Selasa, 23 September 2014

[FF] FUURIN #1

Title : FUURIN
Author: Sachi_ciel, SachiJ6
Chapter : 1/?
Fandom: Alice Nine, OC.
Pairing : Kalian tau kan OTP sayaaa... xDd
Genre: AU, drama, ama satu lagi.... errr.... *takit nulisnya*
Rating: T
Disclaimer: Tora is mine.
*Yang percaya saya ucapkan terima kasih banyak*
(Dibakar idup-idup)
Note: ngg.... okeh, judul sama isi nya sebenarnya benar-benar gak nyambung. cuma terinspirasi gegara denger lagu FUURIN. Kebayang banget zaman jepang jadul. Saat ini lagu berdendang di kuping saya, bayangan kayak semacam PV gitu muter-muter di otak saya.
PV dengan cewek yang sedih menunggu sang kekasih di atas jembatan yang tak kunjung datang.
Pengen deh liat member arisu bikin ini pv, mereka pake kimono gitu. #buaghhh
Padahal pas bayangin itu saya sama sekali ga baca lyricnya.
Dan pas saya baca beberapa lama kemudian, ternyata lyricnya emang sedih. :(
Dari musik aja udah terasa gimana kesedihannya.

Dan akhirnya setelah lama scene itu muter-muter di otak saya, baru bisa ditumpahkan ke tulisan sekarang.
#payah

Okelah, kenapa ini jadi curhat.
Jadi yang mau baca silahkan.
Yang engga juga gapapa.
Yang baca maaf semisal ini ff rasa aneh.
Entahlah, saya cuma pengen numpahin apa yang sudah terpendam lama di otak gegara dengar lagu itu.















Bel sekolah sudah berdentang, tandanya jam belajar sudah berakhir. Para murid bisa kembali ke rumah mereka masing-masing.

Seketika perkarangan sekolah menjadi sepi.

Hanya tinggal beberapa siswa yang masih berlalu-lalang di wilayah sekolah mungkin masih ada keperluan.

Beruntungnya sekolah ini tetap membuka perpustakaannya walau jam sekolah sudah berakhir.
Ia masih dibuka sampai sore nanti.

Sesosok siswa berambut hitam legam baru saja tiba di perpuatakaan, sepertinya dia baru dari kelasnya dan langsung menuju pustaka.

Tas nya terlihat cukup berat dan ia memegang beberapa buku tebal ditangnnya.

Ia masuk kedalam pustaka dan langsung mencari sebuah meja.
Ia melepas tasnya dan meletakkan buku yang ia bawa di atas meja tersebut.
Langsung saja setelah itu ia menuju rak buku.
Ia mencari buku yang ia butuhkan untuk tugas kelompoknya.
Buku sejarah, yang berisi tentang saat konflik di masa restorasi Meiji.

Ia menemukan satu buku tentang sejarah Restorasi Meiji, ia mengmbilnya.
Ia mau mencari mungkin satu buku lagi untuk melengkapi.
Matanya menjajal tiap judul buku yang dijajar rapi dihadapannya.
Sampai ia melihat sebuah buku yang diletakkan di atas buku-buku lain yang berjajar rapi.
Sampulnya menarik mata pemuda itu karena warnanya yang mencolok di antara buku lain, merah marun.

Ia mengambil buku itu dan melihat judul dan keterangannya.

Itu bukan buku sejarah, tetapi novel.

Pasti seseorang meletakkan buku itu asal-asalan di rak buku sejarah setelah ia tak jadi mengambil novel tersebut.
Bukanya meletakkan kembali pada tempatnya.

Tapi buku itu cukup menarik perhatiannya.
Dari warna sampul hingga gambar yang menghiasi sampul depannya.

Seseorang yang berdiri menghadap belakang.
Ia mengenakan kimono putih yang melambai ditiup angin berdiri di atas jembatan di sungai kecil sambil mengenakan payung. Wajahnya tak diperlihatkan karena berdirinya yang membelakangi ditambah ia memakai payung pula.
Suasananya muram dengan langit mendung dan terbangan beberapa daun kering.

