Sabtu, 15 November 2014

[FF] FUURIN #2

Title : FUURIN
Author: Sachi_ciel, SachiJ6
Chapter : 2/?
Fandom: Alice Nine, OC.
Pairing : ShinjiXTakashi
Genre: AU, drama, angst.
Rating: T
Disclaimer: Tora is my husband.
*Yang percaya saya ucapkan terima kasih banyak*
(Dibakar idup-idup)
Note: ngg.... okeh, judul sama isi nya sebenarnya benar-benar gak nyambung. cuma terinspirasi gegara denger lagu FUURIN. Kebayang banget zaman jepang jadul. Saat ini lagu berdendang di kuping saya, bayangan kayak semacam PV gitu muter-muter di otak saya.
PV dengan cewek yang sedih menunggu sang kekasih di atas jembatan yang tak kunjung datang.
Pengen deh liat member arisu bikin ini pv, mereka pake kimono gitu. #buaghhh
Padahal pas bayangin itu saya sama sekali ga baca lyricnya.
Dan pas saya baca beberapa lama kemudian, ternyata lyricnya emang sedih. :(
Dari musik aja udah terasa gimana kesedihannya.

Dan akhirnya setelah lama scene itu muter-muter di otak saya, baru bisa ditumpahkan ke tulisan sekarang.
#payah

Okelah, kenapa ini jadi curhat.
Jadi yang mau baca silahkan.
Yang engga juga gapapa.
Yang baca maaf semisal ini ff rasa aneh.
Entahlah, saya cuma pengen numpahin apa yang sudah terpendam lama di otak gegara dengar lagu itu.





*..*..*..*


Suara ayam masih berkokok nyaring, mentari sudah bersinar cerah.
Sisa air hujan semalam membentuk bulir-bulir air embun pada daun pohon dan rumput.
Hawa dingin masih sangat terasa.
Masuk lewat sela-sela jerjak jendela.
Kobaran api pada tungku yang digunakan untuk menanak nasi sedikit membantu menghangatkan dapur itu.

Takashi sedang meletakkan beberapa kue beras ke dalam piring kecil saat tiba-tiba saja beberapa orang gadis datang ke dapur.
Mereka adalah para geisha yang tinggal di okiya itu.
Tidak seperti biasanya pagi-pagi mereka ada di dapur.
Mereka belum mengenakan setelan kimono geisha mereka dan riasan wajah karena belum saatnya mereka bertugas.

"Takashi!!"

"Eh!?"

Takashi mengangkat wajahnya lalu menatap pada seorang geisha yang memanggilnya.
Disampingnya ada dua orang temannya yang tersenyum saling melempar pandangan sambil melihat-lihat ke arah pintu dapur yang terbuka. Mereka mencoba mencari sesosok orang yang sangat menyita perhatian dari tadi malam.

Mereka mendekat ketempat Takashi sedangkan salah satunya melempar pertanyaan.

"Dimana dia!?" Bisiknya.


Takashi terdiam sesaat mencerna siapa yang di maksud geisha itu, sampai beberapa detik kemudian ia langsung mengerti siapa yang dimaksud.

"Ah, dia diluar, duduk di teras."
Takashi menunjuk arah luar pintu dapur.
Dibelakang ada teras panggung yang bisa digunakan untuk duduk bersantai.

"Begitu,"
Wanita itu tampak tersenyum.

Takashi kembali melanjutkan kegiatannya,
Ia menuangkan teh ke dalam mug.

"Bagaimana kau bisa bertemu dengannya dan membawanya ke sini?"

"Eh, itu...."

Takashi tampak menatap menerawang, lalu menceritakan bagaimana saat ia bertemu pria itu dan menolongnya sampai ia bawa ke okiya.
Kisahnya begitu dengan seksama di dengar oleh para geisha itu. Tampak wajah kagum dan simpati ditunjukan mereka saat mendengarkan cerita Takashi.

"uuh..kasian sekali pria itu. Beruntung kau mau menolongnya, kau baik sekali siih....."

"Tidak, sudah seharusnya orang saling menolong 'kan... anda juga pasti begitu 'kan?"

"Baiklah, baiklah...tapi ngomong-ngomong dia itu siapa ya, aku takut kalo dia orang jahat. Tapi sepertinya bukan 'kan?"

"Tapi dia tampan sekali..."

