ibu Hiroto yang panik langsung mengejarnya, namun ia tak sanggup untuk mengejar, seorang wanita dengan rok supan akan sulit berlari.

"Takano! Ken!"
Ia mamnggil para petugas pria dirumah itu, namun karena para petugas sedang tak ada ditempatnya, ia buru-buru mencari ditempat lain.

"Takano!!!"
Ia mengencangkan suaranya, wajah nya sudah begitu merah saking ia sangat marahnya.
Seorang pelayang datang tergesa-gesa menghampiri sang nyonya yang terlihat sangat panik.

"Ada apa nyonya!!?"

"Suruh Takano dan Ken untuk mengejar Hiroto. cepat! dia melarikan diri!"

"Hiroto-kun, ada apa denganny-"

"Jangan banyak tanya! Cepat temui mereka dan suruh yang lain juga ikut mengejar, cepat!!!"

"B..baik!"

Pelayan itu pun pergi keluar, menemui kedua orang yang diperintahkan majikannya. Ternyata mereka sedang ada didekat pintu pagar, terlihat sedang membantu membetulkan besi pagar yang copot.

Hiroto tiba didepan pintu gerbang besar rumahnya yang langsung disapa oleh mereka yang tak tahu apa-apa.

"Hiroto-san anda mau kemana? Kenapa terburu-buru...."

"Maaf Takano-san, aku terburu-buru...."
Jawab Hiroto keluar dari gerbang dan berlari kencang, sebelum mereka ditugaskan untuk mengejarnya Atau memang sudah diperintahkan, Karena saat keluar pagar ia sempat melihat seorang pelayang berteriak menyuruh Takano-san dan yang lain untuk mengejarnya.

Beberapa saat kemudia segerombolan pekerja laki-laki yang bertugas didalam rumah menyusul ke gerbang.

"Memangnya kenapa dengan Hiroto-san?"
Tanya Takano bingung, karena baru kali ini terjadi hal seperti itu. cukup membuat mereka merasa aneh.

"Dia mau kabur dari rumah! Cepat kita kejar!"

Hanya itu yang bisa mereka pikirkan.
Karena mereka sama sekali tak tahu apa yang terjadi, maka menerka sendiri apa yang sekiranya sering terjadi dan mereka lihat dikehidupan rumah tangga dengan seorang ibu tiri, walau mereka ragu ibu tiri Hiroto punya sifat kejam seperti ibu-ibu tiri yang sering diceritakan.

Hiroto jarang lari pagi, dia hanya bermain sepeda mengintari lorong-lorong dekat rumah jika sedang ingin saja.
lari pagi untuk berolah raga sangat jarang ia lakukan.
oleh sebab itu kini ia sudah merasa lelah dan hampir tersandung batu karena kaki tak sanggup lagi berlari. Ia berhenti, menyandarkan tubuhnya pada tembok pagar rumah orang untuk menghirup udara sebanyak-banyaknya.

Namun karena ini dalam keadaan bahaya, maka ia tak boleh berlama-lama untuk istirahat. Ia harus memaksakan diri menjauh sejauh mungkin dari kejaran para petugas dirumahnya.

Ia tak boleh menyerahkan buku itu pada ibu tirinya sebelum ia membaca sampai halaman terakhir buku itu.

Nafasnya mulai tersenggal-senggal.
Bagaimanapun ia tak mungkin sanggup terus berlari sampai pagi bukan?
Namun disisi kenyataannya ia harus tetap berlari.
Ia tak sadar sudah berlari jauh sampai ke daerah pertokoan.

Hiroto menjatuhkan tempat sampah yang ada dideretan belakang toko ke tengah jalan, Ia pernah melihat aksi seperti ini di film dan ia menirunya. Bertujuan agar sedikit menghalangi para petugas rumah yang mengejarnya kini semakin dekat seiring langkahnya yang melambat karena tenaganya yang hampir habis.
Terbukti itu berhasil.

Hiroto kembali menjatuhkan tempat sampah yang ia temukan sambil dalam hati meminta maaf pada semua pemilik toko yang tong sampahnya ia buat acak-acakan.
Karena ia tak bermaksud seperti itu sebenarnya.
Ia menjatuhkan satu lagi tong sampah hingga membuat kucing yang sedang menungging kedalam tempat sampah untuk mencari makanan melompat kaget.

Jika ia tak dikejar oleh mereka, Hiroto tak mungkin melakukan itu.

Ia menoleh kebelakang untuk sebentar melihat keadaan kucing itu yang ternyata baik-baik saja.
Saat ia kembali menoleh kedepan ia kaget karena jalan didepannya tertahan oleh pembatas buatan dengan papan peringatan 'jalan berlubang'. Jika ia tak melihat tadi mungkin ia sudah jatuh terperosok kedalam lubang itu.
Jalan lain satu-satunya hanyalah melewati tikungan itu.