Pemuda berambut hitam itu membalik buku itu dan mebaca sinopsis yang ada di sampul belakang.

Dan ia pun sepertinya tertarik akan buku itu.
Terlihat dengan ia yang membawa buku itu beserta dengan buku sejarahnya ke meja yang sudah ia letakkan tasnya tadi.

Bukanya membaca buku sejarah untuk bahan kelompoknya seperti tujuan utamanya tadi, ia malah membuka novel itu ingin membacanya.
Sepertinya ia benar-benar tertarik akan kisahnya.

"Hei, Tora!!"
Saat akan membaca, tiba-tiba saja ia dipanggil oleh temannya yang berdiri dipintu perpustakaan.

"Ha? Ada apa!?"
Responnya yang menunda dulu membaca novelnya.

"Kata Akira, untuk isi bagian bab dua biar dia saja yang mencari, kau bagian bab tiga saja."

"Oh, lalu, kenapa kau masih berdiri disitu? Kau juga harus mencari isi untuk bab bagianmu 'kan?"

"Hehe.. aku kan mencari bahannya besok saja sekarang ada keperluan lain.
jaa... sampai jumpa besok."

Pemuda itu pun beranjak dari depan pintu.

Tora kembali menghadap pada novel dihadapannya sambil sedikit menghela nafas panjang.

Ia pun mulai membaca.



Jepang tahun 1868 .
Zamannya modernisasi bagi jepang.
Di masa itu para Samurai menjadi kehilangan tuannya akibat hak
atas wilayah kekuasaan sang tuan dicabut oleh
pemerintah. Samurai yang tidak lagi memiliki tuan menjadi kehilangan pekerjaan.

Mereka yang kehilangan pekerjaan dan tempat
tinggal menjadi pengembara.
Lalu mereka disebut Ronin.
Ronin sering menjadi sebab timbulnya kerusuhan
skala kecil di berbagai daerah. Walaupun para
daimyo banyak membutuhkan prajurit untuk
berperang, ronin hampir tidak berkesempatan
mendapat majikan yang baru. Situasi keamanan
yang buruk menyebabkan ronin membentuk
komplotan yang saling berebut wilayah dan
pengaruh, beroperasi sebagai gerombolan
pencuri hingga menimbulkan huru-hara.


Semua mereka lakuakan demi menyambung hidup mereka.

Bahkan ada yang nekat menjadi pembunuh bayaran yang bekerja pada para petinggi-petingi yang sedang bersaing ketat dan membutuhkan jasa mereka. Yang penting mereka mendapatkan uang.

Namun tak semuanya seperti itu, ada yang memilih jalan baik dengan menjadi petani atau buruh.

Kehidupan disetiap daerah pun berbeda-beda. Ada yang tingkat kekacauan yang dilakukan ronin dengan skala kecil ada juga dengan tingkat kekacauan skala besar.


Disebuah sudut kota Edo penduduknya tampak damai.
Aktifitas warga berjalan lancar.

Pagi yang cerah para penduduk berlalu-lalang dengan nyaman dijalanan menuju tempat tujuan mereka masing-masing.
Sama halnya dengan aktivitas dirumah.

Mereka melakukan pekerjaan rumah tanpa rasa was-was.

Seperti yang sedang dilakukan oleh seorang pemuda berambut coklat di depan sebuah rumah okiya.

Ia sedang menyiram tanah sehabis ia menyapu tadi.
Tampaknya hari ini matahari akan sangat terik.
Lonceng angin yang terpasang di kayu penyangga atap teras berdenting pelan karena angin pagi belum begitu kencang.

Ia menyiramnya agar debu-debu ditanah didepan rumah tak terangkat oleh angin dan berterbangan masuk kedalam.

Ia menyeka keningnya yang sudah dialiri keringat sambil memperhatikan hasil kerjanya.
Halaman bersih sempurna.

"Ugh... masih pagi seperti ini saja hawa panas sudah terasa.."

Ia melihat arah sinar matahari pagi yang tampak sangat merah.
Tak mau berlama-lama diluar, ia segera masuk kedalam.
Pekeraan didapur menunggunya.