Celetuk salah satu geisha lain dengan wajah gemas.

"Saya tidak tahu, mungkin kalau dia orang jahat, dia sudah melakukan hal yang tak menyenangkan disini.."

"Benar juga...aku juga tidak yakin kalau dia orang jahat-" wanita itu tampak setuju dengan ucapan Takashi.

"Sakai, Tomomi, Rino!! Dimana kalian!?"
Tiba-tiba suara okaasan memanggil mereka.

"Wah! okaasan memanggil, ayo kita kembali!"

Cepat-cepat mereka meninggalkan dapur sebelum okaasan mereka datang meyusul.
Bisa dimarahi mereka karena bukannya mengajari para maiko seperti apa yang diperintahkan, malah lalai didapur.

Takashi menghela nafas kecil melihat tingkah mereka.
Ia tak bisa setenang mereka melalaikan tugas, karena sedikit saja lalai, gajinya berkurang.


Takashi meletakkan mug yang sudah berisi teh hijau hangat itu di atas nampan bulat berukuran sedang, ia menambahkan sepiring kecil kue beras lalu membawanya ke luar pintu dapur.

Ia melihat pria itu sedang duduk di pinggir teras, membersihkan pedangnya dengan kain yang sebelumnya sudah ia minta pada Takashi tadi saat pagi-pagi sekali, bahkan sinar mentari pun belum terlihat saat ia duduk disitu.
Bekas darah menempel pada kain itu, membuat Takashi merinding.
Ia segera beralih dari pedang itu, tak mau berlama-lama melihatnya.

Semalam ia memang tak membersihkan pedang itu. Ia takut memegangnya.


Takashi melangkah mendekat pada pria itu lalu berhenti di sampingnya, agak jauh. ia berlutut dan meletakkan nampan berisi makanan kecil itu didekat pria itu.


"Tuan, makanlah sedikit kue ini untuk sedikit mengisi perut anda."

Pria itu menoleh, ia menatap sesaat pada Takashi lalu kembali menatap kedepan.

"Terima kasih."
Ucapnya sambil memasukkan pedangnya kedalam sarung karena sudah selesai dibersihkan sambil menghela nafas kecil dengan mata terpejam lelah dan kening mengerut.

Takashi belum pindah dari tempat itu, karena sebenarnya ia harus menyampaikan sesuatu. Sebuah pesan dari okaasan, namun ia merasa tak enak sekaligus takut.
Pria itu membawa pedang, bagaiman kalau setelah ia mengucapkan maksudnya ia malah marah dan mengayunkan pedangnya.
Karena Takashi tak tahu siapa pria ini, bagaiman sifatnya.
Tapi bagaimanapun ia harus tetap menyampaikanya.
Ia tak mau membuat okaasan marah lagi.
Beruntung tadi malam okaasan mengizinkan orang itu tinggal, dengan catatan esoknya ia harus pergi dari sini.
Okaasan tak mau sesuatu yang buruk menimpanya dan para penghuni okiya dengan menampung orang asing.
Bagaimana kalau dia benar-benar orang jahat?

Tapi Takashi mencoba menyimpulkan sendiri bahwa pria itu bukan seperti orang yang ia takuti dalam pikirannya, karena dilihat dari sikapnya, ia tak melakukan apapun yang mengganggunya dan penghuni lain di okiya ini sampai detik ini.
Ia pun terlihat tak banyak bicara, pria itu sering menatap jauh kedepan seperti memikirkan sesuatu.


Mungkin dengan tetap bersikap baik dan sopan ia tidak akan merasa terganggu.
Bagaimana dengan sedikit berbasa-basi dahulu? Supaya Takashi bisa melihat lebih lagi bagaimana sifat orang itu? Hitung-hitung persiapan sebelum menyampaikan pesan dari okaasan.
Lagipula, entah kenapa ia penasaran dengan identitas pria dihadapannya ini.
Siapa namanya, dia berasal dari mana kenapa bisa sampai terluka parah dan sebagainya.

"M..Maaf tuan, kalau boleh saya tanya anda... kenapa sampai terluka parah seperti itu tadi malam?"

Takashi menunggu jawaban dari pria itu.
Dan ia sudah merasa was-was karena orang yang ditanya tak kunjung menjawab, yang ada hanya terdiam menatap kedepan.
Mungkin memang pertanyaannya itu terlalu pribadi??