Terlihat didepan sana ada jalan bercabang. Hiroto melihat salah satunya agak sempit karena masih memasuki deretan belakang pertokoan. Dan satunya sepertinya jalan yang tembus ke taman kota.
Ia memilih harus sampai pada lorong yang sempit itu.
Mungkin lorong yang sempit akan sedikit kesulitan dikejar oleh orang dengan jumlah banyak.
Dan ia harus segera sampai di lorong itu sebelum para pelayannya melewati tikungan dan melihatnya berlari ke salah satu lorong.

Karena jika ia berhasil masuk ke salah satu lorong tanpa dilihat oleh mereka, maka itu akan sedikit membuat mereka bingung lorong mana yang Hiroto lewati bukan?

Hiroto menghentikan langkahnya sesaat. Ia membungkuk menarik nafas dalam-dalam.
la benar-benar kehabisan tenaga.
Rasanya menarik nafaspun ia tak sanggup lagi.
Tapi ia tak boleh berlama-lama berdiri, karena suara derap langkah kaki mereka kembali terdengar. Sepertinya mereka menemukan lorong yang Hiroto gunakan atau mereka membagi dua tim mereka? Hiroto tak tahu. Yang terpenting sekarang hanya lari.
Ia sedikit kesal kenapa tak ada tempat bersembunyi yang pas ditempat ini.
Kakinya perlu segera beristirahat.

"Awas!!!"

"Auuw... sakit..."

Buku diary ibu Hiroto terjatuh ke tanah, Hiroto memegang pantatnya yang sakit karena membentur tanah, ia jatuh terduduk.

Tiba-tiba saja tadi saat ia sedang berlari sebuah pintu belakang toko terbuka dan ia tak bisa menghindari orang yang membuka pintu untuk tak ia tabrak karena ia dalam keadaan berlari dengan tenaga penuh.

"Maaf, aku tak sengaja, aku buru-buru-"
Tiba-tiba saja Hiroto menghentikan ucapannya, matanya melebar. Seperti sebuah ide muncul dibenaknya.

Hiroto mengedar matanya ke tanah mencari buku diary ibu nya, beruntunh tak jauh terjatuh.
Ia memberikan buku itu pada orang yang ditabraknya.

"Tolong sembunyikan buku ini dari orang yg mengejarku dibelakang, jangan beritahu mereka, kumohon!"

"Hei, orang yang dibelakang apa maks-"

Seketika pertanyaan orang itu terjawab begitu melihat beberapa orang berlari mengarah ketempatnya, ia langsung mengambil kotak kardus yang berisi sampah plastik bekas pembukus buku yang hendak ia buang tadi namun terjatuh ke tanah karena insiden kecil barusan. Ia memasukkan buku titipan Hiroto kedalamnya dan melangkah mendekati bak penampungan sampah berpura-pura ingin membuang sampah.

"Hiroto-san berhenti!! Kami mohon berhentilah!"

Laki-laki yang sedang berpura-pura membuang sampah itu memperhatikan tiap orang yang sedang berlari melewatinya untuk mengejar Hiroto.

Ia berpikir siapa anak tadi, dan ada masalah apa?? Kenapa dia dikejar-kejar.

Laki-laki dengan apron khusus penjaga toko buku dan nametag Shou Ohara yang menempel di sebelah dada kirinya melihat ke arah buku itu.

"Diary?"
Gumamnya.
Shou kebingungan. Namun sepertinya ia tak akan mendapat jawaban apapun atas kebingungannya jika sang pemilik buku tak ada didepannya.

Maka ia hanya perlu menyimpan buku itu baik-baik sampai sang pemilik buku kembali datang untuk mengambilnya, jika ia tak lupa, mungkin.

Shou tak perlu sembunyi-sembunyi membawa buku itu masuk kedalam, karena orang-orang didalampun berkutat dengan buku.
bahkan lebih banyak buku lagi.
Karena tempatnya bekerja memang Toko buku.
Orang-orang sedang sibuk dengan tugas masing-masing.

Hiroto menoleh kebelakang lalu memperlambat langkah kakinya sampai perlahan ia berhenti sama sekali.
Jaraknya dari tempat ia menitipkan bukunya sudah cukup jauh, dan ia merasa sudah aman untuk itu.
Ia membungkuk dengan tangan yang menopang pada dinding tembok pagar.
Suara tarikan nafasnya begitu kencang terdengar, nafasnya benar-benar habis. Dadanya sampai terasa sakit.

"Hiroto-san!!"

Para pekerja dirumahnya mendekat. Mereka langsung memegang tangan Hiroto agar tak kabur, padahal Hiroto memang tak mau kabur lagi. Ia merasa bukunya sudah aman untuk saat ini.

"Kenapa anda kabur? Anda harus kembali ke rumah..hh..hh. "
Merekapun sama lelahnya. Mereka juga bernafas tersenggal-senggal.

Hiroto tak memberontak dan hanya mengikuti para pekerja dirumahnya untuk membawanya pulang.



Tsuzuku...