Takashi memutar badan untuk melangkah menuju dapur.
Ia melewati samping rumah untuk menuju belakang dapur karena ia harus menyimpan sapu dan timba kayunya terlebih dahulu.
Setelah itu ia mengambil beberapa kayu bakar ditempat penyimpanan.
lalu membawanya masuk kedapur lewat pintu belakang.


Takashi langsung menyusun kayu nya di bawah tungku.
Ia mengambil korek dan meyalakannya.
Ia tiup-tiup agar api cepat membesar.

Setelah dirasa api menyala dengan baik, ia bangun dan mengambil wadah untuk dimasukkan beras dan mencucinya disumur.

Takashi kembali keluar dari dapur, ia membawa wadah berisi beras menuju sumur.
Ia meletakkan beras itu ditanah dan menimba air.
ia lalu mencucinya.

Setelah selesai ia kembali kedapur dan memasukkan beras kedalam panci penanak nasi lalu diletakkannya di atas tungku yang sudah terpasang api.

Ia meninggalkan tungku dan mengambil sayuran yang ada didalam lemari bahan makanan, membawanya ke atas meja, mengambil beberapa wadah kosong dan mulai memotong-motong sayurannya.

Suara tawa beberapa wanita yang ada diruang depan terdengar sampai ke telinganya.
Seperti perbincangan mereka begitu asyik.
Sudah hal bisa ia mendengar suara tawa mereka.

Yah, beginilah pekerjaan Takashi setiap harinya.
Menjadi pelayan di rumah okiya.
Dan siap melayani pemilik okiya juga para geisha nya.
Ia dikirim ibunya dari daerah perdesaan yang miskin ke kota itu pada waktu umurnya lima belas tahun.
Ia sudah dua tahun bekerja di okiya milik Megumi-san yang ia panggil okaasan dan sekarang usianya sudah menginjak tujuh belas tahun.

Tiap sebulan sekali ia mengirim uang untuk ibu dan adiknya.
Ya, hanya tinggal ibu dan adiknya karena sang ayah sudah lama meninggal karena sakit keras.
Walau tak banyak uang yang ia kirim, tapi paling tidak bisa sedikit meringankan.

"Takashi!?"

Seorang wanita muncul dipintu dapur.
Ia adalah wanita yang benar-benar ramah dan sangat perhatian padanya.
Takashi di anggap seperti adiknya sendiri.
Takashi sering memanggilnya....

"Ya, Atsuko-neechan!?"

"Tolong buatkan teh ya, ada tamu."

"Baik!"

Takashi meninggalkan sejenak sayurannya.
Ia beralih mengambil wadah untuk mengambil air bersih untuk merebusnya.
Tak lupa ia memeriksa nasi yang berada di tungku sebelah sebelum ia memasang api di tungku yang masih kosong itu.
Setelah memasang api, ia meletakkan panci berisi air mentah yang ia ambil barusan.
Sambil menunggu air mendidih ia menyiapkan cankir dan teko teh di atas nampan.

Mengambil daun teh hijau dari dalam lemari penyimpanan dan memasukkannya beberapa sendok teh kedalam teko.

Tak berapa lama Takashi selesai membuat tehnya.
Ia langsung membawanya ke ruang tamu.

Disana berkumpul para geisha. Ada yang ikut dalam perbincangan, ada juga yang sedang sibuk merias. Dan sepertinya yang datang juga geisha teman mereka.

Takashi berjalan menunduk, ia lalu duduk berlutut dan memberikan teh nya pada tamu.

"Silahkan teh nya.."

Saga berdiri hendak kembali ke dapur, tapi ia di tahan oleh Atsuko.

"Takashi, duduklah disini dulu..."

Takashi hendak menolak, tapi ia tak berani.
Siapa yang berani menolak perintah majikan?

Takashi kembali duduk, namun matanya terus menatap lantai.

"Jadi ini Takashi yang sering kau ceritakan Atsuko?"

Tanya tamu itu, membuat Takashi sedikit terkejut.

Apa yang diceritakan oleh Atsuko-neechan memangnya?
Pikir Takashi dalam hati.

"Ya, dia cocok 'kan??"