"Maaf, jika pertanyaan saya membuat anda tersing-"

"Melawan pencuri."
Akhirnya ia menjawab. Ia memutar kepalanya menghadap Takashi.
Sesuatu yang mengejutkan Takashi.
"Kenapa!?"

"Ah, tidak, hanya bertanya..."
Takashi menunduk buru-buru, ia menghela nafas lega.

Takashi kembali mengangkat kepalanya, ia memainkan kuku jarinya sebagai pengalihan rasa gugupnya.

"Ng..anda tinggal dimana!? Saya tak pernah melihat anda sebelumnya di daerah sini..."

"Tak tinggal dimanapun, aku pergi kemana saja. Dan kebetulan aku sampai disini."

Pengembara!?
Pikir Takashi dalam hati.
Dilihat dari senjata yang ia bawa sepertinya pria itu seorang samurai.
Tapi, bukankah pemerintah sudah melarang warganya membawa katana!? Lalu kenapa pria ini masih membawanya!?

Seketika rasa curiga hinggap dikepalanya.
Apa mungkin dia benar-benar penjahat!?

Tidak,Tidak,Tidak.
Takashi mencoba tak berprasangka buruk.

"Kau tinggal disini!?"

Tiba-tiba pria itu menoleh lagi dan kali ini ia yang bertanya pada Takashi, membuat Takashi tersentak kaget.
Ia menatap Takashi tak berpindah karena menunggu jawabannya.

Takashi malah dibuat terkesima oleh paras tegas pria itu yang menghadapnya langsung padanya.
Mata tajam bak elang, hidung mancung dan bibir tipis tajam.
Jika diperhatikan pria itu mirip gaijin. Apakah dia memang punya ketunan darah asing?
Takashi tak tahu dan mungkin tak mau terlalu memikirkannya untuk saat ini.

"A..ah.. iya. Saya bekerja disini. Sebagai pelayan."
Takashi menunduk begitu menyadari dirinya terlalu memperhatikan wajah pria itu barusan.
Beruntung ia tak sampai melamun panjang.

"Ini okiya!?"

"Iya."
Takashi mengangguk.

"Kupikir kau salah satu geisha yang tinggal disini."

"Eh? B..bukan. Tidak mungkin..."
Takashi menunduk malu.

"Kenapa tidak,"
Takashi mengangkat kembali wajahnya, menatap pada pria itu dengan sebuah pertanyaan.

"Anda menyukai geisha?"

"...Mereka indah dan penuh bakat. Jadi siapa yang tak suka melihat mereka?"
Takashi terdiam mencerna ucapan pria itu.
Walau pria itu tampak tak begitu serius mengatakannya; terkesan santai, tapi begitu menguras kepala Takashi.

Sejenak terdiam, Takashi kembali ke kesadarannya.

Takashi merasa suasana saat ini tenang, ia kembali teringat pada tujuannya dan mencoba mengabaikan sebentar ucapan pria itu tadi. Pria itu sudah sedikit mudah di ajak bicara. Sepertinya sudah pas untuk menyampaikannya, walau dilihat dia terkesan sangat dingin.
Masih sedikit membuat Takashi takut.

"Tuan, maaf, bukan bermaksud mengusir anda tapi, okaasan menyuruh-"

"Ya, aku tahu. Aku mendengar perbincangan kalian tadi malam, aku tak tidur."

Takashi terkejut, namun ia bisa menahan keterkejutannya dengan segera bersikap tenang.

"Nanti malam aku akan pergi dari sini. Aku minta waktu sebentar untuk tetap disini sampai malam. Apakah boleh!? " pria itu menoleh sesaat pada Takashi lalu melanjutkan kalimatnya kembali begitu melihat wajah Takashi yang tampak ragu.
"Tenang, aku tak akan mengganggu kalian."


Takashi bingung, ia tak punya wewenan mengizinkan orang asing ini ingin tetap sampai malam tiba, tapi ia juga tak tega.

"E..e.. saya tak berpikir seperti itu tentang anda, tapi... n..ng.. baiklah."

Takashi tak bisa menolak.
Walaupun ia tidak tahu okaasan akan mengizinkannya lagi atau tidak, namun ia berharap okaasan mengizinkannya dan tak marah padanya.



Sepertinya apa yang ingin disampaikan Takashi sudah selesai, ia harus kembali ke rutinitasnya sebagai tanggung jawabnya.