"Hmm.. "
Tamu yang ternyata teman dekat Atsuko tampak memperhatikan Takashi sangat dalam.
"Ya, dia punya wajah yang indah"

"Tapi sayangnya ia tak mau menerima ajakanku, padahal aku sangat mau mengajarinya kalu okaasan tak sempat mengajari"
Ucap Atsuko dengan wajah kecewa.

"Soukaa?? Kau tidak mau Takashi?? Menjadi geisha, itu pekerjaan yang penuh seni."

"Maaf..."
Jawab Takashi dengan satu kata maaf, cukup menjelaskan bahwa ia menolak. wajah nya masih menunduk.

Sudah sering Atsuko mengajaknya untuk menjadi geisha.
Atauko bilang ia punya potensi.
Tapi Takashi seperti menutup mata.

Ia merasa tak punya kemampuan untuk menjadi geisha.
Geisha harus selalu tampak ramah, lemah-lembut dan selalu tersenyum .
Bisa menyimpan apapun masalah didalam hati mereka dengan wajah tetap tersenyum.

Berbeda dengan Takashi, ia selalu dan setiap hari memikirkan nasib ibu dan adiknya di kampung. Apakah mereka baik-baik saja, apakah mereka cukup makan hari ini?
Memikirkan hal itu setiap hari membuatnya tampak selalu murung dan kurang senyum.
Ia terlalu fokus bekerja pada apa pekerjaannya sekarang, hanya berpikir untuk bekerja keras mengumpulkan uang yang banyak untuk bisa membahagiakan keluarganya.
Ia merasa kemampuannya hanya ada pada apa yang ia kerjakan sekarang.

Walau terkadang ia sangat tertarik saat melihat para geisha itu memainkan alat musik terutama shamisen.
Tapi ia cepat-cepat menghapus keinginannya untuk mempelajari itu.

Ia hanya orang yang terlalu perasa, yang kembali teringat akan kesusahan keluarganya begitu ia mendapat sedikit hal yang menyenangkan.

Maka itu ia berpikir pekerjaan geisha adalah pekerjaan yang terlalu menyenangkan untuknya.

Cukup bekerja sepenuh hati pada pekerjaannya sekarang dan dikelilingi orang yang baik hati saja, sudah cukup merasakan kebahagiaan kecil untuknya agar ia bisa terus mengingat keluarganya disana.


"Ah, anou.. maaf saya harus kembali ke dapur.."
Takashi teringat pada nasi yang ia tinggalkan di atas tungku.
Iapun permisi untuk kembali ke dapur dan melanjutkan lagi pekerjaannya yang tadi sempat terhenti.


Sekarang pukul delapan malam.
okiya sudah tampak sepi karena para geisha sudah keluar untuk melakukan pekerjaan mereka.
Hanya tinggal okaasan.
Dan ia pun sepertinya akan keluar juga entah untuk keperluan apa melihat ia sudah rapi dengan kimono nya yang bagus.

Ia menghampiri Takashi yang melihatnya dari dapur tadi.

"Takashi, setelah mencuci piring tolong kau belikan sake sebentar ya, di toko biasa. Okasan mau buru-buru pergi."

"Baik."

Takashi me-lap tangannya yang basah di lengan yukatanya lalu menerima uang dari okaasan.


Seperti yang diperintahkan okaasan nya, selesai dengan semua pekerjaannya di dapur Takashi bersiap-siap untuk keluar membeli sake.
Ia memeriksa semua pintu apakah sudah benar-benar terkunci atau belum, sampai terakhir ia keluar dari pintu belakang dan menguncinya.

Takashi merasa hawa diluar cukup dingin, ia melihat ke langit, ternyata agak mendung.
Padahal tadi siang begitu panas. Cuaca memang kadang tak bisa ditebak.

Takashi mengambil payung yang tergantung di dinding luar dapur, payung yang memang sering ia gunakan diwaktu hujan.
Ia membawanya untuk berjaga-jaga. Mana tahu saat diperjalanan hujan turun.