"Anoou... saya mau permisi dulu. Anda mau masuk kedalam?"

"Tidak, disini saja sudah cukup."


"Begitu..permisi tuan."

Takashi bangun dari duduknya, ia melangkah kembali masuk kedalam.
Meninggalkan pria itu sendirian.

Tanpa sepengetahuan pria itu, disela-sela Takashi melakukan pekerjaannya ia menyempatkan diri melihat keluar ke tempat pria itu duduk termenung.
Ia seperti terpanggil untuk melongokkan sebentar kepalanya keluar pintu.
Memperhatikan tiap gerakan pria itu.
Walau nyatanya pria itu tak banyak melakukan hal apapun selain memeriksa lukanya dan termenung lagi dengan tatapan tajam menerawang kedepan.







Saat malam tiba, lagi-lagi awan mendung datang, membuat langit jadi tampak muram.
Sepertinya akan turun hujan lagi seperti kemarin malam.

Untungnya Takashi tak pergi kemana-mana malam ini.
Ia sedang duduk diteras belakang, wajahnya menghadap kesamping menatap tiang penyangga atap. Tidak, sebenarnya dia bukan menatap tiang penyangga atap itu, tapi tengah membayangkan sosok yang seharian duduk di dekat tiang dan sesekali menyandarkan tubuhnya pada tiang tersebut.
Sudah selang satu jam lebih saat pria itu pergi.

Seperti ucapannya, ia benar-benar pergi saat malam tiba.

Sejujurnya, ia menginginkan okaasan mengizinkan orang itu tetap tinggal, walau tak mungkin terjadi, namun begitulah yang Takashi rasakan.
Seperti menemukan teman baru yang berbeda dari biasanya ia lihat sehari-hari disekitarnya.
Orang asing dengan penuh kemisteriusan oleh sikap maupun apa yang ia kerjakan membuat Takashi penasaran.
Entah apa yang mendorongnya hingga ia se-penasaran itu.


Takashi menatap ke atas langit.
Tak ada sinar bulan, semua bintang tertutup awan mendung.
Hanya terdengar suara jangkrik dan katak yang seperti meminta hujan.

Kira-kira tuan itu sudah sampai dimana ya??

"Ah, apa yang kupikirkan!?"

Tiba-tiba ia bergumam sendiri.
Menghentikan memikirkan orang yang baru dikenalnya dalam sehari.
Bukan siapa-siapanya kenapa ia harus memikirkan orang itu!?
Bukankah jika orang asing pergi dari rumah akan membuat tenang karena tak perlu takut direpotkan?
Namun tak bisa dipungkiri dari dalam hatinya terdalam ia berharap bisa bertemu lagi dengan pria itu.
Ia sama sekali tak merasa direpotkan oleh pria itu.
Wajahnya terus berputar-putar dalam kepala Takashi.
Entah kenapa, ia pun tak mengerti.


Takashi bangun berdiri.
Tubuhnya tak sanggup lagi menahan udara diluar yang makin lama makin dingin.

Ia melangkah masuk kedalam bertepatan dengan Atsuko yang baru datang ke dapur.

"Ah, Takashi, dimana kau menyimpan beras yang sudah direndam!?"

"Ah, iya, di atas itu Atsuko-neechan..."
Jawab Takashi sambil melangkah agak lunglai.

Takashi berjalan ke sebuah meja panjang didekat dinding berjerjak kayu sebagai ventilasi udara di dapur itu. Berhadapan dengan meja yang sering Takashi gunakan untuk mengerjakan pekerjaan sehari-harinya seperti mengolah makanan dan lainnya.

Ia mengambil sebuah wadah yang didalamnya sudah terisi rendaman beras.

Rendaman beras itu digunakan para geisha untuk riasan wajah dan juga perawatan tubuh dan wajah mereka.

"Ah, terima kasih "

Atsuko mengambilnya dan membawanya ke meja tempat Takashi biasa gunakan untuk mengolah bahan makanan.
Meja itu cukup tinggi sebatas pinggang, jadi nyaman digunakan.

"Tolong ambil alat penumbuk, ya!"
Pinta Atsuko sambil ia menyaring beras tersebut dari air rendaman untuk ia pindahkan ke wadah yang kering.

Beberapa saat kemudian Atsuko menyerngitkan keningnya, karena Takashi tak kunjung membawa alat penumbuk ke hadapannya sedangkan ia sudah selesai menyaring semua beras rendamannya.
Ia menolehkan kepalanya kebelakang mencari Takashi.


"Takashi? Kenapa melamun!?"

Takashi tersentak.
"Eh? Ada apa Atsuko-neechan?"
Takashi baru menyadari, sejak kapan ia melamun?

Atsuko tampak bingung.
"Sedang memikirkan apa!?"

Atsuko akhirnya membalik tubuhnya dan melangkah sendiri untuk mengambil alat penumbuk yang ada dihadapan Takashi, sambil ia tiba-tiba tersenyum menatap Takashi karena sebuah pemikiran dalam kepalanya yang muncul begitu saja.

"E..er... tidak Atsuko-nee... "

"Kau memikirkan pria itu!?"
Tebak Atsuko sembari membawa penumbuk ke meja satunya yang sudah ada beras yang di saring tadi, ia memasukkan beberapa sendok beras lalu mulai menumbuknya.


Sontak kalimat itu membuat Takashi melebarkan matanya dan langsung terlihat panik.

"T..tidak Atsuko-nee kenapa anda bisa menyimpulkan seperti itu!?"

"Soalnya, aku tak pernah melihatmu melamun seperti ini sebelumnya, "

"I..itu... y..ya... saya memikirkan pria itu tapi memikiran tentang siapa pria itu. Maksudku, dia siapa? Berasal darimana dan sebagainaya begitu."

Atsuko tampak menahan tawanya.
"Kalau soal begitu aku juga meikirkannya, tentu saja karena dia orang asing, okaasan dan yang lain juga pasti sempat memikirkan pria itu.Tapi cara kau memikirkannya itu tampak berbeda. Kau memilih untuk memikirkannya sendirian, Itu artinya ada pemikiran lain lagi didalam hatimu tentang pria itu yang tak ingin kau bagi. Seperti reaksi lain yang keluar dari dalam hatimu, entah itu apa... soalnya~ aku sempat melihatmu tersenyum saat melamun tadi lhoo~" Atsuko menyengir, ia seperti mengetahui sesuatu tentang Takashi namun ia mencoba membiarkan Takashi menemukan sendiri jawabannya.

Ucapan Atsuko sontak membuat Takashi panik dan salah tingkah.
"M..mau saya bantu Atsuko-neechan?"

Ia tiba-tiba bersikap seperti mengalihkan pembicaraan dengan wajah kebingungan.
Kebingungan kenapa ia harus bereaksi seperti itu?

"Oh, tentu," Jawab Atsuko dengan senyum miring.


Suasanapun tampak sunyi karena Atsuko sedang serius menumbuk berasnya.

Namun tidak dengan Takashi, semua yang ia alami hari ini mengingatkan pada satu hal yang sudah lama Takashi pikirkan sejak ia tinggal di rumah geisha itu. Namun ia belum menanyakannya karena begitu fokus pada pekerjaannya dan memikirkan keluarga.
Padahal, orang yang bisa ia tanyai disini banyak.
Namun ia belum begitu merasa perlu menyakan itu sampai akhirnya pria itu mengucapkan sesuatu yang terus-menerus membuat Takashi memikirkan itu dan akhirnya mendorongnya untuk menayakan hal tersebut sekarang.

"Atsuko-neechan..."
Panggilnya pelan yang langsung di respon jawaban "ya?" oleh sang pemilik nama.

"Menjadi geisha itu menyenagkan, ya?"
Tanya Takashi dengan nada pelan.

"Menurut yang kau lihat, bagaimana?"

Takashi tampak terdiam sejenak.

"Saya melihat para geisha selalu diliputi kesenangan, pakaian bagus, bisa tertawa dengan gembira, bercengkrama dengan teman-teman, seperti tak ada beban. Walau saya tahu terkadang para geisha kadang lelah sehabis berlatih, tapi diwajah kalian tetap tampak gembira."

"Itu yang terlihat bukan? Justru kebalikannya, menjadi geisha harus mengemban beban sangat berat.
Yang kau lihat itu bagian dari pekerjaan kami, harus tetap tampak tersenyum, gembira, walau ada masalah apapun dalam hatimu. Entah saat memikirkan keluarga yang sedang dalam kesulitan, para geisha harus tetap tampak tersenyum.
Yang paling berat,
Geisha harus membuang perasaan cinta. Seorang geisha tidak diperbolehkan memberi dan menerima cinta.
Kecuali, ada seseorang yang mau menjadi Danna dari seorang geisha. Orang yang akan membiayai dan bertanggung jawab atas seluruh kehidupan geisha tersebut,
yang akan menjadi kekasih akhirnya."