Akhirnya setelah mengambil payung ia melangkah menuju toko tempat menjual sake.
Sedikit jauh dan harus menyeberangi satu sungai kecil. Namun tak masalah bagi Takashi karna ia sudah sering ke sana .
Okaasan nya sudah berlangganan di toko itu.
Lagipula, sekalian ia bisa jalan-jalan menghirup udara segar setelah seharian bekerja didalam okiya.

Tak terasa ia tiba di toko penjual sake.
Kedatangannya yang baru selangkah masuk kedalam toko langsung disambut senyum ceria sang pemilik toko.

"Hei, Takashi ! Mau beli sake ya?"

"Ah, iya paman, seperti biasa."
Tingkah sang paman pemilik toko bisa membuatnya sedikit tersenyum .

"Baiklah, kemari..."

Takashi mendekati meja panjang tempat paman itu berada, ia tampak sedang menulis sesuatu di bukunya.
Mungkin sedang mendata beras-berasnya yang baru datang.
Sebenarnya itu adalah toko beras, tapi sang pemilik toko juga membut sake sebagai pekerjaan sampingan.

"Mau beli berapa botol?"

"Lima saja."

"Hanya lima? Sedikit sekali, bilang pada okaasan mu kalau menyuruhmu beli sake yang banyak sedikit, hahaha..."

"Akan coba saya sampaikan..."

"Heeh... kau terlalu serius, paman hanya bercanda."

Paman itu pun pergi kebelakang setelah sedikit bercanda dengan Takashi untuk mengambil sake di penyimpanan belakang.



Tak berapa lama sang paman membawa enam botol sake kehadapannya.

"Ini sake nya, satu kuberikan gratis untukmu."

"Ha?"

Takashi tampak kaget.
Tentu saja, di usianya sekarang ia belum boleh minum sake atau minuman beralkohol lainnya sampai umur dua puluh tahun. Itu sudah peraturan pemerintah.

"Kenapa?? Kau tidak mau mencoba mencicipinya??"
Sang paman sadar akan keterkagetan Takashi.

"Saya belum boleh minum sake 'kan, paman?"

"Tentu saja, bocah masih bau kencur sepertimu mana bisa minum sake, ini memang kuberikan gratis untuk okaasanmu hahaha.. Tapi itu peraturan pemerintah 'kan? Jika memang badanmu yang sekarang sanggup menerimanya, yah, boleh saja kau menyimpannya satu untuk mencicipinya sedikit. Hahahaha..."

Takashi menghela nafas. Terkadang candaan paman itu sering membuatnya tak habis fikir.

"Baikalah paman, ini uangnya. Terima kasih banyak."

Saga sedikit merendahkan kepalanya memberi hormat pada yang lebih tua. Dan siap berbalik sampai sang paman pemilik toko kembali berucap.

"Mau langsung pulang sekarang? Diluar sudah hujan. Duduk saja dulu disini jika kau mau, bibi sedang memasak kare didapur."

Takashi melihat ke arah luar.
"Ng... tak apa paman, saya membawa payung. Lagipula hujannya belum terlalu deras. Jika terus menunggu disini, bisa-bisa sampai tengah malam karena tak tahu hujan kapan akan berhenti."

"Begitu? Yasudah, hati-hati."

"Baik. Permisi paman,"

Takashi keluar dari toko, ia mengambil payung yang ia sandarkan didekat pintu dan membukanya.

Seketika saat ia menjauh dari toko baru beberapa langkah, hujan turun makin deras.
Ia mempercepat langkahnya agar segera tiba di rumah.

Jalanan tampak sudah sepi karena orang-orang sudah pasti berteduh didalam rumah.
Hanya beberapa orang yang tetap berlalu lalang seperti dirinya karena mungkin ada keperluan penting.

Air hujan terbang tak berarah karena dibawa angin yang cukup kencang, seperti angin ribut. Membuat Takashi harus memegang payungnya kuat-kuat.
Bahkan memakai payung pun sepertinya tak ada artinya karena yukatanya tetap basah oleh air hujan yang terbang tak berarah dibawa angin.
Ia berharap payungnya tak rusak diterbangkan angin yang begitu tak terkendali.