Suasana tampak sunyi kembali, hanya terdengar suara tumbukan beras dari Atsuko dan perbincangan para geisha lain yang sesekali tergelak tawa di ruang depan.

Takashi tercenung oleh penjelasan Atsuko.
Ia terdiam tak berkata apapun lagi.
Ternyata pekerjaan geisha tak semenyenangkan seperti yang ia lihat.
Mereka juga punya beban yang harus di emban.


"Maaf, Atsuko-nee, saya pikir menjadi geisha itu tak punya beban apapun."

"Tidak seperti itu, kami juga dari keluarga miskin yang dikirim orang tua untuk mencari uang. Sama sepertimu, kami juga memikirkan keluaga kami."
Atsuko mengusap kepala Takashi sebagai tanda ia juga mengerti perasaan Takashi dan membuatnya tabah.

"Ah, ini sudah tak apa, aku bisa melakukannya sendiri, kau bantu saja yang lain di ruang depan, mereka sedang belajar Ikebana. Mungkin mereka membutuhkanmu untuk memotong duri mawar."



"un, Baik."

Takashi pun pergi ke ruang depan.
Untuk membantu para geisha yang lain.





Jauh di pusat kota, entah apa yang sedang terjadi. Suara para warga begitu berisik karena ada polisi beberapa kali melewati jalanan kota. Membuat para warga bertanya-tanya, apa yang sedang terjadi?
Karena jarang sekali mereka kedatangan polisi dalam skala lumayan banyak seperti ini. Biasa hanya beberapa orang untuk mengejar pencuri. Ada warga yang langsung masuk kedalam toko bahkan ada yang langsung menutup sedikit toko mereka. Takut kalau-kalau terjadi gencatan senjata dan terkena peluru nyasar.

Para polisi itu berpencar ke berbagai lorong dan jalan.

Mereka sepertinya sedang mengejar orang yang cukup berbahaya!?
Mungkin saja.


Hingga akhirnya hujan turun membasahi bumi.
Namun itu tak membuat para polisi mundur.

Pencarian masih tetap berlanjut sampai tak terasa sudah larut malam.

Semua pertokoan dan kedai sudah benar-benar tutup.

Para warga tak banyak lagi yang berlalu-lalang. Jalanan sepi.
Di saat seperti ini mungkin akan sedikit mudah merasakan pergerakan ganjil.

Sampai tiba-tiba sebuah suara tembakan terdengar begitu memekakkan telinga.
Semua polisi secepatnya berlari ke arah asal suara tembakan sambil menarik kokang senjata laras panjang mereka sebagai persiapan.

Bagi warga yang mendengar mungkin akan membuat mereka terbangun.
Sama hal nya seperti Takashi.
Ia terbangun karena mendengar suara tembakan itu.
Walau agak samar karena letaknya jauh namun ia bisa mengenali itu suara tembakan karena hujan tak sederas malam kemarin, lagipula sudah sepi karena semua orang sudah tertidur.
Jadi suara itu begitu mencolok.

Takashi termenung dalam pembaringannya.
Matanya terpaku pada langit-langit atap yang gelap.
Ia seperti merasakan firasat tidak enak.
Namun ia mencoba mengabaikannya.
Mungkin itu tembakan oleh polisi yang mengejar maling seperti yang sering ia dengar dari pusat kota.

Ia kembali memejamkan mata untuk mencoba tidur kembali.
Walau awalnya susah karena otaknya tetap saja berputar mempertanyakan apa yang terjadi di pusat kota, bahkan ia sempat memikirkan pria itu tapi akhirnya ia pun tertidur tanpa sadar.

Beberapa jam setelah Takashi berhasil tidur kembali.
Tiba-tiba ia membuka matanya lagi karena tersentak mendengar suara seperti sesuatu terjatuh di lantai kayu diluar sana.

Suara kali ini begitu dekat. Ia tak boleh mengabaikannya kali ini.
Ia harus memastikan bukan pencuri yang sedang menjalankan aksinya.