Takashi tiba di sungai kecil yang juga ia lewati saat hendak pergi tadi.
Menaiki jembatan melengkung itu.
Tapi tiba-tiba matanya terbelalak.
Ia melihat sesosok orang berdiri di ujung jembatan, sepertinya hendak menaiki jembatan namun ia tak sanggup. Takashi melihat orang itu tak berdiri tegak, tangan kanannya memegang perutnya, sedangkan ia menyandarkan tubuhnya pada pagar jembatan.

Sampai akhirnya orang itu terjatuh terlungkup dan suara dentingan pedang ditangan kirinya yang jatuh menghantam batu terdengar di telinga Takashi.

"Tuan!!?"
Spontan Takashi berlari mendekat.
Ia bisa melihat darah mengalir dari bawah perut orang itu.
Takashi tak bisa menyembunyikan kepanikannya.
Ia meletakkan payungnya di lantai jembatan beserta botol sake nya.
Saat payungnya ditiup angin menjauh darinya pun ia tak perduli lagi, yang harus ia pedulikan sekarang adalah orang ini.
Ia hatus segera menolong pria ini.

Mungkin dia adalah seorang samurai yang baru bertarung atau apapun itu karena ada pedang ditangannya.
Namun ia tak mempedulikan siapapun orang itu, karena ia hanya ingin menolong orang. Apalagi sudah sekarat seperti ini.

Takashi mengambil pedang pria tersebut dan didirikan di pagar jembatan.
Lalu ia mengambil botol-botol sakenya dan memegangnya ditangan kiri.

Dengan mengumpulkan segenap tenaga Takashi mengangkat tubuh orang itu agar berdiri.

"Ugh!"
Sangat berat, melihat tubuh pria itu memang lebih besar dari dirinya, apalagi dalam keadaan lemah seperti itu, semua beban tubuh orang itu harus ia yang menahannya.

Dengan bersusah payah akhirnya Takashi berhasil mendirikan pria itu.
Ia lalu mengambil pedang yang sudah ia dirikan tadi agar mudah mengambilnya dan memasukkan kedalam sarung pedang yang mengantung di pinggang pria tersebut.

Takashi pun melangkah pulang, beruntung sang pria masih sedikit dalam keadaan sadar jadi ia bisa menggerakkan kakinya untuk berjalan walau tertatih-tatih.
Bajunya yang sudah basah kuyup tak ia hiraukan lagi.

Sampai akhirnya ia tiba dirumah.

Takashi membawanya masuk lewat pintu belakang.
Ia meletakkan pria itu di lantai dapur.
Rumah masih sepi, sepertinya mereka pun terjebak hujan.

Ia tak tahu apakah okaasan mengijinkannya membawa orang asing kedalam rumah atau tidak.
Tapi ia akan pikirkan itu nanti, jika memang ia dimarahi dan dihukum, maka ia akan terima.
Daripada ia menelantarkan orang yang sekarat butuh pertolongan.
Takashi menyimpan botol-botol sake di atas meja lalu segera berlari kekamarnya.

Ia mau mengambil kotak obat dan harus mengganti pakaian orang itu yang sudah basah kuyup agar tak bertambah sakit.

Lantai rumah jadi kotor dan basah karena jejak kakinya dan tetesan air dari yukatanya.

Ia akan membersihkan itu nanti.

Takashi buru-buru mengambil kotak obat dilemari, dan membuka pintu lemari satunya mengambil sepotong yukata miliknya yang sekiranya agak besar agar pas untuk orang itu.
Walau akhirnya tak ada ukuran yang lebih besar namun ia tetap mengambilnya, mungkin agak sempit dipakai, namun daripada tetap memakai pakaian basah 'kan?
Terakhir Takashi menyambar satu buah selimut dan berlari kembali ke dapur.

Ia duduk disamping pria tersebut dan meletakkan semua benda yang di ambilnya dari kamar disampingnya.
Pertama ia harus mengganti pakaiannya.
Takashi membuka selimut yang ia bawa lalu membentangnya di atas tubuh pria itu agar tak tambah dingin lagi sampai batas pinggangnya saja karena ia harus melepas baju atasnya terlebih dahulu.

Dengan pelan-pelan Takashi membuka obi yang mengikat hakama pria itu.
Ia bergidik ngeri melihat luka sayatan di perutnya yang cukup dalam, namun ia mencoba kuat.

Cukup lama ia mengganti pakaian pria itu karena ia harus ekstra hati-hati agar tak mengenai lukanya.
Karena luka sayatan tak hanya ada diperutnya, juga ada dilengan dan punggungnya namun tak separah di perutnya.

Setelah memakan waktu cukup lama akhirnya ia selesai mengganti pakaian pria tersebut.

Takashi mulai membuka kotak obatnya.
Ia sengaja tak menutup dulu bagian badannya dengan yukata agar ia bisa mengobati luka yang kebanyakan ada di bagian tubuh atasnya.
Bagian kaki tetap ia tambah dengan selimut walau sudah tertutup yukata .

Takashi mengambil air hangat dan mencelupakannya dengan kapas yang lalu ia gunakan untuk membersihkan darah yang masih mengalir diperutnya.
Lukanya cukup parah.

Takashi sampai terkejut karena pria itu meringis sakit saat ia mencoba membersihkan lukanya lebih dekat ke bekas sayatannya.

"M..maaf.."

Saat pria itu kembali tenang, Takashi memulainya lagi.
Sampai akhirnya ia berhasil mengobatinya sampai selesai.


Sekarang pria itu sudah berselimut seluruh badan, dan ia pun sudah tertidur tenang.
Takashi tanpa sadar menatap wajah pria itu, saat ia membersihkan wajahnya tadi ia belum berpikir apa-apa karena dalam keadaan panik. Namun sekarang ia bisa berfikir bawha wajah pria itu tampan. Sangat tampan dengan hidung mancung dan garis wajahnya yang tegas itu.

"Huatchih!!"
Takashi menggosok hidungnya dengan jari telunjuk.
Ah, dia sampai lupa bahwa ia juga harus segera mengganti pakaiannya .
Takashi membereskan peralatan obatnya lalu berdiri dan menuju ke kamar .
Saat melangkah di koridor ia menemukan lantai koridor basah karena ulahnya tadi.
Selesai berganti pakaian ia harus lanjut membersihkan lantai.

Takashi menyimpan semua ember dan kain untuk mengepel lantai. Ia sudah selesai membersihkan lantainya.

Lalu ia berjalan ke arah tungku dan memasang beberapa kayu bakar.
Ia berniat menyalakan tungku agar udara jadi sedikit hangat, karena hujan masih saja turun.

Saat ia menuip api agar kayu cepat terbakar, sayup-sayup ia seperti mendengar seseorang seperti memanggilnya.

"Takashi!!!"

Sampai suara itu memanggil begitu keras sampai terdengar seperti membentak, barulah ia tersentak kaget dan menyadarinya.

Ia langsung lari ke ruangan depan dan cepat-cepat membuka pintu.
Okaasan nya sudah pulang.

"Kau sudah tidur!?"

"Tidak, belum. Saya sedang didapur, karena suara hujan yang terlaku deras saya jadi tak mendengar okaasan memanggil"

"Haah.... ya, hujannya memang terlalu deras. Aku sampai basah kuyup begini. Yang lainnya belum pulang ya!?"

"Belum..."


Seketika rasa takut menghinggapinya.
Bagaimana cara mengatakannya, tentang orang yang dibawanya.
Takashi jadi bergetar.

Ia tak pindah dari tempatnya berdiri sambil melihat okaasannya yang tampak seperti biasa menyimpan sendalnya di rak lalu berjalan beberapa langkah untuk menginjakkan kakinya di atas keset sebelum naik ke lantai rumah. Takashi mendekat ke okaasannya.
Sampai okaasan menyadarinya.

"Kau kenapa masih disini?? Tolong siapkan pakaian kering untukku."
Okasan jadi sedikit merasa aneh, biasanya Takashi selalu sigap.

Takashi menunduk, ia menggigit bibirnya dan tangannya meremat tangan satunya.

"Okaasan, aku... aku membawa orang asing masuk ke dalam rumah."

Seketika mata okaasan melebar kaget.



Tsuzuku.


























































Tidak ada komentar:

Posting Komentar