Takashi menyingkap selimutnya lalu bangun dari pembaringannya.
Ia pergi kedapur dan mengambil sebuah lampu minyak tanah yang tergantung di dinding.
Ia menyalakannya lalu membawanya di tangan.
Sambil melangkah pelan menyusuri dapur Takashi juga mengedarkan matanya keseluruh dapur sampai ke langit-langit dapur, barangkali menyusup dari atas.

Sampai suara sesuatu yang jatuh menghantam lantai kayu kembali terdengar.
Kali ini terdengar suara batuk seseorang dengan nafas berat dan sesak.
Takashi berjalan tergesa-gesa menuju pintu dapur dan membukanya, sontak ia melihat seseorang tergeletak di lantai kayu teras belakang.
Angin dan hujan langsung menerpa tubuhnya.

Takashi hampir berteriak kalau saja orang itu tak segera memutar kepalanya menghadap Takashi sehingga sinar dari lampu minyak tanah meyorot wajahnya yang penuh memar namun langsung bisa dikenali Takashi sesaat sebelum api kecil itu padam oleh angin dan hujan.

Takashi segera mendekatinya, Pria itu lagi!
Kali ini kondisinya lebih parah lagi.
Kakinya berlumuran darah.
Pakaiannya kembali basah oleh darah, mungkin luka diperutnya kembali terbuka atau malah tambah luka baru?

"Tuan!! Anda kenapa!?"

Merasa tak ada gunananya Takashi bertanya, ia segera saja memikirkan harus membawa kemana pria ini.
Karena jika ia membawanya kedalam, sudah pasti akan dilarang Okaasan. Sudah tak mungkin lagi membawanya kedalam.

Takashi melihat sekeliling, mencari dimana tempat yang pas untuk mengobati pria ini tanpa diketahui Okaasan dan yang lainnya.

Dan dia melihat gudang penyimpan kayu dan beras didekat sumur.
Otaknya langsung bekerja cepat untuk bangun dan memapah pria itu untuk dibawanya ke gudang.
Dengan kesusahan karena tak bisa mengimbangi berat tubuh pria itu.
Membuat Takashi banyak mengucurkan keringat walau cuaca dingin.

Seperti malam itu, Takashi mengulanginya lagi.
Mengambil selimut, dan kotak obat.
Kali ini harus diam-diam dan sangat berhati-hati agar tak ketahuan.


Pria bermata tajam itu terus-terusan meringis merasakan sakit, tubuhnya bergetar hebat. Keringat dan air hujan membasahi sekujur tubuhnya hingga membuatnya mengigil. Tubuhnya benar-benar sudah hilang pertahanan.
Wajahnya benar-benar pucat.
Luka kali ini lebih parah dari sebelumnya.
Ia menekan kakinya terus-menerus sebisa mungkin menahan sedikit darah yang terus keluar dari lubang yang di buat oleh peluru dikakinya.

"Pisau!!" Pinta pria itu dengan suara tertahan.

Takashi tertegun, apa maksudnya.

"Ambil pisau!!"

Pria itu membentak, ia tak bisa lagi mengontrol nada bicaranya, sebab rasa sakit yang begitu menyiksanya.

Takashi cepat-cepat berlari keluar gudang.
Ia sampai lupa memakai alas kaki dan menginjak tanah becek saat berlari saking ia takut pada bentakan pria itu tadi. Ia tak memikirkan apapun lagi yang penting sekarang ia mengambil pisau. Benda yang sangat dibutuhkan oleh pria itu saat ini. Walau Takashi tak mengerti untuk apa benda itu.

Takashi kembali menuju gudang setelah mengambil pisau. Nafasnya ngos-ngosan dan yukata-nya jadi makin basah dan kotor terkena air hujan dan cipratan lumpur dari kakinya. Ia menyerahkan pisau itu yang tak bisa langsung diterima karena pria itu sudah tergolek lemah.

"Congkel pelurunya!!?"

"Ha!?"

Takashi tercekat.
Ia tiba-tiba jadi merinding.

Menconkel peluru didalam daging? itu menegrikan. Ia belum pernah melakukan hal se-mengerikan ini.

"Tolong cepat lakukan!" Pria itu tak bisa membiarkan peluru itu bersarang lebih lama di kakinya. Keringatnya terus mengucur menahan rasa sakitnya ditambah badan yang mengigil kedinginan. Dan tanpa bisa dihindari, pria itu berguling dengan urat-urat anggota tubuh yang tertarik menengang karena rasa sakit itu.

"Tapi tuan.. s..saya.."

"Lakukan saja!!"

Takashi melihat pria didepannya, terbaring dengan urat menegang dan sekarat seperti hampir mati. Ia menarik kembali pisau yang ia sodorkan pada pria itu dan ia arahkan ke dekat kaki pria itu. Takashi mendekatkan pisau itu ke luka tersebut. luka lubang yang begitu dalam. Jari-jarinya bergetar saat menyentuh kaki pria itu.
Seketika ia pucat pasi sampai seluruh ubuhnya bergetar.
Mencongkel daging!!? Ini sungguh mengerikan.

Takashi mengigit bibirnya mencoba kuat.
Ia menarik nafas dalam-dalam dan mulai menyentuhkan ujung mata pisau ke kulit kaki pria tersebut.

Takashi tersentak kaget saat pria itu mengerang sakit.
Ia sampai reflek menarik pisau itu menjauh.Jantungnya sampai terpacu begitu kencang saking ia takutnya.


Ia mencoba lagi, sialnya tangannya masih bergetar hebat.

Namun ia mencoba kuat.
Jika seperti ini terus maka tidak akan selesai. Peluru yang bersarang dalam tubuh jika tak segera dikeluarkan akan sangat berbahaya.
Bisa membuat kaki membusuk karena infeksinya.
Sekali lagi Takashi menarik nafas panjang dan nekat mengcongkel luka itu.
Kali ini teriakan pria itu coba ia abaikan, walau pria itu sudah mencoba meredam suaranya denga menggigit lengannya sendiri tapi Takashi tahu ia pasti merasa sangat tersiksa oleh rasa sakit saat ia mencongkel peluru dikakinya.
Ia harus bisa tahan.
Kalau tidak, ia akan gagal.






-----




Nafasnya kini mulai teratur, setidaknya setelah peluru itu keluar dari kakinya, rasa sakit banyak berkurang.

Takashi menarik nafas dalam-dalam.
Ia terduduk lemas sambil mendongak ke atas dengan kedua tangan ia tumpu pada lantai untuk menopang badannya dan mengatur nafas dengan benar.
Ia merasa lega akhirnya berhasil menegeluarkan benda kecil namun sangat berbahaya yang masuk ke kaki pria itu.

Hampir dua jam ia merawat luka pria itu. Benar-benar menguras nyali dan tenaga.
Kerigatnya mengucur tak kalah seperti pria itu.

Pria itu menggerakkan kepalanya ke samping melihat pada Takashi. Walau pandangannya masih melemah, namun ia masih sanggup menggerakkan kepala dan tangannya.

Pria itu menatap Takashi yang sedang membereskan bekas-bekas kapas dan semua sisa pengobatannya.

"Terima kasih.."

Takashi tersentak. Ia mengangkat kepalanya.
Ini kali pertama pria itu mau bicara duluan, dengan tatapan matanya yang melembut lagi.

"E..eh.. ya.. tak masalah tuan,"
Tanpa bisa dihindari, Takashi seperti lagi-lagi menatap terkesima pada pria itu.
Kali ini ia dapat memperhatikan bola mata abu-abu itu dengan jelas, memantulkan kobaran api dari lampu minyak. Terbingkai dengan indahnya oleh bentuk matanya yang tajam seperti mata elang.
Takashi tanpa sadar melamun sampai pria itu bicara dan membuatnya terbangun dari lamunan.

"Kau sudah sangat banyak membantuku..."

Takashi menggaruk tengkuknya,

"Tidak, saya hanya membantu sebisa saya tuan, berapa kalipun kalau bisa membantu pasti akan saya lakukan, semua orang pasti juga begitu."

"Panggil aku Shinji, aku bukan tuanmu.."

"E..er.. .b..baik... maaf."

"Dan, tidak semua orang begitu..."

Takashi mengerjapkan matanya, ia sedikit tak mengerti apa maksud kalimat terakhir itu, tapi ia tak berani bertanya lagi.
Shinji memang sudah tampak mulai banyak bicara, tapi tetap saja dia dingin, mungkin karena pengaruh tipe wajahnya? Karena setelah dilihat spertinya Shinji benar-benar orang baik.
Takashi meyakini itu.






Tsuzuku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar